Saat Ajal Tak Berdaya di Hadapan Manusia
Bukan maksudku mau berbagi nasib,
Nasib adalah kesunyian masing-masing.
(Chairil Anwar, Pemberian Tahu, 1946)
Saya tengah menunggu travel ketika sms promo dari “surga” itu masuk ke handphone saya. HEAVEN: Promo Heaven Atma & Dharmais Rp 14,8 Jt (Peti, Kremasi/Makam di DKI, Free 3 Hari Ruang Duka, Free Tambah Meja & Bangku, Speedboat). SKB. Telp: 668338/5647778.
Terkekeh, saya screenshoot sms itu lalu saya posting di insta-story: iseng sendiri. Message from Heaven, tulis saya, memberi keterangan. Travel belum datang. Saya masih berdiri di pinggir jalan. Bus, Kopaja, angkot, mobil pribadi, bajai—dalam bentuk sudah dimodifikasi—sepeda motor, berlintasan. Jelang libur panjang akhir pekan, suasana jalan raya Daan Mogot tampak ramai-lancar. Tak lama berselang, anehnya, seberkas pikiran muncul dalam diri saya: halus, pelan, tapi tiba-tiba ini tumbuh jadi semacam rasa takut dan kekhawatiran.
“Ngapain posting begituan? Bagaimana kalau itu isyarat, sugesti: saya mati di perjalanan lalu orang-orang menghubungkan takdir saya dengan postingan tersebut,” batin saya—geer, mistik, dan berlebihan.
Saat suara batin itu muncul, saya teringat Kristianto Agus Purnomo (Kriapur). Penyair genial itu meninggal setelah mobil yang ia tumpangi dengan sang ayah menabrak truk beras di kawasan Batang, Jawa Tengah. Mobilnya jatuh ke sungai dan, sebagaimana yang dituliskan Abdul Hadi WM, tak sedikit orang yang menghubungkan peristiwa naas itu dengan tema kematian yang bertebaran dalam sajak-sajak Kriapur, terutama sajaknya yang populer “Kupahat Mayatku di Air”.
Kupahat mayatku di air/namaku mengalir/pada batu dasar kali kuberi wajahku/pucat dan beku//di mana-mana ada tanah/ada darah/mataku berjalan di tengah-tengah/mencari mayatku sendiri/yang mengalir/namaku sampai di pantai/ombak membawa namaku/laut menyimpan namaku/semua ada di air//
Kematian Kriapur, sebagaimana kematian Chairil Anwar, kerap dihubung-hubungkan dengan tema maut dalam sajak-sajaknya. Betapa tidak, Kriapur yang semasa hidup sempat menulis Kupahat mayatku di air/namaku mengalir/pada batu dasar kali kuberi wajahku/pucat dan beku/ memang menemui ajalnya di “air”.
Dalam konteks semacam itu, sajak sebagai sebuah karya sastra—yang menurut Horatius harus punya fungsi dulce et utile—tak jarang malah beralih fungsi jadi semacam nubuat atau ramalan. Meski sebagai cerita hal demikian bisa dibilang menarik, dilihat dari kepentingan kritik sastra, mistifikasi semacam itu—sebagaimana termaktub dalam kata pengantar kumpulan puisi Kriapur Tiang Hitam Belukar Malam—dinilai Afrizal Malna tiada gunanya.
Saya setuju dengan Afrizal meski dalam beberapa hal saya juga terbilang senang dengan yang mistik-mistik. Karenanya, saya merasa beruntung lantaran sebelum naik travel saya tidak menulis sajak sama sekali. Lebih-lebih menulis sajak soal maut. Tapi tetap saja sms yang saya terima, juga postingan saya di insta-story, ada kaitannya dengan maut—dan itu membuat batin saya gelisah sekaligus khawatir. Saat mobil yang kami tunggu tiba, tak seperti biasanya, saya berdoa meski tetap saja merasa khawatir.
