Fb. In. Tw.

Melihat Permainan Hasan Aspahani

Tujuh puisi Hasan Aspahani “Aku Peta Tak Jadi”, “Tentang Banyak Saat dan Aku Salah”, “Maka Aku Mendakwamu”, “Karena Pernah Kutertawakan Diriku Sendiri”, “Jika Kau Kutinggalkan”, “Transaksi yang Tak Pernah Terjadi”, dan “Kecemasan-kecemasan yang Berguguran” mengisi lembaran akhir pekan harian Kompas (10/3/2018).

Puisi Hasan Aspahani tentu jauh lebih bagus dari puisi populer Sukmawati Sukarnoputri yang mendadak bikin heboh itu. Hasan dikenal sebagai penyair yang ulet mengolah gaya ucap dalam karya-karyanya. Hasan mampu menghidupkan apa yang biasanya terasa banal. Sajak-sajaknya lebih bersifat naratif ketimbang ekspresif.1 Meski simbah Goenawan Mohamad mengatakan hal itu untuk konteks kumpulan puisi Pena Sudah Diangkat Kertas Sudah Mengering (Gramedia, 2016), tapi masih cukup relevan digunakan untuk membaca sajak-sajaknya yang terbit di Kompas ini.

Sajak-sajak tersebut ditulis sebagai upaya Hasan Aspahani menulis ulang kembali Chairil Anwar dan perempuan-perempuan di sekitar sang penyair melalui puisinya. Oleh karena itu, sajak-sajak Hasan yang terbit di Kompas ini memiliki konteks khusus. Meskipun begitu, sebagai karya sastra, ia telah lahir kembali sebagai karya baru yang bisa saja dilepaskan dari konteksnya. Ulasan ringkas ini akan melepaskan konteks Chairil dari sajak-sajaknya. Sebab, konteks kadang membuat pembacaan menyempit.

Kecemasan-kecemasan yang Berguguran

KAMI melihat adegan-adegan berlompatan mengepung tubuhnya
mengantarkan cerita-cerita dari nama dan zaman yang gelisah

tentang aroma mesiu di udara kota, jam malam, serangan udara,
lubang-lubang perlindungan, anjing lapar dan kuda liar, yang

mungkin lari dari sebuah pertempuran, setelah sebuah pasukan
dihancurkan, bom dijatuhkan, peluk tangis perempuan dilepaskan
*
Kami mendengar pernyataan-pernyataan dipernyatakan dari mulutnya
menebalkan kata-kata keras, bualan-bualan besar, caci maki bagi

kepengecutannya sendiri, juga keberanian menghantam kebutaan
dinding waktu, membayangkan lubang menganga di situ, dan dia masuk
berlari dikejar segerombolan tahun yang membawakannya mati

Kami menunggu kecemasan-kecemasan berguguran dari jam matanya.

Apa yang menarik dari sajak “Kecemasan-kecemasan yang Berguguran” bukan sekadar kisah yang dituturkan aku lirik dalam alur sajak ini. Tetapi juga, bagaimana strategi sintaksis yang dilakukan oleh Hasan Aspahani. Pada sajak ini, aku lirik menyebut dirinya dengan kami, bahkan KAMI dengan huruf kapital di awal seakan menegaskan jarak aku lirik dengan peristiwa yang dituturkannya. Upaya ini dapat meminimalisasi sentimentalia saat menuturkan sebuah pertempuran—yang biasanya heroik melulu—sehingga penyair bisa tetap berada di dunia yang obyektif.

Sajak ini terasa prosais memang, ia tidak hadir dengan kemewahan musikalitas sebagaimana sebuah sajak sering diharapkan. Namun, hal itu bukan perkara sajak ini. Meski kita membaca sajak ini terasa seperti sedang membaca cerita, tapi kita masih dapat menemukan permainan kata yang menimbulkan efek bunyi, misalnya Kami mendengar pernyataan-pernyataan dipernyatakan dari mulutnya/menebalkan kata-kata keras, bualan-bualan besar, caci maki bagi. Meminjam kalimat Afrizal Malna, cara Hasan menyusun kalimat itu seperti “memainkan kata dan makna dengan cara brutal: kata dapat didislokasi sedemikian rupa dalam berbagai strategi sintaksis”.2

Jika mengacu pada pendapat Afrizal di atas, permainan kata dan makna dengan cara brutal yang paling kentara ada pada sajak Hasan Aspahani. Kita dapat melihatnya pada sajak “Karena Pernah Kutertawakan Diriku Sendiri”. Pada sajak ini, fokus permainan Hasan adalah kata dan makna tangis. Kita baca sajaknya:

AKU akan menangis karena tak bisa menangis lagi
Aku menangis tapi ini bagiku bukan lagi tangisan
Aku mau habiskan tangis dan tak mau lagi menangis

Aku menangis juga untuk tangis yang kau rahasiakan
dalam sajak-sajakmu, segala yang lahir tanpa bidan,
impian-impian yang menjanin dan menembuni sendiri

Aku masih menangis karena dunia salah ‘nertawakanmu
Aku menangis karena pernah kutertawakan diriku sendiri
karena tak mengerti apa yang dulu kau tangiskan itu

Dengan kecakapan sintaksisnya, Hasan dapat memainkan tangis layaknya Lionel Messi memainkan bola. Ia menggiring tangis menjadi menangis, menjadi tangisan, dengan sejumlah makna yang saling-silang di setiap larik.

