Keyakinan dan Misteri Kematian Gus Dar
Di balik misteri selalu tersimpan keyakinan. Kematian misalnya, misteri yang entah kenapa, kapan, dan bagaimana terjadi. Tak ada kesimpulan final tentang hal tersebut, sebab kita tak pernah mengalaminya. Namun siapapun punya suatu dugaan, narasi, dan teori, yang kemudian disebut sebagai keyakinan akan kematian.
Mari kita buat perumpamaan. Bagaimana jika secara gaib, kalian dikabarkan akan mati dalam waktu dekat? Kematian itu terjadi di suatu tempat yang menurut sebagian orang merupakan tempat yang baik untuk mati. Barangkali, di satu sisi kalian akan merasa senang karena lokasi kematian berada di tempat yang baik. Di sisi lain, kematian (bagaimanapun bentuknya) jelas tak pernah kalian inginkan. Sesuatu yang tak terbayangkan memang selalu menakutkan. Maka manusia menciptakan bayangan-bayangan, suatu keyakinan untuk meredakan ketakutan mereka.
Namun, bukan kegusaran akan kematian yang dialami Gus Dar, tokoh di dalam cerita pendek berjudul “Ziarah Terakhir Gus Dar” karya Triyanto Triwikromo1. Ia telah berumur 81 tahun, dan kematian adalah hal yang kerap dinantikannya. Suatu ketika setelah salat tahajud, ia mendapatkan pesan gaib bahwa ia akan mati saat berziarah ke salah satu makam wali. Betapa senang hatinya mendapat pesan yang telah lama ditunggunya itu. Tetapi kemudian, ia mulai takut, jika pesan itu tidak datang dari Tuhan, melainkan dari iblis.
Di makam wali mana ia akan mati? Tak ada pesan tentang itu. Maka dengan telaten, Gus Dar mengandaikan beragam skenario di dalam pikirannya. Ia mulai dengan merunut beragam kejadian tentang asal muasal pesan tersebut hingga bisa datang padanya. Skenario-skenario itu dipikirkan di tengah usahanya menguak misteri dari pesan yang diterimanya. Namun di akhir cerita, pikirannya mengalami kenyataan yang berlainan. Gus Dar memang meninggal dunia, dibunuh, namun siapa pembunuhnya menjadi misteri di dalam cerita ini.
Di dalam cerpen ini, kita dapat melihat irisan antara pikiran tokoh dan kelakuan tokoh yang satu sama lain bersinggungan dan menampilkan suatu teknik bercerita yang menarik. Pembaca diajak untuk menyelami pikiran tokoh. Tokoh yang berandai-andai pada motif dari muasal pesan kematian tersebut, menggambarkan suatu peta keyakinan tokoh. Sementara kelakuan tokoh menggambarkan bagaimana tokoh memutuskan pikirannya, menghadirkan suatu kenyataan yang dapat diikuti pembaca. Keduanya saling memengaruhi. Pembaca diajak pada zona ketegangan antara pikiran dan kenyataan kehidupan tokoh.
Semua bermula dari pikiran Gus Dar yang digambarkan Triyanto melalui suatu narasi berikut.
Gus Dar, pemimpin Pondok Pesantren Kalipungkur yang meskipun telah uzur tetap dipanggil dengan sebutan Gus itu, lalu membayangkan bagaimana pesan kematian tersebut sampai kepadanya. Mungkin mula-mula Allah berbisik kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan kepada hujan. Kata Hujan: aku tidak sanggup menyampaikan sendiri. Aku akan segera membisikkan pesan ini kepada Sunan Kalijaga.
Karena itulah, menurut Gus Dar, Sunan Kalijaga pun menerima pesan itu. Sebelum itu, Sunan Kalijaga menyibak kerumunan seribu sunan dan nabi, menembus lapisan tujuh langit, dan akhirnya hanya berhadapan dengan Hujan.
