Potret Manusia Modern dan Persoalannya
Ulasan Cerpen Kompas (11/2/18)
Di dalam cerita pendek “Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia” karya Arswendo Atmowiloto1, kita dapat melihat manusia yang berkait kelindan dengan kehidupan sosial melalui representasi benda. Arswendo menempatkan setelan jas sebagai manifestasi aturan sosial. Lelaki yang mampu membeli setelan jas dan pantas memakainya, merupakan cerminan lelaki yang siap untuk menikah. Di dalam cerita pendek ini, perhatian seluruh tokoh pada setelan jas menjadi sangat kuat ketika pakaian itu menjadi pelambangan dari utuhnya mahligai pernikahan.
Diceritakan seorang lelaki membeli satu setel jas dengan celana sewarna. Setelan jas tersebut dibelinya karena ia merasa zaman baru telah datang. Dengan susah payah mengumpulkan uang, setelan jas itu berhasil dibelinya. Ibunya menganggap ia telah beranjak dewasa dan mulai memantaskan diri untuk mendapatkan pasangan. Hingga akhirnya pemuda itu bertemu dengan seorang perempuan dan mengajaknya menikah.
“Saya sudah punya jas,” kata si lelaki.
“Urusannya bukan hanya jas atau celana. Tapi di mana nanti kita tinggal? Bagaimana kita makan setiap harinya.”
“Bukankah selama ini kita punya tempat tinggal dan makan?”
“Tapi saya tak yakin apakah kau mencintaiku. Kamu tak pernah mengatakannya selama ini.”
“Ini yang saya katakan: lelaki yang mengajakmu menikah dan benar-benar menikah adalah lelaki yang mencintaimu. Dibandingkan lelaki yang mengatakan mencintai, mengajakmu tidur, tapi tak kunjung menikahimu.”
Mereka pun akhirnya menikah. Pemuda itu menggunakan setelan jas lengkap, lalu berfoto bersama ibu dan istrinya. Mereka berfoto di studio dan dicetak dalam foto berwarna. Saat itu, foto berwarna merupakan teknologi terbaru yang kini telah hadir di kampungnya. Si pemuda menganggap hal tersebut sebagai penanda zaman baru. Di dalam cerpen, hal demikian menandai latar waktu kehidupan tokoh. Tepatnya ketika Indonesia memasuki zaman kemajuan teknologi fotografi.
Gelagat Modernitas
Kehidupan mereka berlangsung dengan sederhana dan serba kekurangan. Si lelaki bekerja serabutan sebagai seorang penulis dan komikus yang mengejar lomba dan pemuatan media cetak. Sementara istrinya bekerja sebagai penjahit pesanan yang dibayar tanpa tarif yang jelas. Konflik terjadi saat kehidupan keduanya tak kunjung membaik di tengah beragam tuntutan kehidupan sosial. Hal ini membuat mereka mesti menjual barang yang mereka miliki. Dilema terjadi saat yang tersisa untuk dijual hanya tinggal setelan jas, simbol pernikahan mereka selama ini.
Sementara karena kemudian kebutuhan makin mendesak, bukan dari kebutuhan mereka sendiri, melainkan karena kebutuhan keluarga besar, kebutuhan sosial. Kebutuhan berbasa-basi. Dengan sikap pasrah, keduanya menyetujui untuk melepas jas dengan celana…
Di dalam cerita ini, peran sosial amat kentara mengendalikan psikologis tokoh. Tokoh lelaki sejak awal merasa mampu menunjukkan kesiapannya menikah dengan keberhasilannya membeli jas. Sementara perempuan menganggap kesiapan menikah dilihat dari hadirnya rumah dan pekerjaan yang tetap. Maka tidak heran, jika kelangsungan hubungan pernikahan mereka juga bergantung pada pemenuhan dan pelepasan barang-barang atau materi yang mereka miliki. Seperti pada kutipan di bawah ini, dimana kemudian simbol pernikahan mereka mesti dijual karena faktor ekonomi yang semakin mencekik.
