Fb. In. Tw.

Cinta Sabun Mandi

Meski cinta adalah fatamorgana yang menjengkelkan1, tapi cinta hampir selalu menjadi tema utama yang ditulis oleh seorang penulis. Cinta seakan tiada habisnya untuk digali dan dieksplorasi. Cinta dengan segala variabel kisahnya disampaikan lewat puisi. Cinta yang paling cantik mungkin hanya milik Dian Sastrowardoyo. Namun bagi seorang penyair, cinta terbaik adalah cinta yang disampaikan lewat puisi yang ditulisnya.

HU Pikiran Rakyat edisi 04 Maret 2018, menayangkan tiga buah sajak dari tiga orang penulis. Dua di antaranya merupakan sajak cinta. Sajak cinta pertama ditulis oleh Neneng Hendrayani, seorang pengajar kelahiran Bogor. Neneng menulis sebuah sajak dengan judul “Untuk Kekasihku”. Bait pertama sajaknya dibuka dengan pernyataan dan pengakuan cinta yang bergelora.

Bila esok tak lagi kau dapati aku di sini
Usah sedih usah kau tangisi
Tubuhku akan mati
Hancur lebur di makan api
Api angkara, api cinta yang membara

Bila esok kau temui seroja telah layu
Usah kau pilu
Hatiku tak akan berubah padamu
meski di makan waktu

Berbicara cinta, sajak “Untuk Kekasihku” mewakili cinta yang tertuju langsung, tanpa tedeng aling-aling. Aku lirik dalam sajak ini mengatakan dengan gamblang bahwa cintanya adalah api cinta yang membara. Bahwa hati aku lirik tak akan berubah padamu (kekasih) meski di makan waktu. Fantastis. Tak terbantahkan. Super sekali.

Membaca dua bait awal, saya lalu teringat lagu cinta yang dinyanyikan Jaja Miharja berjudul “Cinta Sabun Mandi”. Lagu yang populer saat saya SD. Lagu dangdut yang tak kalah syahdu dan menggebu-gebu yang juga berbicara soal cinta. Berikut kutipan dua bait lirik lagu tersebut.

Kalau kaca bisa pecah kayu juga bisa patah
Tapi cintaku pada Nyai tak akan bisa berubah
Sampai tua cintaku tak akan musnah

Cintaku kepada Nyai tak seperti sabun mandi
Apabila sering dipakai makin habis kurang wangi
Percayalah cintaku suci ka Nyai

Jika pada sajak “Untuk Kekasihku” cinta digambarkan sesuatu yang membara maka pada lagu “Cinta Sabun Mandi”, cinta diibaratkan sesuatu yang suci nan abadi, tidak seperti sabun mandi yang akan habis kurang wangi bila dipakai terus-menerus. Pengibaratan cinta, baik oleh Neneng maupun dalam “Cinta Sabun Mandi” kurang lebih sama. Bahwa keduanya sama-sama ingin menegaskan kesetiaan, tak akan berpaling apalagi berkhianat. Cinta bagi keduanya menjadi sesuatu yang sakral dan kekal.

Baca juga:
Pengalaman Puitik dan Pengolahan Bahasa Sajak
Puisi Menggagahi Bahasa

Perspektif cinta, baik dalam sajak “Untuk Kekasihku” maupun dalam lagu “Cinta Sabun Mandi” memiliki sudut pandang yang sama. Cinta adalah sesuatu yang harus dijaga marwah kesuciannya apapun yang terjadi. Apapun yang terjadi loh ya.

Sajak “Untuk Kekasihku” terus meyakinkan arti cinta pada dua bait selanjutnya.

Bila esok tak lagi kau dengar kidungku
Kidung indah gubahan para Mpu
Dari masa Singasari
hingga akhir Brawijaya berdiri
Usah lagi kau cari ke seluruh negeri
Karena aku akan tetap bernyanyi
Menghampiri lewat rinai hujan senja hari

Bila esok tak lagi kau lihat melati bermekaran
Usah kau bimbang
Bungaku tetap lah mekar menawan
Di jantung hatimu yang terdalam
Berpendar bersama kunang-kunang
Tebarkan harum ke seluruh alam

Luar biasa bukan? Andai saja sajak ini ditujukan kepada saya, bisa dipastikan saya tidak akan mencetak sajak ini besar-besar. Dipajang di dinding ruang tamu dengan bingkai pigura terbaik (pilihannya mungkin berwarna emas dengan ukiran Jepara). Sebab bagi saya, cinta semacam itu langka, tak ada lawan, dan fenomenal. Apalagi pernyataan cintanya hadir dalam bentuk puisi. Dimuat di media ternama pula. Bayangkan sodara-sodara. Bayangkan!

Karena mungkin dirasa belum cukup meyakinkan, sajak ini dilanjutkan dengan dua bait terakhir yang tak kalah menggetarkan.