“Di makam wali yang mana ia akan mati?” tanya Sunan Kalijaga.
Hujan tak menjawab. Hujan hanya membisikkan pesan berantai itu.
Dari kutipan di atas, kita bisa melihat suatu referensi alam pikir tokoh. Suatu skenario yang seolah benar terjadi. Hal tersebut melukiskan suatu cerita tentang bagaimana Sunan Kalijaga mendapat pesan dari Tuhan untuk menyampaikan pesan kematian pada Gus Dar. Kita digiring pada suatu narasi di dalam narasi. Kita diajak percaya pada narasi di dalam pikiran tokoh.
Kenapa Gus Dar sampai membayangkan narasi kematiannya datang dari Tuhan melalui Sunan Kalijaga? Tidak ada motif tersebut di dalam cerita. Kecuali misalnya, pemaparan tentang urutan bahwa Allah membisikan kematiannya pada Nabi Muhammad, nabi membisikannya pada merpati, merpati pada angin, angin pada hujan, dan hujan tak sanggup menyampaikannya sendiri, hingga ia menyampaikannya pada Sunan Kalijaga. Melihat urutan itu, kita bukan hanya melihat suatu alur, tetapi juga peta keyakinan Gus Dar yang yakin, hormat, dan menganut ajaran Muhammad dan Sunan Kalijaga. Triyanto juga membangun karakter tokoh Gus Dar melalui medan sosialnya, yakni sebagai pimpinan Pondok Pesantren Kalipungkur.
Gus Dar pun memutuskan untuk menanyakan perihal pesan kematiannya itu pada Kiai Rahtawu, gurunya. Kesimpulan ini lahir dari pikirannya bahwa saat hujan bercakap-cakap dengan Sunan Kalijaga, Sunan mengatakan hanya Kiai Rahtawu yang mampu menyampaikan pesan itu, karena ia adalah gurunya dan Gus Dar adalah murid yang dicintainya.
Baca juga
– Tawaran Lain Martin Aleida
– Potret Manusia Modern dan Persoalannya
Keyakinan tentang alur sampainya pesan kematian tersebut, menjadi satu narasi yang di dalam cerpen ini beberapa kali direpetisi. Repetisi yang terlihat efektif menegaskan kelabilan pikiran Gus Dar. Bahwa satu keyakinan di dalam pikiran manusia memang terkadang kerap berubah, menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Di alam ide, segalanya mungkin menemukan sudut pandang baru.
Lalu Gus Dar berangkat ke Pegunungan Rahtawu untuk bertanya pada Kiai berusia 101 tahun itu. Hal ini dirasa Gus Dar mampu menjawab persoalannya. Namun, sesampainya ia di Pondok Pesantren Kiai Rahtawu, ia dihadang oleh Jamal Juaim, penjaga pintu pondok, orang yang paling paham tentang apa yang sedang dilakukan dan dipikirkan Kiai Rahtawu. Jamal Juaim menyampaikan kemungkinan Gus Dar dapat bertemu dengan Kiai Rahtawu, namun mesti menunggu waktu yang tepat. Kalimat tentang waktu yang tepat itu, mengalami pengulangan, penegasan, dan menyimpan suatu makna tersembunyi yang diungkap kemudian di akhir cerita.
Saat itu, pikiran-pikiran tentang narasi alur pesan kematian pun berkutat di pikiran Gus Dar. Selain itu, digambarkan pula bagaimana sikap Jamal Juaim dan pribadi Kiai Rahtawu di dalam kutipan berikut.
“Apakah Kiai Rahtawu tidak pernah berpesan kepadamu: bakal datang seseorang untuk menanyakan kapan ia akan mati dan di mana ia akan dikuburkan?”
“Kiai Rahtawu tidak berpesan apa-apa.”
