
Kemiskinan dalam Potret Keluarga
Terbunuhnya Anwar Sadat oleh Margio adalah awal sekaligus akhir dalam novel Lelaki Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004) karya Eka Kurniawan. Eka Kurniawan tak tanggung-tanggung saat mengisahkan pembunuhan itu. Margio hanya berbekal senjata paling primitif dalam sejarah manusia, yakni yang berasal dari tubuhnya sendiri, tangan dan giginya. Menjadikannya sebagai peristiwa pembunuhan paling menggemparkan sekaligus bersejarah dan barangkali tak bisa dengan mudah dilupakan.
Selain itu, Eka Kurniawan juga memberikan unsur ‘magis’ pada peristiwa pembunuhan itu, adanya harimau putih yang merasuki Margio ketika menghabisi Anwar Sadat (hlm. 38). Harimau itu diyakini merupakan warisan dari kakeknya untuk menjaga sang tuan dari segala macam bahaya. Harimau putih yang bersemayam di dalam tubuh seseorang memang menjadi salah satu folklor yang hidup dalam masyarakat Jawa Barat. Meski demikian, novel ini pada dasarnya dituturkan dengan gaya realis.
Eka Kurniawan memanfaatkan plot yang maju-mundur dalam Lelaki Harimau demi menjelaskan sejarah dan latar belakang para tokoh. Alih-alih menjelaskan motif Margio membunuh Anwar Sadat, Eka Kurniawan membuat jalur cerita yang memutar. Pembaca seolah sedang mengupas kulit bawang merah, berlapis-lapis dan kadang bikin mata perih. Bukan perih karena bikin sedih atau ingin menangis, melainkan pembaca akan mendapati peristiwa demi peristiwa yang dialami para tokoh, yang kebanyakan memang rumit sekaligus menyedihkan.
Sehingga, di balik peristiwa pembunuhan yang menggemparkan itu, terdapat pelbagai persoalan rumit para tokoh yang saling berkaitan. Terutama persoalan kemiskinan dalam kehidupan keluarga yang tak bahagia, yang telah menjadi bagian dari realitas kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
Potret Keluarga Komar bin Syueb
Keluarga seringkali dianggap sebagai bentuk organisasi sosial terkecil dalam masyarakat. Dalam organisasi kecil ini, bapak biasanya ditempatkan sebagai pemimpin sekaligus penguasa dominan. Ibu tak boleh menggantikan peran bapak atau anak menggantikan peran ibu, dan seterusnya. Sebab, jika demikian, ia menyalahi konsep keluarga.
Apalagi, pada masa orde baru pimpinan Haji Soeharto, misalnya, kita ingat dengan konsep Nilai Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi pakem keluarga ideal Indonesia. NKKBS ialah konsep keluarga harmonis yang berisikan satu ayah, satu ibu, dan (lazimnya) dua anak. NKKBS ini memang sejalan dengan program keluarga berencana yang digalakkan oleh masa pemerintahan Haji Harto. Di luar pakem ini, sebuah keluarga niscaya tak akan harmonis dan bahagia.
Keluarga yang dibangun oleh Komar bin Syueb sudah sesuai dengan standar baku NKKBS tersebut. Komar sebagai ayah dan Nuraeni sebagai ibu. Pasangan ini dikaruniai sepasang anak, Margio dan Mameh. Sudah sepatutnya, keluarga ini menjadi keluarga yang bahagia dan harmonis. Namun, sebaliknya, keluarga ini hidup dalam ketidakbahagiaan. Belakangan, Nuraeni melahirkan anak ketiga yang diberi nama Marian. Kehadiran Marian menjadi puncak dari konflik yang menyelimuti keluarga ini.
Meski telah sesuai dengan standar baku NKKBS, keluarga Komar bin Syueb tak pernah bahagia. Bahkan, sejak semula, keluarga ini memang tak pernah bahagia.
Sebagaimana lazimnya masyarakat desa, di dalam novel ini, proses perkawinan dimulai dari perjodohan oleh para orang tua. Namun, perjodohan ini tak lantas menjadi pemicu ketidakbahagiaan. Sebaliknya, anak-anak yang dijodohkan oleh orang tuanya merasa gembira dengan kabar perjodohan mereka, seperti yang pula dirasakan oleh Nuraeni.
