Tawaran Lain Martin Aleida
Menyebut Martin Aleida dalam khazanah kesusastraan Indonesia, merujuk pada satu sejarah Indonesia. Suatu tragedi. Tentang satu golongan yang dibantai habis dan dibenci oleh rezim penguasa orde baru. Membaca karya-karyanya kita akan temukan satu kesamaan berkenaan dengan kemanusiaan. Khususnya sejarah berdarah ’65 di Indonesia.
Pengarang yang juga pernah menjadi wartawan Harian Rakyat tersebut merupakan saksi hidup. Tak hanya melihat, bahkan ia juga pernah menjadi korban penangkapan. Ia dan teman-temannya; Putu Oka Sukanta, T. Iskandar AS, seorang pelukis dan adik seorang pelukis Marah Djibal, serta seorang pembantu rumah tangga bernama Wagio, ditangkap tanpa ada keterangan dan alasan yang jelas. Beruntung ia tidak mengalami penyiksaan. Seakan-akan Tuhan membutuhkannya sebagai saksi sejarah untuk merekam semua yang dialami pada masa itu dalam tulisan-tulisannya1) .
Kehadiran Martin Aleida pada peristiwa tersebut menjadikan karya-karyanya yang berhubungan dengan isu ’65 menjadi kuat. Ia tak hanya menceritakan soal sejarah, tapi juga menyentuh nasib para korban pasca tragedi tersebut. Inilah yang menjadikan daya pikat karya-karya Martin.
Karya-karya Martin Aleida seolah mewakili suara para korban peristiwa berdarah tersebut. Seperti cerpen berjudul “Tanah Air” yang tayang di Kompas (19/6/2016). Cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2016 tersebut berkisah tentang seorang istri yang bersuamikan eksil. Setelah puluhan tahun terpisah akhirnya mereka bisa hidup bersama. Sayang kenangan buruk tentang tragedi ‘65 kerap menghantui. Belum lagi ucapan anaknya yang menuduhnya menelantarkan keluarga. Cerpen “Tanah Air” ditutup dengan peristiwa bunuh diri sang suami karena dihantui peristiwa tersebut.
Martin sendiri tak menampik jika orang menilainya kiri. Tapi, sebagai seorang penulis, ia tak melulu mengisahkan tentang ’65 dalam karya-karyanya. “Bahwa kecenderungan saya orang bilang kiri itu, oke. Tapi kalau dibilang orang yang spesialis nulis ini tidak juga. Ada sejumlah cerpen saya juga yang tidak bisa ditafsirkan sebagai pro-politik” ujarnya2).
Tawaran lain dari Marti Aleida tersaji dalam karya terbarunya berjudul “Ziarah Kepayang”. Cerpen yang tayang di harian Kompas (19/2/2018) tersebut memang masih menghadirkan isu ‘65 di dalamnya. Isu tersebut menjadi motif bagi kepergian dan masalah yang dihadapi tokoh aku. Hanya saja tertutup oleh romantisme tokoh aku pada tokoh kakek.
Cerpen tersebut bercerita tentang tokoh bernama Noor yang pulang kampung setelah 50 tahun. Noor pulang ke tanah kelahirannya di Sungai Kepayang, pesisir Sumatera Timur. Sepanjang perjalanan pulang, ia mengenang peristiwa-peristiwa masa silam khususnya kenangannya pada sang kakek.
Selain menghadirkan tema dan permasalahan lain, Martin juga menawarkan beberapa hal dalam cerpen tersebut. Pertama tentang unsur lokalitas. Cerpen tersebut berlatarkan Sungai Kepayang. Latar tersebut berpengaruh terhadap unsur-unsur lain.
Martin menggunakan idiom kedaerahan yaitu Atok untuk menyebut kakek dalam cerita. Selain itu, pembaca juga akan merasakan kekhasan Sumatera Utara lewat dialog-dialog dalam cerita. Martin teliti memilih diksi dan menentukan pola kalimat. Tampak pada dialog “Ah, janganlah begitu kau jang. Yang tua, yang tua …!” atau “Berapa cicit yang kau kasi aku?”.
Baca juga:
– Potret Manusia Modern dan Persoalannya
– Aktualitas, Cara Menembus Kompas
Selain tawaran lokalitas, Martin juga menghadirkan peristiwa-peristiwa humor. Cerita menjadi segar dengan kehadiran humor ini. Berbeda dengan cerita-cerita bertemakan ’65, dimana ketegangan dan suasana muram menjadi kekuatan ceritanya.