Gus Dar terdiam sesaat. “Pasti ada yang tak beres,” pikirnya, “Sunan Kalijaga bisa saja belum mengatakan apa-apa kepada Kiai Rahtawu. Bisa juga Sunan Kalijaga sudah mengatakan segalanya tetapi Kiai Rahtawu lupa.”
Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim, “Apakah semalam Kiai Rahtawu tidur?”
“Kiai Rahtawu nyaris tidak pernah tidur.”
“Apakah Kiai Ralitawu tidak bermimpi tentang kematian lelaki berusia 81 tahun?”
“Sejak lima tahun lalu Kiai Rahtawu tak bisa bermimpi lagi.”
Gus Dar terdiam lagi. “Pasti ada yang tak beres,” pikirnya, “Barangkali Allah memang tidak pernah mengirim pesan kematian. Barangkali Izrail ingin memainkan nyawaku. Barangkali Nabi Muhammad juga tidak pernah membisikkan apa-apa kepada merpati. Merpati juga tidak pernah berbisik kepada angin. Angin tidak pernah mengulang pesan kematian itu berkali-kali kemudian menyampaikannya kepada hujan. Hujan juga tidak pernah bercakap-cakap dengan Sunan Kalijaga.
Dari sini, nampak betapa keyakinan Gus Dar mesti berhadapan dengan kenyataan yang nampak begitu ganjil. Suatu pemandangan kontradiktif antara kepercayaan dan rasa hormat Gus Dar pada Kiai Rahtawu beserta birokrasinya, tetapi dibalas dengan penghadangan yang melahirkan kekecewaan serta pikiran-pikiran berontaknya pada kenyataan yang Gus Dar hadapi. Namun rupanya iman Gus Dar justru melahap dirinya sendiri. Ia cenderung percaya pada Jamal Juaim, dan pikirannya menciptakan pembenaran-pembenaran atas penghadangan tersebut. Bahkan Gus Dar pun merasa Jamal Juaim merupakan perwakilan representatif dari gurunya saat itu.
Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim. “Apakah kau pernah bermimpi bertemu Sunan Kalijaga?”
“Pernah.”
“Apa yang pernah dikatakan oleh Sunan Kalijaga kepadamu?”
“Sunan Kalijaga bilang: seseorang akan mati indah pada saat berziarah di salah satu makam wali.”
“Apakah kau mengenal siapa yang akan mati?”
Jamal Juaim menggeleng. “Kiai Rahtawulah yang tahu siapa yang bakal mati siapa yang bakal hidup hingga sembilan hari mendatang.”
“Kalau begitu,” kata Gus Dar, “Sekali lagi izinkan aku bertemu Kiai Rahtawu. Aku akan bertanya siapa yang akan mati pada sembilan hari mendatang?”
“Mungkin kau akan bisa bertemu Kiai Rahtawu,” kata Jamal Juaim, juga sekali lagi, “Tetapi menunggu saat yang tepat.”
Sebenarnya Gus Dar ingin marah. Akan tetapi, ia memilih bersabar. Malah tiba-tiba Gus Dar merasa Jamal Juaim, sebagaimana Kiai Rahtawu, tahu siapa akan mati siapa akan hidup sembilan hari mendatang.
Karena itu, Gus Dar mengurungkan niat bertemu dengan Kiai Rahtawu.
“Apakah sembilan hari mendatang aku akan mati?”
Jamal Juaim terdiam. Jamal Juaim kaget. “Mengapa tidak kau lontarkan pertanyaanmu itu kepada Kiai Rahtawu?”
