Fb. In. Tw.

Antara Khayalan dan Kenyataan

Seorang pensiunan hakim bernama Hendar ketakutan saat Gorga, teman yang pernah dipidananya, bebas dari penjara. Ia takut Gorga kecewa dan marah atas keputusannya 5 tahun yang lalu. Gorga terkenal berdarah dingin dan berbahaya. Berulang kali didakwa, Gorga selalu lolos dari pidana pengadilan. Tak ada hakim yang berani menjatuhkan hukuman padanya. Kecuali Hendar yang terkenal taat menjaga hati nuraninya. Meski Gorga adalah teman dekatnya saat sekolah dulu, ia tak pandang bulu untuk menjatuhkan hukuman padanya.

Hendar terus menatap ke luar jendela dari lantai dua rumahnya. Ia mengawasi jalan, menunggu barangkali Gorga muncul membalaskan dendam. Anaknya berulangkali meyakinkan bahwa Gorga tak akan datang dan keputusan ayahnya dulu sudah tepat. Tapi Hendar malah memutuskan untuk pergi menemui Gorga dan meminta maaf. Sebelum berangkat, kebenaran pun terungkap. Konflik batin ini muncul di awal cerita. Pembaca diajak percaya, bahwa Hendar memang seorang hakim yang taat, Gorga seorang penjahat kelas kakap yang menyimpan dendam, dan anak serta istrinya mulai khawatir pada ancaman yang menimpa keluarga mereka.

Namun siapa menyangka, di akhir cerita, kebenaran terungkap. Hendar rupanya bukan seorang hakim, meski memang pernah bekerja di bagian tata usaha Kementerian Kehakiman. Gorga merupakan teman dekatnya yang rajin berkunjung dan saat itu sedang menunggu kedatangannya di ruang tamu. Anak, istri, dan seluruh saran yang mereka berikan, hanya terjadi di dalam kepala Hendar saja. Pembaca sejak awal cerita diajak percaya pada isi kepala dan khayalan-khayalan seorang lelaki pensiunan yang pikun dan mengada-ada.

 Cerita yang Mengecoh
Secara teknik cerita, cerpen “Menjelang Bebas”1 karya Sori Siregar terbilang sederhana. Di dalam cerpennya, Sori menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Narator yang serba tahu ini membangun cerita melalui paragraf naratif dan dialog. Keduanya menampilkan dua peristiwa, yakni peristiwa di dalam imajinasi Hendar dan peristiwa sesungguhnya. Adapun alur cerita bergerak dari alam imajinasi Hendar menuju kondisi Hendar yang sebenarnya.

Pada paragraf-paragraf naratif, Sori menggambarkan ruang, waktu, kondisi tokoh, dan biografi sosial di dalamnya. Bangun cerita yang mengangkut dimensi peristiwa masa kini dan masa lalu tokoh. Sementara pada dialog, kita menemukan fakta tuturan tokoh yang terkadang juga mengajak kita melihat biografi sosial tokoh-tokoh di dalamnya.

“Ia tak sejahat seperti yang ayah katakan. Ayah adalah temannya sejak sekolah dasar. Walaupun ia bekas kepala preman dan dikenal dengan sebutan Preman Besar, aku yakin ia tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Kebebasan yang akan diperolehnya tidak akan membuatnya gegabah. Percayalah, Ayah,” Hamongan melanjutkan.

Hendar mengalihkan tatapannya ke wajah anaknya. Namun, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tetap yakin, Gorga akan datang menemuinya dan melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Itu yang tak pernah terpikirkan olehnya selama lima tahun terakhir, selama Gorga disekap, sejak ia menjatuhkan putusannya. Karena keputusan itu pula banyak pujian yang dilontarkan kepadanya, termasuk dari berbagai media arus utama. Hendar dianggap berani, karena tokoh yang dihadapinya adalah orang yang terkenal berdarah dingin dan berani berbuat apa saja untuk kepentingannya.

