Bukan Perawan Maria: Paradoks Keagamaan
Sebelum membaca cerpen-cerpen dalam antologi Bukan Perawan Maria (Pabrikultur, Mei 2017), saya sarankan Anda untuk menyeduh terlebih dahulu segelas kopi. Kafein dalam kopi menurut beberapa penelitian dapat membuat kita lebih tenang.
Buku Bukan Perawan Maria karya Feby Indirani, mungkin akan membuat beberapa dari Anda tersinggung, marah, atau bahkan menghimpun massa untuk demo berjilid. Hal ini disebabkan cerpen-cerpen mengangkat salah satu isu sensitif di Indonesia, yaitu isu agama.
Isu keagamaan dalam karya sastra, pernah menjadi perdebatan publik. Misalnya, sajak berjudul “Malaikat” karya Saeful Badar, penyair asal Tasikmalaya, yang tayang pada HU Pikiran Rakyat (4/8/2007). Sajak ini dinilai menista agama Islam oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Hingga akhirnya, Pikiran Rakyat dan Saeful Badar meminta maaf dan mencabut sajak “Malaikat”.
Jauh sebelumnya, publik sastra seharusnya tidak melupakan cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin yang tayang pada Majalah Sastra edisi Agustus 1968. Cerpen tersebut mengangkat kisah Nabi Muhammad turun ke bumi karena bosan berada di surga. Akhirnya, H.B. Jassin selaku pengasuh Majalah Sastra terseret sampai ke persidangan. Permohonan maaf dan pencabutan cerpen oleh Kipanjikusmin sebelumnya tidak mengurungkan diadakannya persidangan tersebut.
Kasus di atas membuat sedikitnya dua kesimpulan bagi saya. Pertama bahwa beberapa masyarakat pada masa-masa itu dan sangat mungkin hingga kini, tidak menerima pemutar-balikan narasi keagamaan, meskipun dalam konteks karya fiksi. Kedua, beberapa pekarya tidak benar-benar siap akan konsekuensi setelah karya tersebut dipublikasikan. Tentu, jika karya-karya tersebut dimaknai secara lebih, terdapat tawaran, baik terhadap nilai kehidupan ataupun fungsi estetik sastra.
Saya tidak menjamin antologi Bukan Perawan Maria—merupakan bagian dari gerakan Relaksasi Beragama (Relax; It’s Just Religion)—akan langsung diterima secara legowo oleh publik, khususnya kaum muslim di Indonesia. Oleh karena itu, saran saya soal menikmati cerpen-cerpen ini dengan segelas kopi, agaknya bisa membuat kita lebih tenang saat membaca.
Baca juga:
– Terkaan Masa Depan Vonnegut
– Kelakar Remeh-temeh ala Milan Kundera
Selain saran untuk menyeduh kopi, saya akan menawarkan hasil pembacaan saya terhadap buku berisi sembilan belas cerpen ini. Feby mengangkat isu agama dengan dasar ‘bagaimana jika’, maka akan kita temukan kemungkinan-kemungkinan paradoksal. Realitas dalam cerpen akan sangat bertentangan dengan teks yang selama ini diyakini oleh masyarakat. Namun di balik itu, beberapa cerpen seolah meminta kita memaknai lagi tentang konsep kebenaran.
Semisal dalam cerpen berjudul “Pertanyaan Malaikat”. Dikisahkan seorang tokoh bernama Sasmita sangat terobsesi untuk menjawab pertanyaan-pertanyan dari malaikat. Semasa hidupnya, ia menghabiskan waktu untuk menghadiri pengajian dan mempelajari Bahasa Arab. Namun di alam kubur, pertanyaan pertama dari malaikat adalah “Saha pangeran maneh?”1) (hlm. 29). Setelah memohon untuk diberikan pertanyaan lain, ternyata malaikat justru menanyakan kabar dari kerabat Sasmita.
