Darah Muda: Problematik Pendidikan
Akhir-akhir ini, saya sedang bergelut dengan masalah-masalah yang muncul dalam dunia pendidikan. Bukan hanya tentang peraturan Permenristekdikti tentang BKT (Biaya Kuliah Tunggal) dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) juga organisasi kemahasiswaan yang cukup menjadi polemik di kalangan mahasiswa, bahkan sampai pada ranah pelaksanaan proses KBM (kegiatan belajar mengajar) seperti metode mengajar guru maupun dosen selalu menempatkan murid sebagai objek, bukan subjek.
Dunia pendidikan juga tak pernah lepas dari kasus perundungan, baik di sekolah dasar maupun perguruan tinggi. Hal ini terjadi karena instansi pendidikan tidak mampu mewadahi tiap karakter siswa. Masih banyak problem tentang pendidikan di Indonesia. Ini menjadi pekerjaan rumah negara tentang bagaimana seharusnya pendidikan itu berjalan.
Sastra sebagai cerminan kehidupan sosial juga bisa merekam permasalahan pendidikan. Novel Darah Muda (Literasi Press, Januari 2018) karya Dwi Cipta salah satunya. Novel dengan 18 bab bercerita tentang tokoh aku yang terjebak dalam lika-liku pendidikan. Alih-alih menikmati masa sekolah, tokoh aku justru mengalami kekecewaan. Berikut saya paparkan beberapa masalah yang dialami tokoh aku di dunia pendidikan.
- Perundungan
Perundungan atau lebih dikenal dengan bullying merupakan tindakan gangguan fisik ataupun nonfisik (ujaran atau ejekan) terhadap seseorang. Tokoh Aku mengalami perundungan ini oleh temannya. Parahnya, tindakan tersebut ia dapat tanpa alasan jelas.
Ketika guru itu tengah berbicara, seorang anak lelaki bermuka kecil dan tiga temannya mulai mendorong-dorongku dari belakang dan samping. Semula aku diam saja menghadapi ulah mereka. Namun tangan mereka semakin sering mendorongku secara tiba-tiba dari belakang….
Bukan hanya menendang kursi, ia juga mulai mengucapkan kata-kata makian padaku. Yang mengherankan, anak-anak lain seperti terpengaruh oleh ulahnya. (Cipta, 2018, hlm. 72)
Kutipan di atas merupakan proses perundungan yang dialami tokoh Aku. Tokoh Aku juga mengalami gangguan fisik karena memilih untuk melawan. Namun, perlawanannya dibalas dengan pukulan. Tokoh Aku akhirnya membulatkan tekad untuk tidak kembali ke sekolah dan memilih menghabiskan waktu selama dua tahun di aliran sungai, mengamati alam sekitar.
2. Formalitas Mengajar
Terkadang, saya mendapati guru yang sekadar mengajar hanya untuk menuntaskan kewajiban saja. Mereka mengajar tanpa ada metode atau treatment terhadap siswa yang memiliki pemikiran lain atau potensi lain. Novel ini pula menggambarkan karakter guru seperti itu. Selepas membaca buku tentang siswa yang bisa lompat kelas, tokoh Aku bertanya pada tokoh guru bernama Warno, apakah dirinya bisa melompat kelas seperti di buku.
“Bagaimana kau bisa lompat kelas? Di sekolah mana pun tidak ada siswa yang bisa lompat kelas. Sudah duduk saja dan tidak usah bepikir macam-macam.”
“Buku kok dipercayai. Tidak ada lompat kelas-kelasan. Yang suka lompat hanya katak. Kau mau jadi katak?” (Cipta, 2018, hlm. 102)
Kata-kata tersebut bagi saya merupakan bagian dari formalitas. Guru Warno hanya mengikuti aturan sekolah dan membandingkan dengan sekolah lain. Seharusnya guru mampu melihat, jika tokoh Aku mampu, kenapa tidak untuk melompat kelas.
3. Kepatuhan Lebih Utama dari Kecerdasan
Tokoh Aku tidak percaya bahwa hasil ujian sekolah dasar akhir menempatkan dirinya di bawah tokoh Utomo. Utomo tak pernah masuk hitungan paling pintar di kelas. Ia hanya patuh terhadap guru dan selalu berpakaian rapi untuk mendapatkan perhatian lebih. Tokoh Aku pun percaya bahwa pengawas memberikan sontekan pada Utomo—teman-teman yang lain pun berpikiran sama. Hal ini membuat tokoh Aku merasa aneh. Pengawas yang seharusnya melarang siswa untuk menyontek, justru malah memberikan sontekan.
4. Guru Lebih Pintar daripada Murid
Tokoh Aku mendapatkan hasil rapor yang mengejutkan. Tokoh Aku mendapatkan ranking lima, ketika dirinya yakin akan mendapatkan ranking satu. Hal ini diyakini oleh tokoh Aku karena ia selalu menjawab pertanyaan wali kelasnya dan meminta memeriksa di buku, apakah jawabannya benar. Setelah itu, guru (wali kelas) marah dan tak mau mengajar lagi. Tokoh Aku akhirnya bersikap akan berpura-pura untuk memercayai ucapan gurunya.
Beberapa masalah yang saya sebutkan di atas membuat tokoh Aku lebih memercayai buku. Baginya, instansi pendidikan hanya menghasilkan robot yang harus patuh dan bekerja sesuai mekanisme. Mengejar nilai bukan pemahaman. Mungkin hal ini pula yang membuat tokoh Aku tidak melanjutkan masa kuliahnya.
Baca juga:
– Bukan Perawan Maria: Paradoks Keagamaan
– Pesan dan Pengetahuan Anak dalam Fabelous of Ours
Bagi saya, kekurangan novel ini adalah kesadaran tokoh Aku dalam menilai sistem pendidikan yang dialaminya. Ia tidak melawan dan menuntut hak dirinya sebagai mahasiswa. Tokoh Aku memilih untuk membuktikan diri dengan mengikuti segala macam bentuk pendidikan. Ia membaca buku karena baginya hanya buku yang mampu meningkatkan gairah imajinasinya agar muncul. Tidak salah, namun bagi saya, seseorang yang sadar seharusnya mampu bergerak bersama massa. Mereka harus menciptakan perubahan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan bagi mahasiswa lainnya, bukan malah membiarkannya.
Selain soal menuntut, kekurangan dari novel ini adalah tokoh Aku tidak bernama. Dalam novel ia hanya dipanggil dengan sebutan kirik. Seperti Minke, dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, nama tokoh bisa dijadikan sebagai status sosial tokoh tersebut dan bisa memperkuat alur cerita.
Di luar kekurangan tadi, novel ini bisa menjadi bahan renungan bagi para akademis dan aktivis pendidikan untuk menciptakan pendidikan lebih baik dengan mengetahui masalah-masalah yang hadir dalam novel. Selain membahas problematik pendidikan, novel ini juga menceritakan tentang cinta, mitos, dan konflik keluarga serta sekelumit jalan demi menjadi seorang penulis.[]
Identitas Buku
Judul : Darah Muda
Penulis : Dwi Cipta
Tahun terbit : 2018
Penerbit : Literasi Press
Dimensi Buku : 13 x 19 cm
Tebal : x + 386 halaman
ISBN : 978-602-72918-3-6