Cinta dan Masa Lalu
Cinta. Ya, kata itu seringkali terkesan sentimentil, bahkan terasa provokatif dalam kesadaran. Terutama ketika kita mendapati kata itu. Dalam kehidupan sehari-hari yang intim, rasanya begitu mustahil kita menghindar dari “cinta”. Salah satu alasan sederhana yang paling logis ialah karena manusia diberkahi perasaan. Perasaan memungkinkan cinta menjadi ada dalam diri kita. Perasaan memungkinkan kita untuk merasakan pesona terhadap apa saja yang ada di sekitar. Hingga kemudian seseorang meyakininya sebagai cinta.
Selain mudah memicu perasaan orang yang mendengarnya, cinta juga seringkali memprovokasi kesadaran kita untuk terus bertanya, semisal, ada apa ini? kenapa saya bisa merasakan perasaan semacam ini? apa ini cinta? Atau bahkan sampai ke pertanyaan yang cukup mendasar seperti, apa itu cinta?
Khusus untuk pertanyaan terakhir itu, memang tidaklah mudah dan sederhana kita menjawabnya. Terkait hal tersebut, seorang psikolog asal New York, Theodor Reik, bahkan menegaskan bahwa meskipun “cinta dialami setiap jam, di mana pun di dunia ini, tapi maknanya tetap saja tidak diketahui. Fakta bahwa semua orang pernah mengalaminya tidak membuat cinta lebih mudah dipahami, entah itu asal-muasalnya maupun bagaimana tabiatnya.”1
Dalam konteks perumusan pengertian universal untuk mewakili semua umat manusia tentang apa itu “cinta”, barangkali pendapat itu bisa saja kita sepakati. Tetapi, dalam konteks “cinta” sebagai gejala personal, perumusan pengertian itu kiranya masih mungkin kita rumuskan. Kemungkinan itu masih bisa kita cari, jika kita percaya bahwa tiap individu memiliki kekhasannya sendiri-sendiri dalam mengalami serta menyikapi cinta.
Sebagai salah satu contoh, selanjutnya saya ingin mencoba mendekati dan memaknai cinta dari sudut pandang puisi. Sebuah genre sastra yang konon cukup sering mengangkat tema-tema perihal cinta. Contoh lebih khususnya, sajak-sajak yang termuat di HU Pikiran Rakyat (edisi 11/03/2018), yakni sajak-sajak yang ditulis oleh Zetira Regi Tilafa. Masing-masing sajaknya itu berjudul “Tersenyumlah” dan “Mantra Melupa”. Kita mulai dengan sajaknya yang pertama berjudul “Tersenyumlah”, sebagai berikut.
Tersenyumlah
Tak mengapa jika nanti waktu akan memakan usia
dan membuatmu semakin menua
aku akan menjadi apapun yang tak lagi bisa kau punya
semisal menjadi tenaga dan membuatmu berjalan
kemana-mana dengan senyum bahagia
jangan pernah merasa pasrah dan menyerah
hidup tidak melulu mengecewakan melainkan harus kau syukuri
karena ada aku yang melengkapi
sebagai anak yang kelak melepaskan sesak
ketika kau ingin bernafas dengan lega
aku akan menjaga kesehatan sehingga dapat merawatmu agar tetap sehat
Bu, perihal hujan yang selalu menghidupkan kenangan jangan kau pikirkan
ini semua rencana Tuhan
mari kita memelihara kebahagiaan
menghidupkan do’a-do’a agar terus menyala
Tak usah lagi berpura-pura bahwa kau baik-baik saja
ketika hidup membuat keningmu berkerut, kulitmu keriput, dan
mukamu kusut selalu ada jalan setiap permasalahan
kau tidak sendirian masih ada aku yang setia menenun rindu
Tetaplah tersenyum, bu, agar cahaya mentari
tetap bersinar di binar matamu
meski senja tenggelam dan malam mulai datang
Secara keseluruhan, sajak ini ingin berbicara kepada kita mengenai cinta aku lirik kepada “Ibunya”. Dengan bahasa yang sederhana, lugas, dan naratif, aku lirik ingin mengungkapkan pikiran dan perasaannya secara ekplisit kepada kita. Minimnya penggunaan metafora dan imaji yang tidak pekat, membuat kita tak begitu kesulitan untuk memahami cinta yang diartikulasikan aku lirik.