Bila esok kau lihat bayangku
Berdiri memunggungimu
Usah kau ragu
Usah kau pilu
Usah pula kau lari menjauhiku
Karena aku bukan hantu

Ambilah cerminmu
Tataplah matamu
Jauh di dasarnya, kau ‘kan temukan aku
Rahasia hatimu
Rahasia cintamu
Setangkup rindu dari masa lalu!

Saya kehabisan napas untuk mendeskripsikan dua bait sajak di atas. Apalagi bila membaca empat larik bait terakhir. Saat menatap cermin lalu menemukan rahasia cinta dan rahasia hati. Puji Tuhan. Tanpa terasa air mata bercucuran, lupa cicilan motor, lupa tagihan listrik, bahkan sampai lupa diri. Huft.

***

Sajak cinta kedua ditulis oleh Jundun Alfarid. Pemuda kelahiran Garut yang sedang menggarap taman (bunga) Tulip di dada yang terbakar. Sajak Jundun berjudul “Memoar Sebuah Kamar”. Sebuah sajak patah hati yang menyayat-nyayat sanubari pembacanya.

Membaca biodata penulisnya, entah kenapa saya jadi teringat kegetiran sebuah film drama-horor tahun 1972 berjudul “Birth in The Grave”. Film yang ditulis Sjumandjaja dan melambungkan nama Suzanna sebagai ratu horor Indonesia, diadaptasi dari komik berjudul “Tangisan di Malam Kabut” karya Ganes TH.

Berikut bait pertama sajak berjudul “Memoar Sebuah Kamar”.

Setiap kali kugali kedalaman hati, kudapati afair yang permata. lantas kuterjemahkan menjadi puisi paling sedih, dengan kata-kata yang lahir dari kesunyian menahan memar. ketika terkenang pada kebun, bangku, atau kasur bertabur mawar.

Memeriksa bait di atas, saya merasakan cinta yang getir dan nelangsa. Apalagi bila membaca kalimat afair yang permata. Afair dalam KBBI berarti hubungan asmara yang berlangsung singkat. Bisa Anda bayangkan, bagaimana perasaan aku lirik saat mengalami kandasnya afair kemudian terkenang pada kebun, bangku, atau kasur bertabur mawar sebagai saksi dari hubungan itu. Terenyuh, pedih, dan nanar. Seakan di dada ini ada traktor atau karburator yang terbakar.

Selanjutnya, Jundun mendeskripsikan kegetiran itu lewat bait kedua.

Kini aku berusaha menyeka sisa lipstikmu, sebelum kutenggelam pada tikar yang telah kita gelar di kamar menggigil. kuputar satu lagu hangat kita, membawa pada sulur-sulur keindahan langit memerah. sambil kuingat-ingat jenis kaos, tebal jaket serta kurasakan kembali bentuk bibirmu, kusimpan menjadi potret hitam putih yang terhapus tetesan jam/di tanganmu saat ini.

Bait ini saya pikir lebih menggetarkan daripada bait pertama. Kenangan afair aku lirik diperjelas lewat peristiwa-peristiwa. Upaya untuk menyeka sisa lipstikmu sambil (me)rasakan kembali bentuk bibirmu akan membuat siapapun iba dan cabul setelah membacanya. Bait ini adalah rekaman kisah cinta aku lirik yang kandas dengan kenangan indah tak terlupakan.

Sajak ini pun ditutup oleh bait terakhir yang sanggup melelehkan air mata pembacanya.

Cahaya memantulkan diri pada kaca jendela, membiarkanku meronta-ronta dikerubungi/gelap tak berkesudahan. setiap pagi, membuka mata adalah hal yang tak kuinginkan./masih kulihat pucat wajahmu terlukis di dinding terkikis waktu, atau lengan kita saling/berebut ributkan debar jantung, serta saat-saat kutambak air di jernih matamu.

Dengan larik, setiap pagi, membuka mata adalah hal yang tak kuinginkan. Aku lirik seolah ingin menegaskan bahwa kandasnya afair merupakan hal yang begitu berat untuk dihadapi. Itu baru afair, bayangkan apa jadinya jika aku lirik pacaran bertahun-tahun terus ditinggal nikah. Mungkin aku lirik akan benar-benar menangis dalam kubur.

Sedangkan larik, saat-saat kutambak air di jernih matamu, merupakan puncak puitik sajak ini. Perasaan aku lirik yang diwakilkan sebuah aforisme ciamik. Aku lirik dalam sajak ini mengalami penderitaan yang setara dengan Cut Pat Kay, Marsekal Pasukan Langit dengan nama asli Tian Feng, dalam buku Petualangan Kera Sakti karya Wu Cheng-en. Pat Kay mengalami derita oleh cinta yang berakhir karena perpisahan, persis seperti yang dialami aku lirik dalam sajak “Memoar Sebuah Kamar”. Aku lirik dalam sajak ini seolah ingin mengatakan dengan lantang, “Sejak dulu beginilah cinta, penderitaannya tiada akhir.”[]

1Lihat hal. 216 buku Darah Muda karya Dwi Cipta terbitan Literasi Press, 2018.

KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

You don't have permission to register