Humor dalam “Ziarah Kepayang” hadir ketika tokoh aku tersebut mengenang kehebatan Atok. Atok yang pernah menjadi pengelana dan memiliki ‘ilmu’ punya cara mencari tempat tinggal. Ilmu tersebut sering digunakan ketika dalam perjalanan terjadi hujan badai sementara ia ingin tempat berteduh.
…Kalau malam turun, dan tak mungkin lagi melanjutkan perjalanan, dia menghampiri rumah penduduk. Tak jauh dari kolong rumah, yang kami sebutkan tungkarang, dia mencabut selembar lalang. Melilitkannya di kelingking dan meniupkan jampi. Di dalam rumah, salah seorang penghuni kelabakan, lantaran perut sontak kejang-kejang. Dalam kebingungan, yang punya rumah turun mencari pertolongan. Nah, Atok menemukan pintu kesempatan.
“Mungkin saya bisa membantu. Boleh kutengok dulu?” begitu dia menawarkan jasa. Dia diundang naik ke rumah. Bersimpuh di samping si sakit, dia meminta disediakan segelas air putih. Merapal doa dan berkusip-kusip membacakan jampi. Diam-diam dia lepaskan ikatan lalang di kelingking. Si sakit dipersilakannya menghabiskan air segelas tadi. Orang itu pun pulih. Atok menolak imbalan, tetapi tidak menampik tawaran untuk tidur menunggu pagi di rumah itu. begitulah dia menemukan penginapan.
Selain itu, humor juga tampak saat Atok mengenalkan cara memetik pohon kelapa kepada para warga. Caranya adalah dengan menggunakan jasa beruk. Humor muncul ketika beruk tersebut mengambil pemukul beduk. Karena di kampung itu penanda waktu ditandai dengan suara beduk, maka karena tidak ada pemukul, warga selama seharian tidak mengenal waktu. Kehadiran humor-humor tersebut membayar kesabaran pembaca.
Cerpen “Ziarah Kepayang” bertempo pelan dengan kalimat-kalimat majemuk bertingkat. Meski bisa kita temui paduan kalimat panjang dan pendek, tapi tidak banyak mengubah suasana saat membaca cerpen tersebut.
Aroma dari peristiwa ’65 baru terasa menjelang cerita berakhir. Tokoh cucu merupakan korban yang selamat. Sayang, Kehadiran isu tersebut merupakan sebuah dilema. Satu sisi menegaskan bahwa Martin Aleida sebagai pengarang yang khusyuk terhadap isu-isu ’65, tapi di sisi lain, secara cerita peristiwa kurang terbangun dengan kuat.
Antara Fakta Literer dan Fakta yang Nyata
Martin Aleida memang kerap menghadirkan beberapa karya-karya berdasarkan fakta yang ada di dunia nyata. Dalam cerpen “Tanah Air” Martin mendapatkan cerita tersebut dari seorang istri eksil yang ia wawancarai langsung saat berada di Eropa. Sebagai pengarang ia pun melakukan pengembangan terhadap kisah tersebut dalam cerpennya3).
Berkat kehadiran fakta yang nyata dalam cerpennya, Martin pernah mendapat kritik keras dari Tatiana Lukman, putri dari salah satu petinggi PKI, MH Lukman. Tatiana mengkritik Martin karena menghadirkan peristiwa yang tidak sesuai dengan fakta dalam cerpen berjudul “Melarung Bro di Nantalu”. Martin sendiri menanggapi kritik itu dengan santai. “Sayang eksil yang pernah menetap lama di Kubanya Castro ini tidak bisa membedakan cara membaca fiksi dan non fiksi. “Dia jadikan kenyataan literer dalam cerita pendek saya sebagai fakta historis,” balasnya3).
Dalam cerpen “Ziarah Kepayang” fakta yang nyata tersebut hadir. Menariknya, Martin juga memasukkan bagian-bagian dari dirinya ke dalam cerita. Bagian dari diri Martin dalam cerpen ini yaitu adanya kesamaan antara Martin dan tokoh aku.
Secara biografis, Martin dan tokoh aku memiliki kesamaan. Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada tanggal 31 Desember 1943. Tempat kelahiran tokoh aku berada di Sungai Kepayang atau Sei Kepayang yang merupakan salah satu kecamatan di Kota Tanjung Balai. Selain itu usia Martin dan tokoh aku juga sama. Tahun 1943 saat Martin lahir, Indonesia masih dijajah Jepang. Sedang tokoh aku lahir saat “pesawat tempur Jepang meraung-raung di langit”.