Singkat cerita, pagi buta hari Imlek itu, Kamis (15/2) travel yang saya tumpangi mengalami kecelakaan di KM 103 tol Cipularang. Saya tidak tahu apa penyebabnya: semua penumpang—jumlahnya 7 orang—tertidur. Saya tidak tahu kecelakaan itu terjadi lantaran sopir mengantuk, kondisi mesin tidak prima, atau kecerobohan pengendara lain sehingga menyebabkan mobil yang saya tumpangi terkena musibah. Yang saya tahu, ketika semua penumpang seketika terjaga, kecuali saya, rasa-rasanya keenam penumpang lain menjerit tak karuan.
Mendengar orang-orang menjerit, saya membuka mata pelan. Dan inilah yang mula-mula saya lihat dalam keremangan: Kaca depan pecah. Sopir tampak tidak berdaya. Penumpang di sisinya meringis dan melolong. Terus meringis dan melolong. Tiga penumpang di sisi kanan saya hanya menjerit, saya tidak tahu apa yang menimpa mereka.
Saya benar-benar terperangah saat saya memalingkan muka ke deretan kursi belakang—ke arah sepasang muda-mudi yang tengah mempertunjukkan satu adegan menyentuh begini: si laki-laki menyorotkan senter dari gawainya ke arah si perempuan lantas tampak darah berlumuran pada wajah si perempuan. Saya melihat darah berlumuran pada wajah si perempuan. Saat itulah saya menyadari bahwa kecelakaan yang kami alami cukup mengerikan.
Dalam kondisi demikian, meminjam ungkapan penyair Abu Mufakhir, kesedihan terus mengalir dari kegelapan. Pelan mengusap dagu dan terasa ada lubang berdarah cukup dalam di situ, saya bersyukur masih selamat—meski kematian makin akrab.
Memang tak ada maut dalam kecelakaan itu. Tapi lantaran itulah saat menunggu bala bantuan datang, saya justru teringat pada maut—lebih tepatnya teringat pada maut dalam sebaris puisi Wislawa Szymborska.
Oh, rupanya kematian telah mendapat kemenangan,/tapi lihatlah kekalahannya yang tak terbilang,/serangannya yang luput,/juga usahanya yang berulang!//
Berdiri di pinggir tol, mensyukuri nasib yang-untung-masih-selamat sambil merenungi baris puisi Szymborska di atas, saya seolah mendapat pemahaman lain soal maut. Betapa tidak, maut—yang kerap dipahami sebagai entitas yang sanggup membuat semua makhluk hidup tak berdaya—dalam pandangan Szymborska nyatanya punya sisi-sisi “kekalahannya” juga. Berdasar pandangan tersebut, selamatnya kami dari maut di satu sisi adalah kekalahan maut di sisi lainnya. Sungguh sebuah pandangan yang cukup segar sekaligus berani.
Baca juga:
– Ibu yang Sempurna itu Bernama Yu Patmi
– Ketika Seorang Ibu Mengenang Sang Penyair
Selasa (10/4/2018) lalu sastrawan Danarto meninggal setelah mengalami pendarahan akibat tertabrak sepeda motor di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Sepintas, bolehlah dikatakan bahwa—setelah kekalahannya yang tak terbilang,/serangannya yang luput,/juga usahanya yang berulang—maut akhirnya mendapatkan kemenangan terakhir sekaligus satu-satunya di hadapan Danarto. Sebagai informasi, sebagaimana dilansir Tempo.co, sekira 8 tahun lalu tepatnya pada Senin (22/1/2010) penulis Godlob itu sempat pula dilarikan ke RS Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat, akibat sesak napas. Sebelumnya, sastrawan kelahiran Sragen 27 Juni 1940 itu sudah lebih dulu dirawat di RS Bhineka Bhakti Husada, Pamulang, Tangerang Selatan, akibat penyakit yang sama.
“Hidup hanya menunda kekalahan”, tulis Chairil. Karenanya, perjuangan manusia sepanjang hayat tak ubahnya merupakan perjuangan menunda kematian. Kehadiran maut di ujung umur manusia adalah kemenangan maut yang tertunda. Hanya, sebagaimana nasib, bukankah maut (sekaligus kehidupan setelahnya) sama-sama merupakan kesunyian masing-masing juga? Meninggalnya Danarto Selasa lalu, juga meninggalnya semua orang yang sudah mendahului kita, pada hakikatnya entah memang kekalahan atau justru kemenangan mereka yang sebenarnya. Sampai kapan pun, kita hanya bisa menerka-nerka.[]