Pengetahuan Jamal Juaim yang memaparkan pesan Sunan Kalijaga di dalam mimpi Gus Dar tampak begitu ganjil. Keganjilan tersebut terletak pada dua hal. Pertama, mungkin saja hal itu memang terjadi. Jamal Juaim bermimpi diberitahu oleh Sunan Kalijaga tentang akan ada yang mati di makam wali. Lantas hal itu menjadi pembenaran bagi pesan kematian yang akan menimpa Gus Dar. Kedua, bisa saja pernyataan Jamal Juaim tentang mimpi itu adalah kebohongan atau suatu rencana yang dipersiapkannya untuk membunuh Gus Dar. Argumen kedua ini diperkuat oleh ketidaklogisan birokrasi pertemuan dengan Kiai Rahtawu yang diaturnya. Jamal Juaim berulang kali menyebutkan, bahwa “Mungkin kau akan bisa bertemu dengan Kiai Rahtawu, tetapi menunggu waktu yang tepat.” Hal tersebut jelas ambigu, sebab kapankah waktu yang tepat itu? Apa ukuran ketepatannya? Semua sepenuhnya bergantung pada Jamal Juaim.
Namun atas dasar keyakinannya sendiri, meski tak logis, meski marah dan kecewa, Gus Dar akhirnya pergi dari pondok tersebut. Ia kemudian berziarah ke sembilan makam wali. Namun sopir yang mengantarnya hilang, diusir sepasang lelaki tampan berusia sekitar 40 tahunan. Atas dasar keyakinan bahwa keduanya memang telah berada dalam skenario Allah atas kematiannya, ia pun bersedia diantar oleh dua lelaki itu berziarah ke makam para wali. Seluruh makam wali telah didatanginya. Di makam Sunan Kalijaga, di makam terakhir yang dikunjunginya, ia rupanya tak juga mati.
“Apakah jika aku mati hari ini kalian akan memakamkan aku di dekat makam para wali?”
“Siapa bilang Sampean akan mati?” tanya salah seorang.
“Aku merasa akan mati.”
“Mungkin Sampean akan mati,” kata salah seorang, “Tetapi menunggu saat yang tepat.”
Ucapan salah seorang lelaki itu mirip dengan apa yang disampaikan Jamal Juaim. Hal tersebut semakin meyakinkan Gus Dar akan kematiannya. Mereka berkata bahwa ia tidak akan mati di tempat itu. Lalu Gus Dar pun dibawa ke suatu tempat dengan jip. Gus Dar pasrah, meski bertanya-tanya, apakah ia akan mati di makam Syekh Siti Jenar, sebab mobil mengarah ke Tanjungrasung? Apakah Syekh Siti Jenar merupakan wali dari para wali? Pikiran-pikiran itu malah berseliweran di dalam pikiran Gus Dar. Hingga di ujung tanjung yang sepi, Gus Dar dibunuh oleh sepasang lelaki tampan berusia 40 tahunan itu.
***
Kelihaian Triyanto dalam bercerita, bukan sekadar terletak pada permainan bahasa, tetapi kesadaran pada psikologis tokoh yang diceritakannya. Secara bahasa, Triyanto mengolah persepsi alam pikir tokoh dan pembaca pada beragam kemungkinan. Melalui penggunaan diksi “mungkin” atau “barangkali” misalnya, Triyanto mempertegas antara alam pikiran Gus Dar dan kenyataan yang terjadi. Hal tersebut juga mampu menjadi gambaran yang meletakkan pembaca pada suatu kemungkinan. Kemungkinan yang mungkin dipercaya atau ditolak pembaca. Tetapi saat kemungkinan itu menemui suatu kenyataan di dalam cerita, dinamika cerita semakin terbangun.
Kesadaran Triyanto pada psikologis tokoh Gus Dar yang cenderung meletakkan sikap pada super ego-nya, begitu nampak pada narasi kenyataan yang diciptakan Triyanto. Kenyataan lingkungan Gus Dar sebagai super ego kemudian diamini dan dijalaninya, telah menutup segala prasangka, ketakutan, bahwa ancaman yang jelas-jelas diterimanya dari lingkungan sekitar. Pengondisian cerita semacam ini dapat dijadikan suatu kesimpulan bahwa Triyanto sedang ingin menyindir paradigma tokoh Gus Dar.