Kita bisa langsung merasakan semacam perasaan yang begitu menggebu dari aku lirik terhadap sosok Ibu. Dalam beberapa larik sajaknya, sosok Ibu itu dibayangkan dan diposisikan sebagai seseorang yang akan mengalami kerentaan dan menghadapi berbagai persoalan hidup yang berat di kehidupan mendatang. Hal tersebut misalnya ditunjukkan oleh larik: Tak mengapa jika nanti waktu akan memakan usia/dan membuatmu semakin menua (larik ke-1 dan 2) dan ketika hidup membuat keningmu berkerut, kulitmu keriput, dan/mukamu kusut (larik ke-17 dan 18). Dari bahasa yang mengungkapkan perasaan sentimentil itu, kita mendapati bahwa aku lirik ini memiliki sikap yang khawatir terhadap sosok Ibu.
Rasa khawatir inilah yang kiranya menjadi motif penggerak dari sajak ini secara keseluruhan. Rasa khawatir itu barangkali difungsikan Zetira untuk menguatkan segala macam rasa cintanya kepada sosok Ibu. Dan untuk mengatasi rasa khawatirnya itu, aku lirik kadang-kadang menunjukkan semacam sikap yang terkesan heroik. Semisal, aku akan menjadi apapun yang tak lagi bisa kau punya/semisal menjadi tenaga dan membuatmu berjalan (larik ke-3 dan 4), sebagai anak yang kelak melepaskan sesak/ketika kau ingin bernafas dengan lega/ aku akan menjaga kesehatan sehingga dapat merawatmu agar tetap sehat (larik ke-10, 11, dan 12).
Sikap yang terkesan heroik ini barangkali dimaksudkan untuk semakin meyakinkan pada kita bahwa aku lirik benar-benar memiliki rasa kasih sayang yang begitu kuat terhadap Ibu. Sebuah sikap yang penuh kerelaan untuk berkorban apapun. Sebuah sikap yang barangkali juga lumrah terjadi dalam diri kita, dalam hubungan intim antara kita dengan sosok sakral bernama Ibu.
Meskipun begitu, alih-alih ingin mengatasi rasa khawatir itu, terkadang aku lirik terjebak untuk menggunakan aforisme-aforisme populer dan abstrak sebagai jalan keluarnya, semisal: jangan pernah merasa pasrah dan menyerah/hidup tidak melulu mengecewakan melainkan harus kau syukuri (larik ke-6 dan 7),… hujan yang selalu menghidupkan kenangan jangan kau pikirkan/ini semua rencana Tuhan (larik ke-12 dan 13),…dan ketika hidup membuat keningmu berkerut, kulitmu keriput, dan/mukamu kusut selalu ada jalan setiap permasalahan (larik ke-17 dan 18).
Selain maknanya yang abstrak, larik-larik tersebut jadi terkesan “menggurui” pembaca atau terkesan sebagai pepatah petitih yang pada umumnya orang sudah tahu. Sehingga pada titik ini, aku lirik terlihat lebih superior posisinya jika dibandingkan dengan ibu. Hal tersebut cukup berisiko. Alih-alih mendapatkan cara pandang yang khas dalam menyikapi cinta kita pada ibu, justru kita mendapatkan hal sebaliknya. Pernyataan-pernyataan tersebut jadi meminimalisasi kedetailan dan kedalaman gagasannya.
Selebihnya, bisa disimpulkan bahwa cinta yang dimaksud pada sajak “Tersenyum” adalah sebentuk perasaan-perasaan khawatir yang kuat dan senantiasa memicu sikap-sikap heroik aku lirik. Sebuah sikap yang memiliki dimensi harapan yang begitu besar demi melihat kebahagiaan Ibu. Harapan akan kebahagiaan itu kiranya ditegaskan oleh larik-larik terakhir sajak tersebut: Tetaplah tersenyum, bu, agar cahaya mentari/tetap bersinar di binar matamu/meski senja tenggelam dan malam mulai datang.