Si Gadis tak diberi tahu sampai sore tiba ketika ayahnya berkata, “Nyai, kelak kau kawin dengan Komar bin Syueb.”
Ia tak mengenal lelaki itu bagaimanapun, kecuali ingatan sekilas sebagai penghuni kampung yang sama. Dan itu tak bikin ia terlampau terkejut, sebab nama mana pun barangkali sama asingnya untuk didengar. Lagi pula ia telah menanti petang semacam itu, saat ayahnya akan berkata dengan siapa kelak ia akan kawin, sebab itulah yang selalu ditunggu para gadis di sana. Berita itu, sebaliknya, cukup membuat riang si gadis dua belas tahun, meski ada sedikit waswas serupa apa perangai calon lakinya. Paling tidak, kini dan seterusnya sampai ia kawin, Nuraeni boleh berkata pada kawan karib bahwa ia ada punya pacar. (hlm. 96-97).
Nuraeni adalah yang pertama merasakan ketidakbahagiaan dalam keluarga ini. Setelah mengalami kekecewaan karena Komar bin Syueb tak pernah berkirim surat untuknya semasa pacaran, ia mendapati begitu banyak kekerasan fisik dari suaminya itu. Kekerasan fisik itu dialami Nuraeni sejak malam pertama perkawinan mereka dan terus berlangsung dalam kehidupan mereka.
Permusuhan itu mulai datang sejak malam pertama, kala Nuraeni telah teronggok di tempat tidur kelelahan, dan masih mengenakan kebaya pengantinnya, dengan pinggul dan kaki dibelit kencang kain batik. Komar yang keburu nafsu mengajaknya telanjang dan bercinta, tapi Nuraeni hanya menggeram tanpa mengubah ringkukan. Tanpa banyak tanya, Komar melucuti pakaiannya sendiri, meninggalkan celana dalamnya yang menggelembung oleh batang kemaluan yang mengacung kencang, lalu mendorong tubuh istrinya agar bangun. Nuraeni hanya berguling dan menggeram dan meraba guling. Sedikit jengkel, Komar mulai menarik kain pembelit kakinya, mengulurnya hingga Nuraeni berguling-guling tak karuan, dan kala itu telah tanggal, tampaklah kaki langsat hanya mengenakan celana dalam hijau muda berbunga-bunga. Tanpa memedulikan baju kebayanya, Komar segera menerjang dan jatuh di atasnya, menarik turun celana dalam Nuraeni, lalu celana dalamnya sendiri, kemudian menusuknya. Mereka bercinta tanpa kata-kata, hingga pegal dan jatuh tertidur. (hlm. 110-111).
Adegan demi adegan kekerasan fisik terhadap Nuraeni terus dihadirkan pengarang. Terutama saat berahi dan keinginan Komar bin Syueb untuk bercinta datang memuncak. Komar yang merasa memiliki hak atas tubuh istrinya, tidak segan-segan memukul Nuraeni demi mendapatkan apa yang diinginkannya.
Masa-masa bercinta selalu merupakan saat yang sulit bagi mereka, sebab Nuraeni selalu menampilkan keengganan tertentu, dan Komar hampir selalu memaksanya jika nafsu telah naik ke tenggorokan, dan kerap kali itu hampir serupa pemerkosaan bengis di mana Nuraeni akan ditarik dan dilemparkan ke atas kasur, dan disetubuhi bahkan tanpa ditanggalkan pakaiannya, lain waktu disuruhnya mengangkang di atas meja, kali lain disuruhnya nungging di kamar mandi. Adakalanya untuk menanggulangi keengganan Nuraeni yang menjadi-jadi, Komar mesti memukulnya, menampar pipinya bukanlah hal yang jarang, malahan sering pula menempeleng betis indahnya dengan kaki ganasnya, membuatnya roboh dan tak berdaya, dan saat tak ada tenaga itulah Komar bisa merampok selangkangannya. (hlm. 111-112).
Sejatinya, percintaan antara pasangan yang menikah dengan sah, mestinya menjadi kegiatan yang paling membahagiakan. Namun, hal ini tak berlaku bagi Nuraeni yang kadung membenci Komar sebelum mereka menikah.