Lewat tangis, menangis, dan tangisan yang menjalin sajak ini, aku lirik seolah sedang menginsafi arogansi (dunia) dirinya sendiri. Keinsafan aku lirik tersebut tersirat di akhir bait ketika ia tuturkan, Aku masih menangis karena dunia salah ‘nertawakanmu/Aku menangis karena pernah kutertawakan diriku sendiri/karena tak mengerti apa yang dulu kau tangiskan itu.

Permainan Lionel Messi, eh Hasan Aspahani, pada sajak ini juga dilengkapi dengan ‘nertawakanmu yang ia tulis dengan memendekkan kata tersebut menggunakan tanda petik satu (‘) yang sangat mungkin berasal dari kata menertawakanmu. Pada sajak “Karena Pernah Kutertawakan Diriku Sendiri”, bukan makna atau pesan dari sajak yang menjadikannya menarik, akan tetapi kemampuan Hasan mengolah logika bahasa.

Sajak demikian kadang kurang bisa dinikmati, karena permainan bahasa seperti kurang menggetarkan secara fisik. Kalau kata Emily Dickinson, If I feel phisically as if the top of my head were taken off, i know that is poetry.3 Kalau kata Acep Zamzam Noor mah yang bisa bikin bulu kuduk berdiri. Sajak demikian terlalu genial sehingga kurang terasa impresif. Tapi, memang sajak ini tidak bermain di wilayah ekspresif, seperti telah disinggung di atas dengan mengutip GM. Sajak seperti ini lebih mengajak pembaca berdialektika dengan gagasan penyair.

Baca juga:
Memahami dan Merayakan Sastra Koran
Pitunang Puitika Fariq Alfaruqi

Jika kembali kepada konteks, tentu nuansa (sajak-sajak) Chairil akan terasa pada karya Hasan Aspahani yang tayang di Kompas ini. Hal yang cukup wajar, jika mengingat lahirnya sebuah ide dikarenakan pengaruh materi proses kreatif yang dilalui penyairnya.

Tentang Banyak Saat dan Aku Salah

SAAT marah dan saat menerima
saat pergi dan saat mengubah pikiran
saat melilitkan selendang dan saat memasang sepatu
saat menghapus gincu dan mencuci tangan
saat menyimpan cincin dan memandangi kulit jari yang memucat
saat mengenali bayangan dan melupakan bara cerutumu
saat menahan cemas dan aku menyebut namamu lagi
saat kuingat bau tubuhmu dan kulupakan bau tubuhku
saat kujilati es krim Italia dan kau menulis sesuatu
saat menonton propaganda Jepang dan kau menceritakan mimpimu
saat kau lapar dan aku tak punya apa-apa
saat gerimis yang cepat di luar dan hujan yang kelam di kamar
saat kubaca lagi sajakmu dan mengingat kau membaca sajakmu
saat aku menghilang dan terjebak di dalam puisimu
saat kau tiada lagi dan dalam diriku ada yang akan lama mengada
saat aku berpikir semua telah selesai  

dan aku salah.

Sajak ini merupakan sebuah upaya imajinatif Hasan Aspahani menyelami perasaan Sumirat, perempuan Chairil pada masa pendudukan Jepang (1943). Sumirat, disemati panggilan sayang Mirat oleh Chairil pada sajaknya “Mirat Muda, Chairil Muda” dan “Sajak Putih”. Perempuan ini sangat mengagumi Chairil, begitu menurut cerita adik Mirat, Purnawan Tjondronagoro, dalam “Cril, Penyair Kukagumi—Sebagaimana Dikisahkan Mbakyu Sumirat” yang dimuat di Intisari pada 1971.4 Sayang sekali, saya tak sempat melihat akting Tara Basro menjadi Mirat dalam pentas “Perempuan-Perempuan Chairil” yang memanggungkan sajak ini.

Sajak “Tentang Banyak Saat dan Aku Salah” ini terasa memiliki daya pukau yang dapat membuat bulu kuduk berdiri atau bahkan melepaskan kepala dari tempatnya. Lantaran perasaan dan pikiran yang dituturkan aku lirik dapat terjangkau oleh imajinasi pembaca. Ada komunikasi perasaan yang terjalin antara materi-sajak-pembaca. Meski pembaca tidak mengetahui intertekstualitas sajak ini sekalipun, pembaca masih akan merasakan pengaruh melodramatis dari ingatan yang dituturkan aku lirik dalam sajak ini.

Di luar konteks Chairil, Hasan Aspahani merupakan salah satu penyair Indonesia yang sangat tekun mengolah gaya ucap dalam puisinya. Chairil barangkali merupakan salah satu simulakrum baginya untuk menulis puisi. Esok-lusa mungkin kamu yang jadi bahan Bang Hasan untuk menulis puisi. Iya, kamu.[]

  1. Mohamad, Goenawan. “Menghidupkan Apa yang Biasanya Terasa Banal”. Pena Sudah Diangkat Kertas Sudah Mengering Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016.
  2. Malna, Afrizal. “Sebuah Generasi di Hari Minggu”. Pada Batas Setiap Masa Kini: Esai Sekitar Puisi Prosa. Yogyakarta: Octopus Publishing, 2017.
  3. Hirsch, Adam. “Message in a Bottle”. How to Read a Poem: And Fall in Love with Poetry. New York: Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company, 1999.
  4. Yumiyanti, Iin. “Kasih Tak Sampai Chairil Anwar”. Detik.com.
KOMENTAR

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register