Tanpa pengetahuan bahwa dua paragraf di atas adalah kebohongan atau sepenuhnya khayalan Hendar, kita pasti akan percaya demikianlah cerita terjadi. Pembaca dipermainkan dengan pemaparan akhir cerita yang lugas berikut ini.

Gorga adalah satu-satunya temannya yang paling tidak seminggu sekali datang menemuinya. Di luar waktu satu kali seminggu itulah Hendar berselancar dengan khayalan-khayalan yang mengantarkannya kepada perilaku yang tidak biasa itu. Termasuk duduk di depan jendela di lantai dua rumahnya setiap hari. Dan, semua kata-kata anak dan istrinya yang menyusup ke telinganya adalah ciptaannya sendiri.

Membaca kenyataan pada nukilan di atas, nukilan cerpen sebelumnya jelas tampak sebagai khayalan belaka. Sori seolah ingin menegaskan titik lemah manusia di hadapan bahasa. Kalimat berisi informasi itu akan selalu mengarahkan pembaca pada peristiwa yang dikehendaki narator. Konsekuensi kata yang mengarahkan pembacanya pada suatu realitas makna, telah berhasil menjebak pembaca pada kepercayaan cerita dan merampas kembali kepercayaan itu melalui realitas makna yang lain.

Tetapi kemudian muncul pertanyaan, kenapa Hendar mesti membayangkan dirinya sebagai hakim yang taat? Kenapa dalam khayalan Hendar, Gorga dianggap sebagai teman yang berperilaku jahat?

Penampang Kesadaran Baru
Sigmund Freud menggambarkan alam kesadaran dan ketidaksadaran sebagai gunung es di tengah lautan. Kesadaran adalah bagian permukaan gunung yang lebih kecil dari ketidaksadaran di dasarnya. Dasar gunung atau ketidaksadaran berbentuk jauh lebih besar dan terendam atau tidak disadari. Di alam bawah sadar itu, kemudian segala kecamuk manusia tersimpan dan sedikit banyak mempengaruhi alam sadar manusia. Kepribadian merupakan produk organik dari suatu mekanisme antara id (hasrat biologis), super ego (moralitas), dan ego (eksekutor dari pilihan sikap manusia).

Tokoh Hendar secara klinis diceritakan telah tua dan mengidap penyakit pikun. Pikun yang erat kaitannya dengan short term memory akibat impuls otak tersendat pada suatu perhatian, merupakan perkara biologis. Namun pikun merupakan ruang bagi alam bawah sadar untuk muncul ke permukaan sebagai kesadaran. Seperti khayalan yang diproduksi oleh Hendar tentang hakim dan persoalan pengadilan. Khayalan itu tidak hadir begitu saja. Ada motif ketidaksadaran berperan di sana. Hal tersebut, jejaknya dapat kita lihat dalam nukilan berikut ini.

“Kan Ibu sudah lama mengatakan kepada Ayah, Gorga yang sering Ayah sebut itu tidak pernah dijatuhi hukuman dan tidak pernah disekap dalam bui. Ia teman Ayah, teman sejak sekolah dasar. Teman baik yang selalu datang bersilaturahim.”
“Kau yakin Gorga tidak pernah dipenjara?”
“Sangat yakin. Lihat itu siapa yang datang.”
Hendar berpaling dan melihat ke halaman depan rumahnya.
“Gorga, ya Gorga.”
“Ayah dihantui pemikiran yang bukan-bukan setelah pensiun. Padahal ayah tidak pernah menjadi hakim seumur hidup Ayah. Ayah hanya bekerja di Kementerian Kehakiman sebagai tata usaha.”
Hendar berupaya keras memanggil kembali ingatannya yang tersembunyi entah ke mana. Begitu ingatan itu kembali ke tempatnya, Hendar langsung bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi?”

Pertanyaan tentang kenapa ia membayangkan dirinya sebagai hakim, bisa saja merupakan visual hakim yang sering dilihatnya saat bekerja dulu. Kemungkinan lain semisal keinginan lama Hendar yang terpendam untuk menjadi hakim memang tidak diceritakan di dalam cerpen. Namun argumen itu menjadi mungkin jika dilihat dari teori alam bawah sadar yang kadang muncul ke permukaan saat terjadi mimpi atau pikun.