Jika pada sajak “Tersenyum” jenis cintanya adalah cinta kepada Ibu, maka pada sajak Zetira yang lain jenis cintanya lain lagi, yakni cinta kepada lawan jenis. Jenis cinta yang begitu populer kiranya. Sajak yang berjudul “Mantra Melupa” ini secara keseluruhan ingin membicarakan mengenai romantisme cinta aku lirik terhadap seseorang yang ingin dilupakannya. Dan bahwa melupakan itu merupakan pekerjaan yang berat, harus dilalui dengan “kerja keras”. Terkait melupakan ini, saya jadi teringat salah satu kutipan puisi dari penyair Chili, Pablo Neruda, yang saya dapatkan dari novel M Aan Mansyur. Kutipan puisinya kurang lebih berbunyi seperti ini: Love is so short, forgetting is so long!2
Melupakan memanglah sering menjadi persoalan yang cukup klasik dalam dunia, pasca percintaan antarmanusia. Melupakan juga kiranya sering memicu konflik-konflik batin tersendiri dalam diri seseorang. Melupakan dalam khazanah perpuisian juga sering jadi tema-tema spesifik dari cinta yang coba diangkat oleh para penyair kita. Bahkan oleh sekaliber penyair dunia, semisal Pablo Neruda, yang juga tadi disebutkan.
Kembali ke sajak yang berjudul “Mantra Melupa”. Kiranya dalam sajak ini, ada beberapa sikap yang unik dalam hal melupakan. Di antaranya, selain melupakan harus dibarengi dengan kerja keras yang dilakukan aku lirik sendirian, melupakan juga rupanya bisa diatasi dengan berharap pada keajaiban Tuhan (?). Hal tersebut misalnya ditegaskan oleh larik, Masih dengan rindu dan air mata yang sama/sebelum luka semakin menganga/dan hatiku hilang rasa/biarkan Tuhan melakukan keajaiban.
Dalam larik selanjutnya, pengharapan akan keajaiban dari Tuhan itu dideskripsikan lebih lanjut, yakni bahwa aku lirik berharap agar Kelak di kehidupan yang akan datang (larik ke-11) agar bisa melakukan penawaran pada Tuhan/agar kita tidak dipertemukan untuk kemudian dipisahkan (larik ke-12 dan 13). Pengharapan akan keajaiban Tuhan ini jadi terasa kontradiktif, jika dihubungkan dengan “kerja keras” yang aku lirik inginkan tadi di awal. Sehingga kemudian, sikapnya terasa tidak konsisten. Hal ini rasanya cukup mengherankan.
Lalu yang lebih mengherankan lagi, di larik-larik akhir sajaknya, aku lirik kemudian menegasi kembali pernyataannya sebelumnya, bahwa Mengingatmu memang hal yang indah sekaligus menyakitkan/lalu bagaimana keajaiban bisa bekerja/kalau mata, senyuman, dan segalamu mengalahkan/bahkan saat Tuhan mau turun tangan. Larik-larik ini otomatis menegasi pengharapan akan keajaiban Tuhan, seperti yang tadi disebutkan. Pada titik ini, kita mungkin lumayan tercengang, bahwa betapa hebatnya kekuatan mata, senyuman, dan segala hal dari subjek–mu yang dikenang aku lirik ini, sampai-sampai ketika Tuhan mau turun tangan pun jadi seolah tak bisa berbuat apa-apa. Fantastis!
Dan selebihnya, bisa kita simpulkan kemudian, bahwa sajak ini hendak memberi kita pengertian lain. Bahwa cinta dalam konteks melupakan ialah sebuah gejala yang selalu menuntut perasaan dan pikiran kita untuk bekerja lebih keras lagi menuntaskannya. Sebuah gejala yang mampu menembus batas ruang dan waktu kita. Sebuah gejala yang terus menghantui sekaligus meminta kita untuk menuntaskannya, sesuai dengan sikap-sikap khas yang kita miliki sebagai seorang individu. Dalam hal ini, saya kira Zetira masih terlihat “meraba-raba” untuk kemudian mengukuhkan kekhasan cara pandangnya sendiri di dalam sajak.