Bagi Nuraeni sendiri, saat-saat bengis itu serasa kematian yang datang sepenggal-sepenggal, dan ia tak tahu bagaimana mengelaknya. Tak terpikirkan olehnya untuk pergi dan kembali ke ayahnya, sebab tampaknya hanya akan menambah-nambah murka orang kepadanya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan tak lebih dari membungkam diri, sebab sekali waktu kadang Komar cukup manis juga dan memperlakukannya patut. Betapapun, hari-hari menderitakan tersebut tak pernah mengizinkannya untuk menjadi cengeng, kelak ini diwariskan kepada anak-anaknya. (hlm. 112).
Kebencian terhadap Komar bin Syueb itu disusul oleh Margio yang didorong perasaan kasih sayang terhadap ibunya, turut membenci dan memusuhi Komar bin Syueb, di samping kekerasan fisik yang diterimanya. Begitu juga dengan Mameh yang diam-diam ikut menyimpan dendam pada ayahnya. Sepanjang hidup Margio dan Mameh, terlampau sering menyaksikan ibunya disiksa. Pada tahap ini, pembaca juga seperti digiring untuk ikut membenci Komar bin Syueb dengan segala kelakuannya yang brengsek.
Perilaku kasar Komar bin Syueb memuncak tatkala menemukan Nuraeni tengah mengandung seorang anak, yang tentu saja bukan anak Komar. Anak yang dikandung Nuraeni adalah hasil skandal perselingkuhannya dengan Anwar Sadat. Akibat tindak kekerasan Komar, Nuraeni terpaksa melahirkan Marian sebelum waktunya. Dan, kemudian, bayi malang itu tak dapat hidup lebih lama dari satu pekan.
Kebencian Margio pada ayahnya itu memuncak ketika Marian mati di hari ketujuh setelah kelahirannya. Sejak saat itu pula, Margio memiliki keinginan untuk membunuh ayahnya. Namun, Margio tak membunuh Komar bin Syueb, sekalipun ia mampu melakukannya. Ada yang membuat Margio menahan hasrat untuk mengakhiri hidup laki-laki yang menjadi sumber derita bagi ibunya.
Maka ketika Marian mati, dan ibunya jatuh ke dalam duka yang tak tersembuhkan lagi, Margio sungguh berhasrat untuk memenggal leher Komar. Lelaki itu muncul kembali tak lama setelah mereka membenamkan Marian di pemakaman, penuh kemenangan, namun Margio tak juga sanggup mengayunkan golok, demi bayang-bayang tubuh telanjang Nuraeni dan Anwar Sadat. Kepala busuknya sendiri mencoba memahami sikap jumawa Komar bin Syueb, menatapnya dengan nada sedih yang sama, dan daripada didengki, wajah itu lebih tepat mesti dikasihani. Namun gelora kehendak menghentikan hidupnya tak juga mau hengkang, ditambah-tambah kala suatu pagi ia menemukan harimaunya. Selalu dirasainya, harimau itu hendak melesat dari tubuhnya dan menerkam Komar bin Syueb tepat di lehernya. (hlm. 184).
Margio mengetahui dan pernah menyaksikan skandal antara ibunya Nuraeni dengan Anwar Sadat. Hal itu juga yang mungkin menahannya untuk tak membunuh Komar bin Syueb. Ia mungkin iba pada Komar yang bagaimanapun brengseknya telah dikhianati oleh istrinya sendiri.
Margio mengalami kegalauan psikologis ketika menghadapi persoalan itu. Bukan saja ia menyadari bahwa skandal antara Nuraeni dan Anwar Sadat salah secara moral, melainkan juga hubungannya dengan Maharani, gadis bungsu Anwar Sadat. Namun, pada akhirnya, Margio mampu menentukan sikapnya dalam menghadapi situasi yang rumit itu.
Pertama, ia menerima skandal tersebut demi melihat Nuraeni bahagia, sebagaimana ia tak pernah melihatnya satu kali pun bahagia dalam hidupnya.“Demi senyum keparat itu, kuampuni dirimu tidur dengan bangsat mana pun.” (hlm. 184). Kedua, Margio melepaskan Maharani yang mencintainya demi meminta Anwar Sadat untuk menikahi ibunya.