Untuk sementara waktu yang lama, jas itu selamat dari penjualan. Namun, pemiliknya mempunyai alasan yang menguatkan selain faktor kebutuhan. Praktis selama ini tak pernah memakai jas. Tak ada acara yang mengharuskan memakai jas. Apalagi dasi. Juga sepatu hitam serta kaus kaki. Akhirnya jas terjual─tanpa celana. Sebab, harga yang diberikan tidak berkurang tanpa celana. Jadilah jas tersebut dilepas. Dan seperti mudah diduga, begitu dilepas, kenangan pada jas tidak mengelupas. Malah makin lengket, makin berseliweran. Apalagi jas itu dijajakan di pinggir jalan─tempat deretan para penjual barang bekas.
Menilai benda pada aspek fungsi merupakan ciri khas paradigma modern. Misalnya ketika estetika klasik sibuk mendefinisikan keindahan, estetika modern menggeser fokusnya pada akses terhadap keindahan melalui serangkaian metode dan evaluasi seni. Aspek fungsi merupakan gelagat yang muncul dari akses tersebut. Ketika manusia bukan hanya dituntut untuk mengetahui kenyataan, tetapi juga mengetahui syarat dan batas dari pengetahuannya terhadap kenyataan (upaya reflektif). Filsafat modern telah menempatkan aspek ontologi pada kerangka epistemologi2.
Modernitas tercermin di dalam cerpen dari latar waktu yang setidaknya ditandai oleh kehadiran teknologi foto berwarna di dalam kehidupan tokoh. Lebih dari itu, modernitas juga melatari sikap tokoh atau sikap sosialnya yang termanifestasi pada perlakuan mereka terhadap setelan jas. Dalam paradigma modern, kehadiran setelan jas sebagai simbol dari status pernikahan, tidak lebih berarti (nonsense) jika sebagai pakaian, ia tidak pernah digunakan.
Setelah jas tersebut berhasil terjual, penyesalan hadir menghantui mereka. Mereka menyesal telah menjual jas yang menyimpan kenangan pernikahan. Untuk menebus penyesalan, mereka mengumpulkan uang, membeli kembali setelan jas itu dari tukang loak. Saat uang telah terkumpul, rupanya jas tersebut tak bisa dibeli. Seorang pemuda telah membayar uang muka untuk membeli jas tersebut. Mereka merelakan jas itu saat tahu si pemuda hendak menggunakannya untuk melamar kekasihnya.
Sikap menyesal terhadap keputusan menjual jas, seolah memperlihatkan kecenderungan tokoh yang memandang pentingnya kehadiran jas sebagai simbol pernikahan. Sikap menghadapi modernitas yang pernah merenggut jas mereka ini, ditunjukkan melalui usaha mengumpulkan uang untuk mendapatkannya kembali. Namun saat tahu jas itu secara fungsi akan digunakan oleh seorang pemuda untuk menikah, mereka pun merelakannya. Jas tersebut tetap menempati status fungsinya sebagai simbol pernikahan meski berada di tangan orang lain. Penyesalan pemilik sebelumnya terbantahkan oleh fungsi baru jas tersebut.
Calon pengantin itu berhak memilih jas yang akan dikenakan untuk perkawinan nanti. Dan itu sudah ditentukan. “Sisanya kita doakan saja mereka bahagia seperti ketika kita mengenakan jas itu, dan tidak segera menjualnya.”
Pertanyaan kemudian, apa yang membuat kedua pasangan ini merasa membutuhkan simbol dari langgengnya pernikahan mereka? Kisah tentang nasib celana setelah ditinggalkan jas (pasangannya), memperlihatkan pikiran-pikiran tokoh dalam mendefinisikan hubungan pernikahan mereka.
Personifikasi Benda
Esai tentang manusia dan barang (benda) dikemukakan dengan baik oleh Umar Junus yaitu Manusia adalah Barang3. Di dalam pemaparannya, Umar menjelaskan bahwa filsafat eksistensialisme sangat menentang konsep manusia disamakan dengan barang. Manusia mesti bertindak sebagai manusia, dengan memberikan reaksi terhadap segala sesuatu yang berlaku. Manusia sebagai Being-for-itself berbeda dengan benda sebagai Being-in-itself. Benda selalu menerima segala kegunaan yang diberikan kepada mereka, karena mereka memang diciptakan untuk itu. Filsafat ini menghendaki sikap pribadi setiap individu, tidak hanya mengikuti apa yang pernah ditugaskan pada mereka4.
