Fb. In. Tw.

Memahami dan Merayakan Sastra Koran

Preambul

Mengulang trikotomi yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce yaitu hubungan antara objek, representamen, dan interpretan.1 Ide dari sebuah sajak sebagai objek dan penerimaan pembaca sebagai interpretan haruslah terdapat ground, atau kesamaan pengetahuan agar isi sajak dapat dimengerti oleh pembaca. Pengetahuan akan suatu hal tentunya sangat berbeda antara satu kepala dan kepala lain.

Terkait ground tersebut, saya coba kaitkan dengan karya-karya yang tayang pada koran setiap akhir pekannya. Agaknya dalam konteks ini, pembaca lebih bersusah-payah membangkitkan pengetahuan daripada penyairnya. Hal ini disebabkan satu dan lain hal, misalnya terdapat dua penyair atau lebih, dalam sekali pemuatan karya, atau penyair mengangkat kisah-kisah sebagai intertekstual yang beragam pada setiap sajaknya. Maka pertanyaan saya adalah, apakah pembaca sastra koran selalu menikmati sajak-sajak yang tayang di koran setiap akhir pekannya?

Dalam esai “Sastra Koran di Indonesia”, Katrin Bandel membandingkan peran media yang menayangkan karya sastra di Indonesia dengan negeri asalnya, Jerman. Katrin menuliskan bahwa fungsi halaman sastra di Indonesia agak luar biasa. Koran yang biasanya menjadi media informasi tentang berbagai bidang untuk orang awam/rakyat, di Indonesia menjadi media komunikasi antar-orang sastra.2

Katrin kurang-lebih menyatakan bahwa pada akhirnya sastra koran hanya dinikmati oleh orang-orang sastra. Dari penyataan ini, saya tidak langsung memandangnya sebagai suatu hal yang buruk, namun dengan penayangan setiap akhir pekannya, sebuah karya hanya dirayakan oleh beberapa orang dan mungkin dalam waktu yang tidak lama. Seperti kata Katrin tentang persoalan ini, bahwa keluarbiasaan ini perlu disadari dan direfleksikan.

***

Dalam dua bulan terakhir, koran Kompas cenderung menayangkan sajak-sajak yang didasarkan oleh teks lain,3 maka diperlukan pembacaan lebih agar dapat memahami dan menikmati sajak-sajak yang tayang. Begitu juga pada sajak yang tayang di harian Kompas tanggal 3 Maret 2018. Terdapat dua penyair yang karyanya dimuat yaitu Boy Riza Utama dan Nermi Silaban.

Sama seperti sebelumnya yang tayang di Kompas, beberapa sajak Boy Riza Utama dan Nermi Silaban mengangkat sebuah kisah yang pernah ada. Sajak “Catatan Justus” karya Boy Riza Utama, misalnya. Sajak ini menceritakan ulang kisah tentang Justus Van Maurik saat ia melihat Tjoe Boen Tjiang dihukum gantung.

Dalam sajak ini, aku lirik berperan sebagai narator yang membatasi dirinya bahwa ia tidak benar-benar mengetahui peristiwa yang dialami Justus, misalnya pada larik Barangkali Justus akan mencatat atau pada larik Kita bayangkan Justus bergumam. Diksi barangkali dan bayangkan hadir sebagai kemungkinan peristiwa yang dinarasikan oleh aku lirik.

Sajak “Catatan Justus” hanya bentuk afirmasi terhadap peristiwa ini. Tidak ada sikap eksplisit dan keterkaitan dengan konteks hari ini dalam sajak. Penyair mencoba untuk mengembangkan sajaknya dengan cara mendalami perasaan Justus. Hal ini merupakan upaya pengembangan puitis dari penyair, misalnya dalam bait berikut.

Kini, kita bayangkan Justus diam-diam menepikan
Catatan itu seraya bertanya sekaligus berdoa,

”Tuhan, apa kami tak seharusnya di sini?
Tuhan, apa kami juga akan diadili oleh
Puak tungau-pencuri ini, suatu hari?”

Terdapat upaya penyair untuk menjelaskan kisah ini secara langsung. Maka dari itu, pembaca yang tidak mengetahui Justus Van Maurik dapat meraba-raba peristiwa yang dikisahkan dalam sajak ini. Misalnya dalam larik “Tjoe Boen Tjiang, 1896,/Kena pasal Bataviasche Ordonnanties/Lantaran tak ada aturan soal cinta dan asmara/Maka kita doa biar dia damai – damai di ’sana’.”.

Selain itu, terdapat upaya penghadiran aforisme dalam sajak ini, dalam bait “Maafkan aku, Impeh, karena kadang/Asmara bikin kita punya lagak/Jadi sedikit aneh – dan nyeleneh.”. Aforisme menjadi penting dalam menciptakan ground antara penyair dan pembaca.