Selain hal itu, di akhir cerita juga disebutkan tokoh cucu tersebut bernama Noor. Nama tersebut secara pelafalan dekat dengan nama asli Martin Aleida yaitu Nurlan jika dipanggil ‘Nur’. Apalagi ketika melihat tokoh utama dalam cerita adalah kakek4).
Selain nama, tampak juga bacaan-bacaan tokoh cucu tersebut mirip dengan bacaan Martin Aleida. Tokoh tersebut membaca Terowongan karya Maxim Gorky dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka. Karya Gorky5) dan Hamka6) menjadi beberapa bacaan yang juga menginspirasi Martin Aleida dalam berkarya.
Upaya mengecoh pembaca dengan menghadirkan fakta yang nyata juga dilakukan Martin Aleida. Seperti saat menggambarkan pandangan politik Atok. Ketika pemilu pertama digelar, Atok sendiri memilih partai bergambar bulan bintang. Penggambaran tersebut mengantar pembaca pada dua partai yaitu Masyumi dan PSII.
Kehadiran fakta yang nyata dan upaya pengecohan tersebut menjadi semacam teka-teki. Benarkah tokoh Noor adalah Martin sendiri? Atau partai apakah yang dipilih tokoh Atok? Pembaca mesti mencari jawabannya lewat fakta cerita.
Dalam cerpen “Ziarah Kepayang”, Martin Aleida sedang melakukan kegiatan di luar kebiasaannya. Dominannya kesamaan antara tokoh Noor dengan Martin sendiri, menunjukkan bahwa cerpen ini tidak hadir dengan kekuatan isu ’65. Sejauh pandangan saya, cerita dominan berkisah tentang romantisme antara tokoh saja.
Namun, sebagai sebuah tawaran lain, cerpen ini sangat menarik untuk dinikmati. Terlebih kehadiran isu toleransi di dalamnya. Toleransi tersebut tampak pada perbedaan pandangan politik tokoh kakek.
Hubungan Atok dengan penduduk sangat erat. Dan rasa hormat mereka kepadanya sedikit pun tak terganggu oleh perbedaan di kotak suara ketika pemilihan umum pertama berlangsung di republik ini. Cuma ada satu suara untuk gambar bulan-bintang. Dan itu pilihan Atok. Tak heran, pada masa kampanye, dia membujukku menempelkan poster partai rumahnya.
“Begitu banyak gambar, kenapa Atok memilih yang ini …?” desakku.
Seraya tertawa dia jawab: “Bulan dan bintang itu barang di langit. Yang lain buatan manusia. Palu-arit bikinan orang. Kerbau takkan bisa hidup hanya dengan kepala.”
Menariknya tokoh Noor sebagai cucu juga berseberangan pandangan politik dengan tokoh Atok. Perbedaan tersebut tidak mempengaruhi hubungan mereka. Sikap dari tokoh kakek pun bisa menjadi contoh untuk menjawab isu toleransi yang tengah ramai akhir-akhir ini.
“Sudah dikubur bertahun-tahun, kertasnya sudah lumat. Untuk apa kau lagi itu? Bukankah buku itu sudah ikut mendewasakanmu. Kau diantarkannya ke banyak benua dan daratan. Konstantinopel kau singgahi. Patung di Praha kau raba. Menara kembar Amerika kau panjat. Tapi, Noor, ada yang kau lupa. Lain kali, singgahlah ke Mekah. Tunaikan ibadah haji, satu dari rukun iman lima perkara yang tak kesampaian bagiku. Manakala kau tawaf, nanti, meskipun hita, belailah hajarul aswad. Cium, bisikanlah nama Atok sebanyak angka yang ditunjukkan jam di tanganmu. Panggillah namaku baik-baik: Abdul Hakim. Bukan Lebai Salawat, julukan yang diberikan orang se-Sungai Kepayang padaku. Aku sudah takkan sampai. Semoga bagi Allah mendengar namaku itu sudah lebih dari cukup sebelum aku mati.”[]
- Ratna, W. O. W. (2017). Romantisme Identitas Tanah Air Martin Aleida. [Online]. Diakses dari https://jurnalruang.com/read/1502036013-romantisisme-identitas-tanah-air-martin-aleida
- Ibid
- Teguh, Irfan. (2018). Cerpen yang Memicu Perdebatan Lama Tentang Trotskyisme. [Online]. Diakses dari https://tirto.id/cerpen-yang-memicu-perdebatan-lama-tentang-trotskyisme-cGbc
- Ibid
- Ibid
- Izzati, Fathimah Fildzah. (2014). Martin Aleida: Takdir Sastra adalah Membela Korban. [Online]. Diakses dari https://indoprogress.com/2014/02/martin-aleida-takdir-sastra-adalah-membela-korban/