Lalu kenapa Gorga mesti mendapat peran antagonis di dalam khayalan Hendar? Peran antagonis tentu saja berkontradiksi dengan kenyataan Gorga di dalam nukilan berikut.

“… Ini merupakan momen yang sangat baik untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya terlupakan, misalnya membaca. Ayah penggemar buku, tapi Ayah jarang sekali membaca karena rutinitas di kantor. Aku lihat Ayah terlalu banyak membuang waktu untuk menjelajah dunia khayalan yang begitu liar dan menakutkan. Temuilah Gorga, ia sudah duduk di ruang tamu.”
Tanpa membantah ia memasuki ruang tamu menemui temannya sejak sekolah dasar itu.
Gorga adalah satu-satunya temannya yang paling tidak seminggu sekali datang menemuinya.

Kontradiksi sikap Gorga ini sejalan dengan ragam kontradiksi perilaku Hendar di masa lalu yang banyak meninggalkan kebiasaan atau kesenangannya karena urusan pekerjaan. Keinginan yang tidak tercapai biasanya masuk ke dalam alam bawah sadar. Energi itu tidak hilang, melainkan terpendam dan berkembang di alam bawah sadar. Terkadang muncul sebagai potongan figuratif di dalam mimpi. Di dalam cerita ini, keinginan Hendar itu muncul di dalam kondisi pikunnya sebagai sifat kontradiksi pada ragam figur yang dikenalinya.

Baca juga
Guntur Alam, antara Kue dan Bolu
Keyakinan dan Misteri Kematian Gus Dar

Dari fakta tersebut, terlihat bagaimana Sori menggunakan teori yang paling sederhana terkait penggambaran alam kenyataan dan khayalan. Bahwa segala yang terjadi di alam khayalan yang kontradiktif dengan kenyataan tokoh, telah menegaskan ketidakwajaran seorang lelaki pikun. Seperti saat tokoh Hendar menanti di depan jendela setiap hari karena takut Gorga yang dalam khayalannya baru keluar dari penjara dendam kepadanya. Padahal nyatanya Gorga adalah temannya yang seminggu sekali selalu datang padanya sebagai teman baik. Imajinasi itu jelas lahir dari pengetahuan lain yang mungkin saja terpendam di alam bawah sadarnya.

Penampang kesadaran Hendar saat ia pikun merupakan pengetahuan lain yang diketahuinya. Pengetahuan itu tergambar jelas di dalam penceritaan alam khayalan Hendar. Pengetahuan tentang ketegangan penegakan hukum di kantornya dulu. Pernyataan ini bisa saja spekulatif, sebab Sori Siregar hanya sedang bercerita bahwa ada seorang pikun mantan pegawai tata usaha Kementerian Kehakiman yang membayangkan dirinya jadi hakim (bahkan bertingkah resah seperti nyata). Hakim yang terlibat masalah atas putusannya pada penjahat kelas kakap bernama Gorga. Hakim yang ketakutan sebab hari itu Gorga keluar dari penjara. Hakim yang kemudian sadar bahwa Gorga bukanlah pelaku sebenarnya, melainkan korban dari praktik mafia pelanggaran hukum. Hakim yang ketakutan teman masa kecilnya itu dendam dan melakukan hal buruk pada keluarganya.

Namun jika pada akhir cerita, hal tersebut rupanya khayalan atau kondisi tak sadar seorang lelaki tua yang pikun, lantas dari mana pengetahuan itu berasal, jika bukan dari kondisi kantor tempat bekerjanya dulu? Sori Siregar melakukan kritik terhadap penegakan hukum tersebut melalui khayalan tokoh Hendar. Membuat kita ingat beragam kondisi dilematis penegakan hukum di Indonesia yang terkadang disikapi sebagai khayalan belaka.[]

1 Dimuat di Kompas 11 Maret 2018

KOMENTAR

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register