Setelah membaca cerpen ini, saya dihadapkan antara keinginan untuk tertawa dan khawatir. Tentu bagaimana persisnya kehidupan di alam kubur, belum ada orang mampu membuktikannya secara langsung. Hemat saya, di dunia ini kita hanya harus melakukan kebenaran, tidak lebih. Cerpen “Pertanyaan Malaikat” setidaknya dapat menjadi bahan renungan tentang sebaik apa hubungan kita dengan sesama manusia.
Cerpen lain pun menghadirkan realitas tentang hal-hal bersifat irasional. Misalnya, penggambaran kehidupan setelah mati dalam cerpen berjudul “Tiba di Surga” dan “Ruang Tunggu”; pengisahan tokoh-tokoh gaib dalam cerpen berjudul “Malaikat Cuti” dan “Iblis Pensiun Dini”; musibah yang tidak bisa dijelaskan dalam cerpen berjudul “Tanda Bekas Sujud (2)” dan “Perempuan yang Kehilangan Wajahnya”; dan sebagainya.
Kemungkinan tersebut dihadirkan oleh Feby dalam dimensi cerpen utuh. Tokoh-tokoh dalam cerpen bertindak dengan semestinya, sesuai dengan latar belakang mereka. Kelogisan kausalitas dijaga dalam gerak alur. Maka saat membacanya, kita akan menemukan keluguan tokoh saat menghadapi kehadiran realitas dalam dimensi cerpen.
Hanya saja, beberapa cerpen, menurut saya, lebih tepat dianggap mengangkat kehidupan tokoh beragama Islam, seperti cerpen berjudul “Poligami Dengan Peri”. Cerpen ini menceritakan seorang perempuan indigo yang meminta suaminya untuk menikahi teman perinya. Selain cerpen itu, cerpen berjudul “Typo” mengangkat persoalan perempuan setelah menikah tidak lagi berprestasi. Memang dalam ajaran agama Islam, perempuan seakan menjadi pihak subordinat. Tapi, bukankah hal ini tidak hanya terjadi dalam budaya Islam?
Selain itu, saat saya menikmati buku ini, saya menemukan kecacatan percetakan. Hampir dalam setiap cerpen. Tidak adanya spasi antarkata, spasi berlebihan, kata berbayang karena tercetak dengan kata lain, halaman melompat (bukan hanya nomor halaman, tapi isi cerpennya), hingga lembaran begitu mudah terlepas. Terdapat tiga varian jenis sampul, yaitu sampul berwarna oranye, merah muda, dan hitam. Cetakan di tangan saya berwarna oranye. Entah saya sedang sial karena kebetulan mendapatkan buku dengan cetakan seperti ini(?). Dibanding isu keagamaan dalam setiap cerpen, saya lebih membutuhkan kopi untuk masalah ini.
Di luar kecacatan cetakan, saya masih dapat mengikuti alur cerita. Saya harap, kita dapat merenungkan lagi paradoks dalam buku Bukan Perawan Maria. Tidak sepakat adalah hal biasa, saya yakin cerpen-cerpen dalam buku ini bukanlah dogma untuk mengajak pembaca memercayai realitas dalam dimensi cerpen. Seperti penjelasan di akhir buku, yaitu sebagai berikut.
Kumpulan cerita Bukan Perawan Maria merupakan bagian dari Relaksasi Beragama (Relax; It’s Just Religion), suatu gerakan yang mengajak orang berpikiran terbuka, mampu menertawakan diri sendiri dan berempati kepada orang lain yang memiliki tafsir beragama yang berbeda. (hlm. 201)
1)bahasa Sunda yang berarti “Siapa Tuhanmu?”
Identitas Buku
Judul Buku : Bukan Perawan Maria
Penulis : Feby Indirani
Penerbit : Penerbit Pabrikultur
Cetakan : II, Mei 2017
Halaman : 205 hlm 13x19cm
ISBN : 978-979-15460-9-6
Sorry, the comment form is closed at this time.
angga
tapi kang, bukankah kalimat akhor dari cerpen merupakan ketidaksiapan penulis buku ini terhadap hinaan yang terjadi pada karyanya?