Kembali Margio mendengus, dan deretan kalimat ini deras keluar dari mulutnya. “Ayahmu Anwar Sadat meniduri ibuku Nuraeni, dan lahirlah si gadis kecil yang mati di hari ketujuh bernama Marian, sebab ayahku mengetahuinya dan memukuli ibuku hingga Marian lahir bahkan telah sekarat.”
Jelaslah itu pun sanggup menghentikan tangis si gadis, yang kini menganga dengan kata-kata yang bangsat dan tak sanggup dicernanya. Namun Margio telah mengatakan kebenaran tersebut, sebermakna khotbah Kyai Jahro di pengeras suara mesjid setiap Jumat siang dan Maharani berkali mendengarnya, sesungguh para penyiar televisi membisikkan kebenaran-kebenaran tersembunyi. (hlm. 186).
Di bagian penutup novel ini, terungkaplah motif Margio membunuh Anwar Sadat. Margio sendiri telah meramalkan bahwa dirinya akan membunuh seseorang di hari itu. Hampir semua orang yang ditemuinya pada hari itu juga dapat menangkap kegelisahan Margio. Memang hampir semua orang juga tahu jika satu-satunya orang yang mungkin akan dibunuh oleh Margio adalah Komar bin Syueb. Namun, ayahnya mati tanpa harus lebih dulu dibunuh oleh Margio.
Margio menerkam Anwar Sadat lewat satu kalimat penjelasan yang tegas dari lelaki yang gemar main perempuan itu: “Lagi pula, aku tak mencintai ibumu.” Itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa angsa, (hlm. 190) tutur sang narator. Namun, seperti yang telah diketahui oleh pembaca sendiri bahwa di balik peristiwa pembunuhan itu terdapat persoalan rumit yang melibatkan kebencian, permusuhan, dan dendam.
Potret keluarga tak harmonis dan jauh dari kebahagiaan ini diisi dengan pelbagai peristiwa mulai dari kekerasan, dendam, sampai perselingkuhan. Hal ini mungkin dapat ditelusuri dari kekecewaan Nuraeni terhadap Komar bin Syueb yang tak pernah mengiriminya surat, seperti laki-laki perantau lain di kampungnya. Namun, seperti yang diterangkan di dalam novel, Komar bin Syueb bukan tak ingin menulis dan mengirimkan surat buat Nuraeni, melainkan ia tak tahu apa yang mesti dituliskan di dalam suratnya.
Kenyataan bahwa Komar bin Syueb merantau keluar dari desa hanya untuk menjadi tukang cukur, membuatnya tak bisa bercerita banyak tentang kehidupannya (hlm. 146). Komar bin Syueb adalah salah satu dari sekian pemuda yang keluar dari desanya untuk mencari sumber penghasilan yang lebih baik di kota, tapi tak dapat diserap dalam perindustrian (pabrik) di kota. Meski, tentu saja, dengan usaha mencukurnya, ia dapat bertahan hidup bersama keluarga tak harmonisnya, tapi tetap saja menempatkannya dalam lingkaran kemiskinan.
Baca juga:
– Seksualitas sebagai Wacana Kekuasaan
– Tubuh Monyet, Topeng Manusia
Dalam esai sebelumnya, diterangkan bahwa Eka Kurniawan berupaya untuk mengangkat tema kekuasaan di dalam novel-novelnya. Kekuasaan tak melulu terpusat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Michel Foucault bahwa kekuasaan ada di mana-mana; kekuasaan datang dari mana-mana; dan kekuasaan merupakan dimensi relasi manusia. Begitupun dengan novel Lelaki Harimau. Kekuasaan yang dibicarakan Eka Kurniawan tak terpusat, tapi menyebar. Sekalipun ia berasal dari sumber yang sama, yakni sistem sosial yang melahirkan kemiskinan.
Betapapun, surealnya atau terdapat sentuhan magis dalam novel ini, Eka Kurniawan tetap bertolak dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari dengan segala permasalahannya yang seringkali tak bisa diselesaikan oleh pelajaran-pelajaran di sekolah, utamanya mata pelajaran P4. Juga problem itu juga tak mampu diselesaikan dengan program NKKBS bikinan Haji Harto.[]