Tragedi yang Tak Menyedihkan
Ada tragedi besar apa yang terjadi dalam tramway? Pertanyaan itu yang pertama kali muncul ketika saya membaca cerpen “Tragedi-tragedi di Tramway” karya Bernando J. Sujibto yang disiarkan HU Pikiran Rakyat, 4 Februari 2018. Membaca judulnya dengan sekilas, saya menyimpulkan latar cerpen ini bukan di Indonesia atau bisa jadi di Indonesia, tapi saat trem masih berseliweran di Jakarta. Jadi, apa yang sebenarnya ingin dibicarakan dalam cerpen ini?
Salju turun begitu deras pagi ini. Kota Konya telah sempurna menjadi putih seperti hamparan kain kafan yang panjang. Aku tak bisa memalingkan pandangan mataku kepada rumah-rumah dan pohon-pohon ringkih yang serupa jajaran batu nisan. Tak ada suara sama sekali yang bisa kudengar pagi ini, dari apartemen menuju durak tramway yang berjarak sekitar durasi menikmati segelas teh orang Turki. Di durak Fakultas Hukum, ada beberapa orang yang tengah menunggu tramway. Aku tak bisa mengenali wajah mereka. Tubuhnya dibungkus rapat jaket tebal, penutup telinga, syal, dan topi dari bulu domba.
Dalam pembukaan cerpen, terdapat dua kalimat yang sudah mengarahkan kesimpulan pembaca. Pertama, Kota Konya telah sempurna menjadi putih seperti hamparan kain kafan yang panjang. Kalimat tersebut menggunakan perumpamaan kematian dengan frasa kain kafan yang panjang. Saya kira, penggunaan perumpamaan tersebut sudah sangat jelas, apalagi dengan disandingkan kalimat berikut, Aku tak bisa memalingkan pandangan mataku kepada rumah-rumah dan pohon-pohon ringkih yang serupa jajaran batu nisan.
Setelah paragraf pembuka, tidak ada lagi perumpamaan berisi hal-hal yang berkaitan dengan kematian. Namun selanjutnya muncul kata-kata yang lebih verbal, seperti pada kalimat Aku duga dia hanya seorang pemuda mabok yang tersesat hingga pagi begini, atau mungkin pengungsi Suriah yang ingin mengganggu dan membikin keributan. Dalam kalimat tersebut, muncul frasa pengungsi Suriah, yang saya kira ada sangkut pautnya nanti dengan dua perumpamaan mengenai kematian pada paragraf pembuka.
Kemunculan frasa pengungsi Suriah sekaligus menandakan kemunculan konflik dalam cerpen ini. Konflik dimulai dengan hadirnya seorang pemuda tak dikenal, yang menyapa tokoh aku dengan pertanyaan konyol di dalam tramway yang baru saja melaju. Karena jengkel terus ditanyakan tujuan, sedangkan tokoh aku tidak mengenal pemuda tersebut, akhirnya tokoh aku angkat bicara. Terjadi percakapan, dengan nada pertengkaran, antara tokoh aku dengan pemuda asing.
Saya merasa semuanya pas, meski dialog antar tokoh sedikit rancu dalam menggambarkan pertengkaran dua orang di dalam tramway yang dipenuhi penumpang. Meskipun pada awal cerpen disebutkan para penumpang tramway hanya duduk rapi dengan wajah tertunduk, tetap saja jika terjadi adu mulut di tengah keheningan sangat tidak mungkin mereka tetap bergeming. Dengan bergemingnya tokoh lain saat konflik memuncak, saya kira penulis luput memperhatikan keadaan logis di sekitar tokoh utama.
Sebagai orang yang belum pernah mengunjungi Turki, saya tidak tahu alasan logis kenapa penulis memilih Konya sebagai latar ceritanya. Saya tahu Konya hanya dari mesin pencarian google. Dari berbagai sumber yang saya baca, Konya adalah salah satu kota bersejarah dengan Jalaluddin Rumi sebagai ikonnya. Dan dalam cerpen ini, tidak ada hal istimewa dari kota Konya yang disebutkan penulis. Karenanya, saya berkesimpulan, jika kota Konya diganti menjadi kota Gaziantep, hal tersebut tidak akan mengubah jalannya cerita sedikit pun.
Keganjilan berikutnya terdapat dalam tahap resolusi. Dalam paragraf,
Di tengah kebingungan yang meringkusku dengan beringas, aku terkejut melihat orang-orang yang sedari tadi menunduk dan menyembunyikan wajahnya bangkit dari tempat duduknya. Mereka seperti zombie di pagi hari. Matanya pucat, jalannya diseret tertatih.
Terdapat perumpamaan yang berlebihan, yaitu pada kalimat Mereka seperti zombie di pagi hari. Matanya pucat, jalannya diseret tertatih. Beberapa bulan lalu, saya baru saja menonton film “Train to Busan” yang menampilkan zombi di sepanjang ceritanya. Zombi-zombi itu muncul dari pagi sampai siang hari dan ekspresinya sama, matanya pucat, jalannya diseret tertatih. Jadi, apakah ada perbedaan ekspresi antara zombi Turki dengan zombi Korea berdasarkan waktu kemunculannya?
Kesalahan kecil yang berdampak sangat besar berikutnya adalah kata tragedi dalam judul. Kata tragedi yang memiliki arti peristiwa yang menyedihkan, saya kira kurang tepat penggunaannya dalam judul, setelah cerpen ini dibaca secara keseluruhan. Apalagi dihadirkan dengan bentuk pengulangan “tragedi-tragedi” yang tentu saja konotasinya berbeda dengan “tragedi.” Karena menurut saya, peristiwa dalam cerpen ini bukanlah tragedi, melainkan peristiwa mencekam.
Hal-hal kecil seperti pemilihan latar dan kelogisan bahasa, kadang sering diabaikan penulis. Padahal, jika keduanya dipilih secara serampangan akan sangat memengaruhi logisnya alur cerita.
Kemudian di akhir cerpen, setelah tokoh aku berhasil meloncat dari tramway yang mengajaknya untuk ke Aleppo, penulis sepertinya mencoba menawarkan sesuatu dengan paragraf,
Dari belakangku datang seorang ibu paruh baya, “kamu kelihatan mengantuk sekali pagi ini. Apa ketiduran di tramway?” tanyanya.
Dalam paragraf akhir yang terbuka tersebut, penulis sepertinya ingin membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri, apakah benar semua peristiwa yang sudah terjadi dalam tramway itu benar-benar terjadi atau hanya mimpi tokoh aku? Saya sendiri berkesimpulan bahwa peristiwa dalam tramway itu benar-benar terjadi.
Terlepas dari kecerobohan-kecerobohan di atas, cerpen ini menurut saya jauh lebih baik dibandingkan dengan dua cerpen sebelumnya yang juga saya bahas dalam laman ini. Dari segi tema, kelogisan alur cerita, dan bahasa, cerpen ini lebih rapi dan teliti. Dan catatan saya di atas terhadap cerpen ini semoga dapat dijadikan catatan pengingat untuk penulis cerpen, termasuk diri saya sendiri.[]