Pengalaman Puitik dan Pengolahan Bahasa Sajak
Sebuah sajak lahir dari pergulatan penyair dengan pengalamannya. Pengalaman itu bisa bersumber dari peristiwa alam atau sosial yang diolah oleh pikiran dan perasaan. Tentu saja pengertian pengalaman ini masih ditempatkan dalam tataran pengertian umum. Di dalam sajak, interaksi antara dunia luar dengan penyair kemudian disebut juga sebagai pengalaman puitik. Pengalaman puitik berbeda dengan pengalaman pada umumnya. Saini K.M. menyatakan bahwa pengalaman puitik adalah pengalaman yang intens (pekat, kental, dan mentubi) tentang sesuatu1.
Ini berarti, bahwa pengamatan dan penghayatan seorang penyair terhadap sesuatu selalu dilandasi dengan prinsip kerja yang intensif. Pikiran dan perasaan penyair bekerja keras terus-menerus ketika bergumul dengan realitas maupun dengan pikiran dan perasaan yang terjadi dalam dirinya.
Di sisi lain, ketika kita berbicara pengalaman, kita juga berbicara tentang personalitas seseorang. Karena penyair merupakan sebuah pribadi, tentu pengalaman puitiknya itu juga bersumber dari pengalaman-pengalaman pribadinya. Pertanyaan kemudian, apakah sebuah sajak pada akhirnya hanya menyampaikan pengalaman-pengalaman puitik yang bersifat personal dan hanya milik penyairnya sendiri?
Dalam hal ini, Saini K.M.2 menegaskan bahwa pengalaman-pengalaman pribadi itu sebenarnya hanyalah bahan mentah saja. Pengalaman-pengalaman pribadi tersebut, menurutnya, harus diolah kembali melalui suatu perenungan, sehingga pengalaman pribadi itu kemudian menjadi pengalaman yang objektif. Setelah mengalami proses perenungan, pengalaman itu kemudian dikonversikan ke dalam bentuk bahasa yang puitik dalam sajak. Pada titik ini, sebuah sajak yang bersumber dari pengalaman-pengalaman puitik penyair kemudian menjadi pengalaman puitik milik pembacanya juga. Dengan kata lain, proses objektifikasi pengalaman pribadi dan proses pengonversian pengalaman menjadi bahasa akan sangat menentukan apakah sajak itu puitik atau tidak, serta menimbulkan pengalaman puitik pembacanya atau tidak.
Dalam kasus sajak-sajak yang termuat di koran HU Pikiran Rakyat edisi 25/02/2018, saya justru mendapatkan hal sebaliknya. Saya kurang mendapatkan pengalaman-pengalaman puitik itu. Untuk membuktikannya, mari kita mulai dengan membaca sajak Adam Riyadli yang berjudul “Dari Utara ke Udara Sampai Beranda” ini.
Dari Utara ke Udara Sampai Beranda
Sehelai daun jatuh
Digerayangi angin
Sehelai daun jatuh
Diperkosa waktu
Angin berhembus dari utara
Satu, dua daun jatuh diudara
Melayang-layang tanpa suara
Perempuan paruh baya duduk di beranda
Satu, dua daun mendarat di kakinya
Sejak membaca judul, entah kenapa, saya merasa ingin menghela napas panjang sejenak. Bagaimana tidak, untuk ukuran sebuah judul sajak, pemilihan judul tersebut begitu panjang. Bahkan hampir melebihi panjang larik sajaknya sendiri. Saya jadi ingin bertanya, apakah tidak ada judul lain yang sekiranya lebih pendek, padat, dan lebih mewakili gagasan sajaknya?
Mari kita kembali fokus ke isi sajak di atas. Sajak pendek yang berjudul “Dari Utara ke Udara Sampai Beranda”, kurang lebih ingin mendeskripsikan peristiwa jatuhnya berhelai-helai daun pada seorang perempuan paruh baya yang sedang duduk di beranda. Tidak lebih dari itu. Pada bait awal, kita akan mendapati deskripsi penyebab daun itu jatuh. Pemilihan kata-kata seperti sehelai daun, angin, dan jatuh pada bait awal ini dirasa masih mendeskripsikan gambaran sebenarnya saja. Bahwa sehelai daun jatuh karena angin, seiring waktu berjalan. Meskipun pada bait ini terdapat beberapa frasa metaforis seperti digerayangi angin dan diperkosa waktu, bait ini tetap saja tidak menawarkan impresi lain, selain hanya penggambaran proses angin menjatuhkan daun itu.
Sementara pada bait kedua, kita akan mendapati deskripsi bagaimana daun itu jatuh dan mendarat di kaki seorang perempuan paruh baya. Hal itu dideskripsikan dengan bahasa yang begitu jernih (polos?) dan mewakili makna sebenarnya.