***
Jika Zetira cenderung mengangkat tema-tema tentang cinta, maka lain lagi tema yang ditawarkan oleh kawan Lutfi Fachrulrozi, yang juga termuat di HU Pikiran Rakyat (Edisi 11/03/2018). Sajak Lutfi yang berjudul “Renta” kira-kira mencoba menawarkan tema tentang masa lalu. Berikut kutipan lengkap sajaknya:
Renta
Aku merasa kasihan
Kepada mereka yang hanya beretorika
Seakan mereka sudah tua
Padahal mereka memiliki tubuh muda
Aku merasa kasihan
Ketika mereka terdiam di saat genting
Seakan mereka tuli bak orang tua
Yang sudah renta dan tak mampu berdiri
Aku rindu zaman dulu
Dimana pemuda-pemudi hebat berdiri
Meruntuhkan dinasti dan bertarung
Serta berdiri menghantam orang munafik
Apa kalian pemuda tak tahu malu?
Kalian sekarang hanya budak
Yang hanya bisa mengeluh
Dan mencibir sembari ketakutan.
Secara keseluruhan, melalui pengucapan bahasanya yang lugas dan ekspresif, sajak ini terasa sekali berpretensi untuk mengkritik masa sekarang yang dianggapnya loyo (konotasi dari kata “renta”). Sebuah masa di mana terdapat orang-orang muda yang seolah-olah jadi tua karena hanya beretorika (bait ke-1) serta diam saja ketika situasi sedang genting (bait ke-2).
Deskripsi tentang masa sekarang tersebut kemudian dibandingkan langsung dengan masa lalu yang dideskripsikan secara heroik: pemuda-pemudi hebat berdiri/meruntuhkan dinasti dan bertarung/serta berdiri menghantam orang munafik (bait ke-3). Melalui strategi perbandingan itulah, sajak ini mencoba mengekspresikan kritiknya terhadap masa sekarang. Dan penanda waktu masa sekarang itu, secara eksplisit bisa kita lihat pada larik kalian sekarang hanya budak (bait ke-4).
Dengan strategi perbandingan tersebut, keadaan zaman dulu itu seolah-olah harus juga ada di masa sekarang. Masa lalu menjadi tolak ukur yang digunakan aku lirik untuk menghadapi masa sekarang. Selain itu, ada kesan bahwa masa sekarang tidak lebih baik dari masa lalu.
Meskipun begitu, dalam beberapa hal, strategi perbandingan yang dihadirkan dalam sajak ini terkadang terasa kurang pas korelasi dan koherensi pembandingannya. Semisal, apakah seseorang yang beretorika itu otomatis bisa disamakan dengan seorang tua? Atau, apakah seseorang yang diam juga otomatis bisa dikatakan tuli terhadap keadaan? Hal-hal tersebut kiranya masih samar-samar dipahami oleh pembaca.
Baca juga:
– Cinta Sabun Mandi
– Pengalaman Puitik dan Pengolahan Bahasa Sajak
Selain kekurangcermatan pembandingan, sajak Lutfi itu juga terkesan terlalu umum, terutama perihal objek dan latar waktu yang diacunya. Semisal, zaman dulu yang diacu itu zaman apa? Di mana latar tempatnya? Hal-hal tersebut semestinya diperjelas lagi oleh Lutfi, agar kritik yang hendak disampaikannya itu tidak menjadi kabur konteksnya.
Padahal pada bait terakhir, deskripsi kritik itu terasa lebih jelas dan meyakinkan jika dibandingkan dengan bait-bait sebelumnya: Apa kalian pemuda tak tahu malu?/Kalian sekarang hanya budak/Yang hanya bisa mengeluh/Dan mencibir sembari ketakutan. Sebuah pernyataan yang mengingatkan kembali pembaca bahwa betapa pentingnya “keberanian” agar kita tidak menjadi budak dari keluhan, ketakutan, serta cibiran yang tak bertanggungjawab.[]
1Theodor Reik, Dkk. 2009, cetakan ke-2. Anatomi Cinta. Jakarta: Komunitas Bambu, hal. 213
2M Aan Mansyur. 2007. Perempuan , Rumah Kenangan. Yogyakarta: INSISTPress, hal. 122