Peran manusia seperti pandangan filsafat di atas sempat terdiskreditkan di dalam cerpen ini. Perilaku tokoh sangat ditentukan oleh sistem sosial. Dalam pandangan strukturalisme, kisah mereka diibaratkan sebagai manusia yang terkait pada suatu sistem atau struktur. Manusia yang tak mungkin menyatakan kehendaknya sendiri. Ia mesti menyesuaikan kehendaknya pada suatu sistem yang menguasai kehidupannya. Hal ini sangat terlihat dari peristiwa terjualnya jas dan fungsi jas yang telah terpenuhi.
Kemudian cerita berlanjut pada perasaan tidak tenang yang dialami tokoh istri saat memperhatikan celana. Hal ini dapat menjadi titik balik posisi tokoh yang berupaya menjadi manusia melalui kuasa berpikir dan bertindak yang dimilikinya. Dalam pandangan tokoh istri, celana mengalami personifikasi. Dalam pandangannya, celana nampak setia bahkan ketika ia ditinggalkan oleh jas (pasangannya).
Yang tertinggal adalah soal celana yang menjadi setelan jas. Setiap kali mencuci atau menjemur, perempuan itu merasa kasihan. “Dia ditinggal kawin lagi,” tuturnya sendu. Lalu berubah menjadi: “Lelaki biasa begitu.”
Untuk menghindari kegelisahan setiap kali terkait dengan celana yang setia, diusulkan membuat surat perjanjian antara suami-istri. Dengan saksi ibu. Yaitu bahwa mereka akan terus bersama-sama, tidak saling meninggalkan, sampai salah satu meninggal dunia. Surat itu ditandatangani, diberi materai.
Personifikasi merupakan refleksi manusia pada dirinya sendiri melalui medium benda. Dalam nukilan di atas, celana hanya menjadi titik pijak kegelisahan istri pada hubungan pernikahan dengan suaminya. Lalu kemudian dipersonifikasi sebagai seseorang yang ditinggal kawin lagi oleh jas tersebut. Jas tersebut digunakan untuk menikah lagi oleh pemiliknya yang baru dan celana itu tetap berada di tangan pemiliknya yang lama sebagai simbol pernikahan. Di dalam cerita dinyatakan bahwa celana tersebut “setia” dan otomatis pada sisi yang lain dapat dikatakan, jas tersebut “tidak setia” atau “berkhianat”.
Terdapat permasalahan logika saat Arswendo mendefinisikan “kesetiaan” celana. Celana tersebut tiba-tiba mendapat persepsi “setia” dari sudut pandang istri ketika ia ditinggal kawin oleh jas pasangannya. Jika kita gunakan definisi personifikasi sebagai perumpamaan benda sebagai manusia, bagaimana mungkin persepsi kesetiaan celana muncul di benak istri, ketika celana tersebut ditinggalkan jas karena persoalan teknis penjualan? Jika misalnya saat peristiwa penjualan jas, celana tersebut menambah nilai penjualan, celana tersebut juga pasti lenyap terjual bersama jas. Ini berarti celana tidak pernah bisa disamakan dengan logika kesetiaan manusia.
Tetapi jika kita jeli, Arswendo (entah disengaja atau tidak) menunjukkan perbedaan signifikan antara manusia dan benda dalam suatu paradigma modern. Celana yang mendapatkan predikat setia, merupakan definisi dari personifikasi sebagai manifestasi perasaan dan pikiran manusia pada benda. Celana tak mungkin memenuhi logika “kesetiaan” dan jas yang terjual bukan sebagai sikap “pengkhianatan”. Maka dapat dipastikan bahwa celana yang tak jadi dijual merupakan manifestasi kesetiaan yang dipertahankan pasangan suami dan istri. Jas yang terjual merupakan kesalahan yang jangan sampai mereka ulangi.
Tokoh istri dijadikan medium oleh Arswendo untuk menghadirkan persepsi manusia pada benda. Kemungkinan-kemungkinan dari apa itu “kesetiaan” dan “pengkhianatan” berada dalam pergulatan hubungan suami dan istri. Namun hal ini tidak ditunjukan secara gamblang di dalam cerita. Kita hanya diberikan gambaran terkait persoalan ingatan dan persepsi berlebihan istri pada simbol pernikahan mereka yang tak lagi utuh. Berpisahnya jas dan celana merupakan cermin kemungkinan keretakan rumah tangga mereka.
