Pesona Alam dalam Puisi Acep Zamzam Noor
Membaca puisi Acep Zamzam Noor yang terbit di HU Kompas (10/2/2018), saya seolah dituntun untuk melihat petunjuk dari alam melalui citraan penghayatan aku lirik dalam sajak-sajaknya. Acep begitu lentur melukiskan penghayatan alam dalam sajak-sajaknya, selentur jemarinya (sebagai pelukis) mengendalikan kuas pada kanvas.
Lukisan pada sajak-sajak Acep mengajak pembaca berhenti sejenak dari realitas (medsos terutama) yang demikian riweuh, penuh aroma kebencian, perebutan kekuasaan yang memanfaatkan agama, penyerangan orang gila terhadap ulama, hingga pelbagai kerepotan menjelang pilkadut. Aku lirik dalam sajak-sajak Acep mengajak pembaca kembali ke dalam diri, merenungkan kembali Ilahi dan hidup melalui citraan pesona alam.
Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa sajak-sajak Acep Zamzam Noor merupakan sajak yang lahir dari pengalaman keagamaan dan citraan alam. Tentu tidak semua sajaknya demikian, tetapi secara umum Acep berhasil mengangkat tema kesendirian dan kesunyian yang selalu dipadukan dengan pesona alam1.
Amatan Sapardi tersebut saya kira cukup pas dengan sajak “Siapakah”. Dalam sajak ini, Acep mampu mengartikulasikan penghayatan spiritualnya dengan citraan alam—yang memang sudah sangat kental sebagai alat ucap dalam puisinya.
Siapakah yang menyiramkan hijau
Ketika punuk bukit kembali bersemi
Siapakah yang menumpahkan biru
Ketika ombak berkejaran dengan sunyi
Siapakah yang menggambari langit
Dengan kuas sehalus awan pagi
Siapakah yang mengukir udara
Dengan pahat selentur jemari
2015
Bukan tanpa maksud, Acep melakukan repetisi kata ‘Siapakah’ pada setiap larik pertama di setiap bait sajaknya tersebut. Siapa lagi ‘Siapakah’ dalam sajak ini jika bukan Sang Maha Pencipta. Citraan penghayatan Ilahiah yang ditumpahkan dalam sajak ini barangkali dapat dengan mudah kita tebak merujuk kepada siapa. Akan tetapi, bukan perkara mudah bagi penyair—yang tingkat keimanannya belum mencapai maqam macam Acep–untuk menerima-mengungkapkan fenomena alam semesta sebagai kehadiran Ilahi.
Pada sajak ini, aku lirik seakan mendapatkan petunjuk mengenai teori penciptaan alam semesta dalam ajaran Islam. Kita dapat menemukan ayat dalam Alquran yang bisa jadi merupakan rujukan Acep menulis sajak “Siapakah” ini, yaitu surat Thaha ayat 49-50 yang berbunyi “Berkata Firaun, ‘Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?’ Musa berkata, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’” Pada ayat 49, pertanyaan ‘siapakah’ Tuhanmu dari Firaun kepada Musa dapat menjadi kunci “petunjuk” yang dilukiskan Acep pada sajak ini.
Dalam sajak “Siapakah”, petunjuk itu disiratkan dengan personifikasi alam dan Penciptanya, seperti pada baris “Ketika punuk bukit kembali bersemi”; “Ketika ombak berkejaran dengan sunyi”; “Siapakah yang menggambari langit”; “Siapakah yang mengukir udara”.
Senada dengan Sapardi, Faruk HT menyatakan bahwa puisi-puisi Acep merupakan puisi pengembaraan, seperti ia tulis dalam kata penutup Di Atas Umbria2. Selain sajak “Siapakah”, sajak-sajak pengembaraan yang terbit di HU Kompas lainnya adalah “Dodoku Ali”, “Anjung Cahaya”, “Tapulaga”, “Bukan Destinasi Terakhir”, “Sancang”, “Batupacakop”, “Sagaraanakan”, dan “Karangtawulan”.
Satu lagi, sajak “Sesungguhnya”, bisa jadi memang tercipta dalam pengembaraan, tetapi pada sajak ini, pembaca tidak dapat melihat tanda-tanda pengembaraan yang menonjol. Solilokui lebih kuat pada sajak ini. Percakapan aku lirik dengan dirinya sendiri ini menjadi penghayatan yang mendalam akan kehadiran dirinya sebagai sebuah entitas.
Andai jemariku mengelus rambutmu
Aku hanya mengelus rambut waktu
Andai hanya mengelus rambut waktu
Sesungguhnya aku mengurai rahasia rindu
Andai mengurai rahasia rindu
Aku hanya mengungkapkannya lewat lagu
Andai hanya mengungkapkannya lewat lagu
Sesungguhnya aku telah memeras seluruh jiwaku
2015
Pada sajak-sajak pengembaraan, aku lirik dalam sajak-sajak Acep selalu menangkap impresi dari benda-benda, tumbuhan, atau hal-hal yang dilihat-ditemukannya. Impresi-impresi itu kemudian hadir dalam sajak sebagai ilustrasi perasaan yang penuh penghayatan.
Misal pada sajak “Sancang”, kita akan menemukan fenomena dan suasana alam yang menjadi citraan perasaan aku lirik, seperti “hutan terlarang”, “batu-batu padas”, dan “ukiran nampak pada tebing” (pada bait pertama); “sulur-sulur pohon”, dan “bunyi serangga” (bait ketiga); “muara”, “cabang-cabang bakau”, dan “dermaga” (pada bait terakhir). Berikut sajak “Sancang” selengkapnya:
Tanpa alas kaki aku berjalan memasuki hutan terlarang
Batu-batu padas menjadi nubuat yang berasal dari sunyi
Sebuah ukiran nampak pada tebing yang ditoreh belati
Ada lelehan darah. Tahun kelahiran kita tertulis di sana
Lalu kita berpisah dan menjadi bagian dari kitab semesta
Bagian dari buku yang tak henti-hentinya mendedahkan
Keajaiban rindu. Aku membacamu hingga lubuk bahasa
Sebelum kau menghilang ditelan keremangan kata-kata
Aku berjalan menanjak dan menurun sepanjang hutan itu
Ingatan ibarat sulur-sulur pohon yang berjatuhan ke bumi
Dan kenangan adalah bunyi serangga menjelang subuh tiba
Di sebuah muara aku melihat waktu mengalir begitu lambat
Menit-menit mengambang di antara cabang-cabang bakau
Yang rapat. Aku tahu kematian menunggu kita di dermaga
2017
Sajak-sajak Acep memang didominasi oleh alam sebagai alat pengungkapannya. Acep memang sudah mapan, mencapai puncak puitika, dengan alat pengungkapannya ini. Meski, barangkali, bagi yang mengikuti sajak Acep sedikit merasa jenuh dengan artikulasinya itu. Akan tetapi, pembaca yang jeli akan selalu menemukan hal-hal yang penuh perenungan dan mendebarkan pada setiap sajak-sajaknya.[]
1Damono, Sapardi Djoko, Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999
2Noor, Acep Zamzam. Di Atas Umbria. Yogyakarta: Indonesiatera, 1999