Fb. In. Tw.

Pengalaman dan Biografi Bahasa

Pengalaman menjadi modal berharga bagi seorang penulis. Pengalaman akan membawa penulis pada sebuah medan perspektif yang lebih intim dan personal, ruang yang memungkinkan sebuah ide lahir dan dielaborasi. Ruang kontemplatif penulis di mana ide tumbuh dan berkembang, sebelum akhirnya menemukan bahasa yang dianggap mewakili makna atau hal-hal yang ingin disampaikan.

Bagi seorang penyair, pengalaman bukan saja menjadi titik keberangkatan sebuah ide. Pengalaman membawa penyair kepada bahasa yang tidak hanya dimaknai secara leksikal, seperti pengetahuan kosakata dari buku bacaan. Selain itu, pengalaman juga mengantarkan penyair untuk menemukan bahasa yang dapat dirasakan oleh seluruh tubuh (indera).  Hal ini membuat kata menjadi hidup dan memiliki biografi pengalamannya sendiri.

Dalam sajak-sajak yang dimuat HU Pikiran Rakyat, 11 Maret 2018, terdapat lima sajak dari dua penyair. Dua sajak ditulis oleh Fritz Hendrik Nino dan tiga sajak ditulis oleh Sengat Ibrahim. Berikut kutipan bait pertama dari sajak “Benang” karya Fritz.

Sewaktu hidup bagaikan
benang yang terjulur tak rapi
pada sebuah pondok yang sepi

Pada sajak ini, penulis menitikberatkan pengalamannya pada benang dan laba-laba. Benang menjadi representasi pengalaman penulis yang ia ibaratkan dengan larik, hidup bagaikan benang yang terjulur tak rapi/pada sebuah pondok yang sepi. Benang tidak hanya mewakili tali yang dipintal dari kapas, atau benang yang dipakai untuk menjahit dan menenun. Benang juga mewakili pengalaman aku lirik yang berkaitan langsung dengan benang sebagai objek dan subjek sekaligus. Benang menjadi sebuah peristiwa bahasa yang memiliki makna berbeda. Benang adalah bahasa sebagai pengalaman yang dialami langsung oleh penulisnya.

Pada tahap ini, identifikasi benang tidak berhenti hanya pada makna bahasa. Benang telah diidentikan dengan alur hidup yang bisa tiba-tiba kusut, bertemu dengan problematika hidup dalam bingkai; susah-senang, menderita-bahagia. Benang sebagai sebuah peristiwa, bagi penulis, juga dikaitkan dengan laba-laba. Seperti tergambar pada bait terakhir sajaknya.

Di saat itulah laba-laba tertawa
dan berkata,
“Gantungkan benang itu melebihi tinggi jaringku
lalu sangkutkanlah inginmu yang besar
pada benang itu dan cobalah rengkuh pada esok hari”

Meski ditulis dengan tingkat kerapian berbahasa yang buruk, kita masih bisa melihat pengalaman penyair dengan laba-laba dan benang sekaligus. Pengalaman itu memang tidak hadir dalam pengalaman verbal, seperti pernah digigit oleh laba-laba, atau pernah bercinta dan menikah dengan laba-laba. Bukan. Bukan pengalaman semacam itu. Namun lebih pada bentuk pengalaman yang memiliki proses kontemplasi, sehingga menghasilkan pengandaian sebuah harapan untuk melebihi tinggi jaringku/ lalu sangkutkanlah inginmu yang besar/ pada benang itu dan cobalah rengkuh pada esok hari”.

Melihat dan meresapi sajak “Benang”, kita diajak untuk menelusuri pengalaman biografi bahasa sajak, yang sayangnya memiliki keterbatasan artikulasi berbahasa.1 Sehingga tidak benar-benar bisa mengarahkan pada gambaran yang diinginkan, yaitu menjadikan benang dan laba-laba sebagai titik masuk untuk membahasakan pengalaman yang dialami penulisnya sendiri.

Sementara penulis kedua, Sengat Ibrahim, menulis sajak berjudul “Silabografi”. Berikut kutipan sajaknya.

Silabografi

aku mencintai kesendirian tetapi bukan kematian
mencintai adalah keberangkatan yang tak sampai
sampai. sementara kematian adalah rumah bagi
seluruh ciptaan. selebihnya hanya kemungkinan

Silabografi adalah sistem tulisan yang menggunakan tanda grafis berbasis suku kata. Silabografi dijadikan judul sebuah sajak tidak saja dituntut untuk menunjukan pengertian leksikal seperti itu. Silabografi juga seharusnya menuntun kita untuk memeriksa keterkaitan dengan isi sajak, sebagai kepala (sajak) yang merepresentasi pengalaman bahasa yang ingin disampaikan penulisnya.