Lantas, apa puitiknya keseluruhan peristiwa alam dalam sajak itu? Sebagai salah seorang pembaca, tentunya, saya kurang mendapatkan pengalaman puitik dari jatuhnya daun-daun itu. Saya hanya mengalami kembali pengalaman saya terhadap jatuhnya daun sebagaimana biasanya. Tidak lebih hanya itu. Saya menganggap bahwa sajak “Dari Utara ke Udara Sampai Beranda” masih berupa pengalaman biasa yang ditampilkan apa adanya, minim kreativitas bahasa. Sajak ini seperti kurang memiliki usaha perenungan yang intensif terhadap pengalamannya sendiri.
Baca juga:
– Puisi Menggagahi Bahasa
– Kekelisean serta Kenikmatan Membaca Sajak
Hal tersebut juga terjadi pada sajak lain dari Adam Riyadli, yakni sajak yang berjudul “Kunang-kunang”. Sajak ini juga hanya berupa deskripsi peristiwa biasa saja. Tentang aku lirik yang jadi melankolis karena benda-benda di sekitarnya, serta peristiwa masuknya kunang-kunang melalui jendela kamarnya yang terbuka: Jendela kamar terbuka/Seekor kunang-kunang/Masuk bersama kenang-kenang/Ia hinggap diatas kening/Bersamaan dengan dingin/Dan angin musim kemarau//Lukisan yang belum selesai/Dan secangkir susu vanilla/Tanpa cinderamata/Kau tahu?/Hanya air mata.
Jika menilik kembali judul, yakni “Kunang-kunang”, terlihat bahwa kata kunang-kunang di sajak ini seolah hanya menjadi hiasan dekoratif, yang tidak coba diperdalam dan dieksplorasi lagi impresi-impresi dan perluasan maknanya. Selain itu, pemilihan kata seperti: lukisan yang belum selesai, secangkir susu vanilla dan air mata terasa cukup personal maknanya karena minim konteks. Pembaca tidak cukup jelas memahami kausalitas antara benda-benda itu dengan air mata (kesedihan) yang dimaksud. Bisa ditegaskan kembali bahwa pengalaman yang dihadirkan dalam sajak ini masih pengalaman biasa yang terkesan subjektif dan personal bagi pembaca, khususnya bagi saya. Dan pada akhirnya, alih-alih ingin menawarkan pengalaman puitik, justru yang hadir malah sebaliknya.
Pengolahan Bahasa
Selain kekuatan dari pengalaman puitik (yang pekat, intensif dan mendalam), sebuah sajak tentu akan lebih berarti jika ia juga mampu mengonversikannya menjadi bahasa puitik. Puitik-tidaknya bahasa, sangat ditentukan oleh kemampuan penyair dalam mengolah bahasa. Kemampuan ini, menuntut penyair senantiasa kreatif dalam memilah dan memadukan kata-kata. Entah nantinya berupa permainan diksi-diksi denotatif dan konotatif atau frasa-frasa metaforis yang impresif, dengan permainan imaji, majas, maupun bunyi. Pada akhirnya, pengolahan bahasa itu juga akan selalu berdasar pada tujuan estetik serta makna yang ingin dicapai seorang penyair.
Jika kita menilik lagi sajak-sajak Adam Riyadli tadi, maka sekali lagi, bisa dikatakan bahwa sajak-sajak Adam Riyadli memang termasuk sajak yang mempergunakan bahasa yang jernih, dalam artian banyak bermain di wilayah bahasa denotatif. Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa Adam Riyadli berusaha untuk memainkan bahasa konotatif melalui penghadiran metafora (jantung perkotaan) dan frasa-frasa metaforis (digerayangi angin, diperkosa waktu, sebilah nasi, dsb). Hanya saja, pengolahannya tidak terlalu intensif dan maksimal. Dilihat dari sisi lain, saya menduga bahwa Adam Riyadli memang sengaja memilih bahasa yang jernih. Barangkali untuk meminimalisasi penggunaan bahasa yang pejal dan pekat (metafora, imaji, sehingga gagasannya tidak kabur dalam benak pembaca).
Dalam hal pengolahan bahasa, sajak-sajak Samuel Lenardi menunjukkan usaha yang lain dibanding dengan sajak-sajak Adam Riyadli. Sajak-sajak Samuel lebih terlihat memainkan bahasa-bahasa yang sublim, padat, dan pejal. Hal itu terlihat pada sajak-sajaknya yang berjudul “Menangis”, “Cita”, dan “Kepada Lore”. Mari kita mulai dengan membaca sajaknya yang berjudul “Menangis”:
Menangis
Seperti Ajal mampir ke muka
Gelap itu terus nyala
Aku takut
Hidup berarti perjalanan menuju mati
Beranak terka: sedia?
O, Tuhanku
Melalui bentuk sajaknya yang pendek itu, terlihat bagaimana upaya Samuel dalam mengolah gagasannya ke dalam bentuk bahasa yang padat dan sublim. Kepadatannya terlihat dari sedikitnya penggunaan konjungsi. Sementara kesubliman bahasanya, terlihat dari penghadiran imaji-imaji dan bahasa-bahasa kiasan yang impresif: Seperti Ajal mampir ke muka/Gelap itu terus nyala (bait pertama) serta penggunaan aforisme: Hidup berarti perjalanan menuju mati.