Sindiran pada tokoh semacam Gus Dar ini semakin terlihat pada paragraf terakhir berikut.
Meskipun telah cukup lama mempersiapkan kematian, Gus Dar terperanjat juga. Gus Dar tak tahu akan mati dengan cara apa. Apakah kedua orang itu akan berebutan memukul kepala Gus Dar dengan pentungan kasti? Apakah kedua orang itu akan membentangkan tangan Gus Dar di tiang lalu menusukkan lembing di jantung? Apakah seseorang akan meletuskan pistol tepat di lambung atau hanya memintanya tafakur di antara keheningan daun-daun yang gugur? Gus Dar tak tahu. Gus Dar sudah tak berhasrat mengetahui apa pun saat meninggalkan dunia yang fana dan kian karut-marut itu.
Triyanto secara halus menyampaikan ketakutan dan kengerian yang dialami Gus Dar dalam pembunuhan itu. Disampaikan pula posisi keyakinan Gus Dar pada narasi pesan kematian di kepalanya melalui kalimat terakhir di atas. Gus Dar tak lagi berhasrat untuk mengetahui segala motif dari kejadiannya ini. Meninggalkan dunia yang fana dan kian karut-marut, lebih baik bagi kehidupannya.
Istilah dunia yang karut-marut itu kemudian membukakan pintu kemungkinan bagi pembaca tentang pembunuhan Gus Dar. Bisa jadi Gus Dar telah dibunuh oleh orang yang dengki kepadanya. Bisa jadi dua orang lelaki itu diperintah oleh Jamal Juaim untuk membunuhnya. Bukankah mereka pernah berkata, “Mungkin sampean akan mati, tapi menunggu waktu yang tepat.” Ucapan yang dapat diartikan sebagai rencana pembunuhan. Selain itu, pernyataan Jamal Juaim terkait mimpinya bertemu Sunan Kalijaga yang juga berpesan akan ada yang mati saat berziarah ke makam wali, semakin memperkuat dugaan rencana pembunuhan tersebut.
Tafsir Gus Dar pada kenyataan yang dihadapinya sebagai pembenaran dari pesan kematian, bisa jadi benar adanya. Bukankah antara pesan kematian yang diterimanya dan akhir dari kisah hidupnya memang sama-sama terjadi? Bahwa ia mati, meski memang tidak di salah satu makam wali, tetapi di perjalanan setelah mengunjungi makam wali yang dipikirkannya. Kenyataannya, ia mati, meski memang tak dijelaskan lebih jauh di dalam pesan bahwa ia akan mati dibunuh.
Dua logika yang terjalin antara keyakinan dan kenyataan telah berhasil dibangun Triyanto di dalam ceritanya. Keduanya logis terjadi dan memiliki sumber persoalan yang masih misteri. Sumber dari dua logika terbunuhnya Gus Dar yang tidak diceritakan di dalam cerpen ini adalah: pertama, dari siapa dan bagaimana kematian itu sampai pada Gus Dar; kedua, apa masalah yang melatarbelakangi pembunuhan Gus Dar, jika memang hal tersebut merupakan persoalan antar manusia yang karut-marut?
Keduanya hadir di dalam cerita sebagai misteri. Entah itu bagi Gus Dar, ataupun bagi pembaca cerita pendek ini. Dua logika cerita itu pun dapat ditafsirkan sebagai cara Triyanto mengkritisi kontradiksi dua pandangan manusia yang berbeda dalam menghadapi kehidupan yang penuh misteri. Lantas cerita ini menjabarkan kepada kita logika ketiga, yakni, segala yang terjadi di dalam kehidupan manusia, dipengaruhi oleh kenyataan, pengetahuan manusia, dan sikap ketidaktahuan manusia pada sesuatu. Persepsi dari benturan ketiga hal itu menciptakan kenyataan baru yang juga bebas ditafsirkan oleh manusia.[]
1 Dimuat di Kompas, 25 Februari 2018.