Hal yang mirip ditemukan dalam sajak karya Boy Riza Utama lain. Hampir semua sajaknya mengangkat teks yang telah ada sebelumnya. Khususnya teks-teks sejarah digunakan oleh penyair dalam membangun sajaknya. Aku lirik tidak hadir secara dominan mengungkapkan perasaannya dalam sajak, maka pengetahuan tentang teks yang mendasarinya diperlukan untuk dapat lebih memahami sajak-sajak tersebut.

Misalnya pada sajak “Potret Malam di Kota Tua, Jakarta”. Meskipun peristiwa yang dibangun adalah aku lirik berbicara dengan seseorang tentang Kota Tua, akhirnya aku lirik mengaitkan peristiwa sejarah tentang Kota Tua tersebut.

Baca juga:
Pitunang Puitika Fariq Alfaruqi
Reka Ulang Sebuah Narasi

Penyair selanjutnya ialah Nermi Silaban. Sama seperti Boy, dalam sajak “Menyulam Jejak Zhang Sanfeng”, Nermi mendasarkan teks sebelumnya sebagai pembangun sajak, tepatnya mengangkat kisah tentang seorang pendekar Tiongkok, Zhang Sanfeng. Namun berbeda dengan sajak “Catatan Justus” di atas, kisah dalam “Menyulam Jejak Zhang Sanfeng” lebih terasa tertutup. Hal ini dikarenakan dalam sajak ini secara dominan aku lirik menyatakan impresi personal terhadap tokoh. Mari kita baca sajak tersebut.

Kupilih dua motif bagi dukamu
hakikat abu dari puja api
dan mendung sebentar tadi.

Sekuntum gua dalam batinmu
tangkai-rutenya dari kaki bukit
kususur sehelai benang
pikiran di dahi jarum sulam.

Masuk relung ingatanmu
latar dinding penuh relief
makna segenap sabda Laozi
bisa percik air disentuh sifat batu
atau hasrat elang pulang ke sarang.

Antara kelam dan jernih
nyata terasa saat senyum
menemukan terang.

Di luar bungkus kata
transmutasi
tercetus kupu-kupu
menafsirmu.

Atau cuma seulas tebing
pada sekitar latar kasa ini
bagi kau selepas tertawa
bagai dalam prinsip Dao
kepak sayap bangau
tengah mengelana.

Selain pengetahuan tentang teks Zhang Sanfeng, pembaca juga dihadapkan pada impresi yang terkesan gelap, semisal hakikat abu dari puja api, mendung sebentar tadi, Sekuntum gua dalam batinmu, dan masih banyak lagi. Penyair seakan tidak memberi pintu masuk bagi pembaca terhadap sajak, bait demi bait secara dominan menghadirkan kesan-kesan metaforis.

Sajak Nermi selanjutnya berjudul “Pengantar Terakhir Burung Layang-layang”. Sajak ini merupakan interpretasi bebas dari lagu “Burung Layang-layang” yang disenandungkan oleh Reda dan Jubing. Namun dalam sajak ini, imaji yang dibangun seakan bertumpuk..

Setidaknya terdapat tiga hal yang dibangun dalam sajak ini. Pertama, lagu “Burung Layang-layang” dalam bait Dari lintang kabel –/garis paranada itu,/senyuman sayap burung layang-layang/telah digenggam angin.; kedua, impresi aku lirik terhadap lagu tersebut dalam bait Pesawat kertas lepas/dari tangan masa kecil,/derit papan ayun di taman bermain/tinggal sepoi napas irama.; ketiga, penampilan Reda dan Jubing sendiri dalam bait tangan-busur yang lirih/mengiring rinai senar gitar/dipetik bagai kereta pengantar terakhir/dari pelantun yang getir. Ketiga hal tersebut bercampur dalam bait-bait lain.

***

Sajak-sajak di atas merupakan sajak yang didasarkan oleh teks lain, meskipun dua penyair mengolah sajaknya dengan cara yang berbeda. Boy Riza Utama cenderung mengafirmasi sedangkan Nermi Silaban lebih cenderung melakukan interpretasi bebas. Kedua hal tersebut lazim dilakukan dalam penciptaan sajak. Hanya saja, pembaca akhirnya harus memeras otak dan membuka lagi khazanah pengetahuan untuk memahami dan menikmatinya.

Pengolahan bahasa adalah pintu pertama pembacaan sajak. Pengolahan bahasa dapat menggiring pembaca pada objek dari sajak tersebut atau justru mengaburkannya. Bentuk sajak sebagai representamen akhirnya menjadi pilihan penyair. Apakah sajak tersebut untuk dirayakan oleh masyarakat awam atau hanya orang-orang sastra?

1 Disarikan dari Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra (Okke K. S. Zaimar, 2008: hlm. 4).
2 Disarikan dari Sastra, Perempuan, Seks (Katrin Bandel, 2006: hlm. 45)
3 Dapat dibaca pada esai-esai dalam rubrik Buka Koran di laman ini.

KOMENTAR

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register