Bahasa yang terkesan sublim tersebut kiranya memperlihatkan upaya Samuel untuk memperkuat suasana batin yang diliputi ketakutan akan kematian. Jika kita perhatikan secara keseluruhan, sajak ini cukup memperlihatkan pengolahan bahasa yang cukup rapi. Dalam artian, Samuel sadar akan relasi semantik dari kata-katanya, sehingga Samuel tidak memasukkan kata-kata di luar dari isotopi kematian itu sendiri. Sajak Samuel ini kemudian menjadi padu dan berkomunikasi secara lancar dan meyakinkan pembacanya.
Sementara pada sajaknya yang lain, yakni yang berjudul “Cita”, justru pengolahan bahasa bisa dikatakan kurang rapi dan padu, jika dibandingkan sajaknya yang tadi.
Cita
20 tahun muasal darahmu dan setitik saja kau tak mengenalku, sekalipun
permukaan dari dasar laut maha dalam.
Aku mau mati meninggi nama sepantas lahir sajak-sajakku.
Hal tersebut bisa kita lihat pada larik: 20 tahun muasal darahmu dan setitik saja kau tak mengenalku, sekalipun/permukaan dari dasar laut maha dalam (bait pertama). Pada dua larik tersebut terlihat adanya kata-kata yang kurang memiliki korelasi yang jelas, yakni antara 20 tahun muasal darahmu dan setitik saja kau tak mengenalku dengan permukaan dari dasar laut maha dalam.
Jika kita teliti, di antara dua satuan kalimat tersebut terdapat kata sekalipun. Kata sekalipun ini jika kita lihat di KBBI edisi V adalah kata penghubung untuk menandai perlawanan makna. Pertanyaannya, adakah unsur perlawanan makna dari dua satuan kalimat tersebut? Justru perlawanan makna yang dimaksud kurang bisa ditangkap secara jelas oleh pembaca.
Sebagai salah satu contoh misalnya kata darah dan permukaan laut, masing-masing kata tersebut memiliki wujud dan sifatnya sendiri. Meskipun memiliki unsur perbedaan, bukan berarti perbedaan itu kemudian otomatis dikatakan sebagai perlawanan, bukan? Selain itu, kata-kata tersebut secara isotopi berbeda sama sekali. Kata darah merupakan isotopi tubuh, sedangkan kata permukaan laut merupakan isotopi alam. Sehingga bisa dikatakan strategi pembandingan dan perlawanan maknanya kurang tepat dan korelatif. Hal tersebut menyebabkan pengolahan bahasa dalam sajaknya menjadi tidak maksimal dan kurang komunikatif dengan tafsir pembaca.
Gejala pengolahan bahasa yang kurang maksimal itu juga terjadi pada sajaknya yang berjudul “Kepada Lore”. Dalam sajak ini, Samuel kerap menghadirkan metafora, frasa-frasa metaforis, serta aforisme yang gelap dan abstrak, misalnya: jingga percakapan kita, pesan adalah sejarah, urat sirat rasa, dsb. Sehingga hal itu menyebabkan bahasa sajaknya kurang komunikatif dengan pembacanya.
Strategi-strategi pengolahan bahasa pada dua sajak terakhirnya, “Cita” dan “Kepada Lore”, saya kira cukup mengganggu, terutama dalam hal komunikasi antara sajak dengan pembacanya. Tafsir-tafsir pembaca kurang terarahkan dengan baik. Agar hal itu tidak terulang kembali di sajak-sajaknya yang akan datang, saya menyarankan agar Samuel membaca kembali berulang-ulang sajaknya yang berjudul “Menangis”. Sehingga Samuel kemudian bisa membedakan, mana kiranya sajak yang bagus dan mana sajak yang jelek, berdasarkan keutuhan bahasanya.
***
Setelah membaca sajak-sajak dari Adam Riyadli dan Samuel Lenardi, kiranya kita bisa sedikit berkesimpulan, bahwa menulis sajak ialah kerja yang senantiasa dilandasi dengan intensitas pengamatan, perenungan, dan pendalaman yang lebih pada pengalaman itu sendiri. Sehingga pengalaman itu kemudian benar-benar menjadi pengalaman puitik.
Ketika pengalaman puitik itu sudah terkristalisasi, saya kira bagi seorang penyair yang cukup bijak, ia akan senantiasa mewujudkan pengalaman puitik itu melalui pengolahan bahasa yang tepat dan padu. Hingga sajaknya kemudian menjadi puitik bukan hanya untuk penulisnya saja, melainkan juga untuk pembacanya.[]
1KM, Saini. 1993. Puisi dan Beberapa Masalahnya. Bandung: Penerbit ITB, hal.95
2Ibid, hal.98