Keresahan sang istri kemudian membuat keduanya mesti membuat surat pernyataan yang disaksikan Ibu dan dibubuhi materai. Kepercayaan istri pada cinta suaminya, dan sebaliknya, mesti disaksikan Ibu sebagai perwakilan manusia dan materai sebagai benda atau manifestasi perwakilan sistem sosial. Peristiwa ini seolah menunjukan sikap tokoh istri masih dipengaruhi dan bergantung pada suatu sistem. Entah itu sistem simbolik dari persepsi celana (simbol pernikahan mereka) atau sistem sosial yang mekanis semacam surat pernyataan yang berisi janji untuk keduanya tak pernah berpisah. Tetapi nukilan lanjutan cerita di bawah ini kemudian membantah itu semua.
Karena bahkan ketika celana itu tak muat dipakai lagi─dan ditanggalkan, ditinggalkan, dan ingatan tentang jas yang kawin lagi muncul, mereka masih berdua. Juga ketika Ibu meninggal, dan surat bermaterai itu hilang atau tersimpan di tempat yang terlalu rapat.
“Surat bermaterai sudah dibuat. Kenapa saya masih cemas suamiku?”
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Kamu lebih takut Ibu daripada materai… Ibu bisa meninggal, materai…”
“Materai bisa kadaluwarsa. Tapi tetap saja cemas masih ada. Barangkali cemas itu menandai ada yang kita harapkan, ada yang masih menyatukan. Cemas hanya sekedar mengingatkan itu.”
Kalimat terakhir dari percakapan tokoh suami merupakan titik balik dari keterpurukan kedua tokoh pada sistem yang merongrong mereka. Kecemasan disadari sebagai potensi yang justru menyatukan mereka. Kecemasan merupakan celah untuk keduanya berharap dan berupaya. Hal tersebut di dalam cerita diakhiri dengan suatu paparan tentang segala upaya yang kemudian bermuara pada doa dan dimungkinkan dapat mengubah takdir. Hal ini jelas merupakan potret yang dihadirkan Arswendo untuk mengimbangi paradigma modern yang menjangkit tokoh-tokohnya.
Mereka juga mengingat bahwa mereka berjanji bersama, sampai salah satu meninggal dunia. Dan membawa dalam doa. Doanya kebetulan sama meskipun keduanya tidak saling mengetahui. Doa itu kurang lebihnya adalah: mudah-mudahan pasangan saya meninggal duluan. Kalau saya yang meninggal duluan, siapa yang akan mengurusnya?
Mungkin karena doa itu mempunyai makna, mungkin juga kecemasan yang membuatnya terjaga dan saling memperhatikan, keduanya belum mati-mati juga, setelah tiga kali melewati masa dimana lelaki itu memiliki jas dan istri, sampai sekarang ini.
Perilaku tokoh-tokohnya yang berserah diri pada doa dan takdir nampak menawarkan keutuhan paradigma modern yang terbangun. Tetapi kata “mungkin” di akhir cerita juga menunjukan bahwa Arswendo belum final pada kesangsian tersebut.
Intisari dari cerita yang disajikan Arswendo bukan sekedar memaparkan potret manusia modern, tetapi juga menunjukkan sisi rentannya. Arswendo memandang: pertama, manusia modern melalui pandangan rasionalnya mampu mengendalikan sistem dan juga rentan dikendalikan sistem; kedua, pandangan rasionalitas manusia modern akan selalu berpangkal pada kecemasan dari sistem lanjutan yang diciptakannya; ketiga, kecemasan dapat menjadi titik tolak nalar manusia modern agar siaga pada ketakterdugaan persoalan yang mereka jalani; dan keempat, takdir adalah medan kerja bagi rasionalitas manusia modern dan mungkin tercipta dari kerja rasionalitas tersebut.[]
1Dimuat di Kompas, 11 Februari 2018.
2Suryajaya, Martin. 2016. Sejarah Estetika: Era Klasik Sampai Kontemporer. Jakarta: Gelang Kabel dan Indie Book Corner, hlm. 272-273.
3Junus, Umar. 1983. Dari Peristiwa Ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia, hlm. 37.
4Ibid, hlm. 38.