Namun secara kasat mata, antara judul dan isi ternyata tidak memiliki hubungan langsung. Sajak ini lebih banyak menceritakan hubungan antara cinta dan maut, kesendirian dan kemungkinan. Berbagai pengalaman umum yang biasa dialami oleh siapapun. Mencintai dan mati adalah sesuatu yang bakal dialami bagi yang hidup, tidak terkecuali. Sebab kematian adalah rumah bagi seluruh ciptaan.

Meski mungkin penulis memiliki pengalaman yang lebih empiris dan khusus terhadap persoalan cinta dan mati. Namun pada sajak ini, kita tidak bisa melihat bahasa sebagai sebuah peristiwa yang juga bisa menjangkau pengalaman pembacanya. Selain karena sajak ini terlalu singkat, dengan pilihan kata yang itu-itu saja, ketiadaan penanda bahasa yang lebih khusus (kecuali judul) menjadikan sajak ini justru terlihat semata sebagai quote.

Baca juga:
Cinta dan Masa Lalu
Cinta Sabun Mandi

Begitu pun yang terjadi pada sajak Sengat Ibrahim yang berjudul “Asmaragama”.

Asmaragama

aku suka menjadi gila yang sering berbicara
di banyak tempat dan hanya kau satu-satunya
orang yang mampu menangkap pengertiannya.

aku suka menjadi gila yang sering menertawai
orang waras tanpa membuatnya tersinggung
kemudian mereka membalas dengan senyum.

aku suka menjadi gila berjalan ke mana-mana
juga tinggal di mana-mana. kerena segalanya
sudah menjadi rumah dan kau sebagai isinya.

aku suka menjadi gila yang selalu mengejarmu
kuingin kau tetap menjauh sebab segala sesuatu
yang bisa kusentuh pada akhirnya kan rapuh.

aku sudah menjadi gila semoga kau tak kecewa.

Pada sajak di atas, kata Asmaragama sebagai judul seolah terpisah dari isi sajaknya. Asmaragama sendiri memiliki arti ilmu atau seni bersanggama. Hubungan judul dan isi pada sajak ini benar-benar sulit dilacak keterkaitannya. Jejak-jejak pengalaman penulis yang diwakili oleh judul, terpisah dari jejak pengalaman yang tergambar dalam isi sajak. Keduanya memiliki pengalaman bahasa peristiwa masing-masing. Judul yang biasanya sebagai petunjuk umum atau rambu-rambu pertama yang membantu mengarahkan pembaca agar tidak “tersesat” dalam belantara sajak, justru malah membuat pembaca membaca peta yang salah. Sehingga pembaca mengalami pembacaan pengalaman bahasa yang tidak utuh dan terpilah.

Sementara pada sajak terakhir, Sengat Ibrahim, lebih berhasil menuliskan pengalaman bahasa yang dialaminya.

Gadis Kecil

aku ingin pergi menjauh darimu wahai gadis kecil
tanpa harus bilang selamat tinggal. dan kan datang
kembali kelak ketika kecantikanmu yang sering
kupuja benar-benar memudar. dan dengan suara
lantang kukatakan padamu; aku mencintaimu.

aku ingin pergi menjauh darimu wahai gadis kecil
tanpa harus bilang selamat tinggal dan kan datang
kembali kelak saat kau jadikan rumah sakit sebagai
taman. dan dengan suara parau kukatakan padamu;
akulah obat bagi sakitmu.

Pada sajak ini, kita bisa melihat pengalaman bahasa yang disampaikan penulis, misalnya dari pemilihan judul “Gadis Kecil”. Dalam memahami diksi gadis kecil, kita tidak bisa hanya mengasosiasikan makna gadis kecil itu secara leksikal. Gadis artinya apa dan kecil artinya apa. Sebab kalau kita selami lebih dalam dan menyeluruh, gadis kecil juga bisa dimaknai lebih luas sesuai dengan pengalaman masing-masing pembacanya. Sehingga gadis kecil bisa dimaknai tidak hanya sebagai seorang (manusia) perempuan, tapi bisa juga bisa dimaknai sesuai dengan arsiran makna yang beririsan dengan lema gadis, semisal keindahan atau kecantikan.

Oleh karena itu, ketika kita membaca sajak “Gadis Kecil” secara keseluruhan, kita akan mendapati pendaran bahasa yang tidak hanya dikungkung oleh makna kamusnya. Kata-kata ini akan menemui pembacanya, sesuai dengan pengalaman biografi bahasanya masing-masing.[]

1Lihat “Pilihan Kata Adalah Kunci”. http://www.buruan.co/pilihan-kata-adalah-kunci/

KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

You don't have permission to register