Membaca Keberagaman Empat Sajak PR
Pada fenomena pemuatan karya sastra di media massa, tentu saja seorang redaktur memiliki kewenangan penuh untuk memilih karya sastra mana saja yang akan diterbitkan. Entah berdasarkan selera pribadi ataupun standar estetika medianya. Dalam konteks puisi yang tayang di rubrik Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat sejak awal tahun ini, saya membaca kecenderungan bahwa ada suatu keberagaman tema dan bentuk. Keberagaman ini saya anggap sebagai suatu sikap keterbukaan terhadap estetika yang ditawarkan oleh penyair. Sementara di sisi lain, keberagaman itu juga saya anggap sebagai suatu pola standar estetika yang tidak ajeg, meskipun sebetulnya kebanyakan puisi yang dimuat itu memiliki ruh puisi liris.
Khusus terhadap puisi yang dimuat di Pikiran Rakyat edisi Minggu, 28 Januari 2018. Keberagaman tema dan gaya ucap hadir dari masing-masing penyair. Terdapat empat sajak dari tiga penyair yang ditayangkan, yakni sajak karya Dede Ma’rifah, Ecep Jaja Miharja, dan M Dirgantara. Tema yang diangkat berkisar seputar persoalan individu, fenomena sosial, dan bahkan mitologi. Dari segi tema, sebenarnya kita bisa membaca bagaimana masing-masing penyair memiliki ketertarikan pada realitas tertentu, dalam berbagai corak pemaknaannya terhadap realitas itu sendiri.
Untuk memahami bagaimana tema-tema itu didekati, didalami, dan diartikulasikan penyair. Barangkali, penggunaan isotopi bisa dijadikan sebagai pintu masuk pemaknaan terhadap masing-masing sajak. Isotopi adalah suatu pengkategorian mengenai medan makna yang sama dan bersifat umum dari suatu kata, frasa, klausa maupun kalimat dalam suatu teks sastra, khususnya puisi. Isotopi merupakan salah satu aspek analisis semantik dari teori struktural puisi yang memiliki fungsi, di antaranya: (1) untuk mengurai dan menjelaskan motif-motif tema; (2) untuk melihat bagaimana keutuhan suatu perlambangan.1 Sederhananya, isotopi akan membantu kita dalam memahami tema/inti gagasan umum dan keutuhan rancang bangun sebuah puisi.
Dimulai dari sajak berjudul “Rindu Kota Dambaan” karya Dede Ma’rifah. Sajak ini kurang lebih bertemakan tentang keasingan dan kerinduan individu di tengah kesenjangan alam dengan ruang sosial kota. Berikut kutipan lengkap sajaknya:
Rindu Kota Dambaan
Bukan lagi bunga bermekaran
Yang menghiasi samping rumah pinggir jalan
Tidak lagi pohon hijau tumbuh
Sejuk rukun orang berteduh
Dari jauh tampak gundukan tanah
Aku kira sedang proses berbenah
Bau busuk mulai menusuk
Basah lembap barang tak kunjung susut
Riuh pinggir kota menyaksikan
Pekat sesak polusi kendaraan
Luap busa cucian di tepi sungai
Tangerang kota bumi tak lagi permai
Sudikah kau berbagi pondokan?
Saat badai bah menghadang
Di dalam puisi di atas, terdapat isotopi alam dan isotopi kota yang muncul pada beberapa larik. Isotopi alam dihadirkan melalui larik: Bukan lagi bunga bermekaran/… tidak lagi pohon hijau tumbuh//…luap busa cucian di tepi sungai…//…saat badai bah menghadang. Melalui isotopi alam tersebut kita masuk pada makna alam yang telah terdistorsi. Distorsi itu muncul karena kehadiran ruang kota yang riuh, pekat sesak oleh polusi kendaraan, bau busuk dan busa cucian, yang mana hal tersebut juga merupakan isotopi kota. Pada titik ini makna kota diartikulasikan sebagai sebuah ruang yang mengganggu keharmonisan antara aku lirik dengan alam. Cara pandang dan sikap demikian memang begitu umum dan sering kita jumpai, terutama pada cara berpikir masyarakat yang kurang kritis. Hal tersebut memberi kesan kepada kita bahwa gagasan ini terasa klise, apalagi dalam sebuah puisi.
Hal yang sangat disayangkan lagi, keklisean itu bukan hanya terdapat dalam tataran gagasan tetapi juga dalam tataran gaya ungkapnya. Dalam sajak tersebut, kerinduan individu itu diartikulasikan melalui kreativitas bahasa (imaji, majas, dll) yang minim dan malah didominasi oleh kata-kata denotatif. Gambaran-gambaran lanskap kota terkesan terlalu umum dan kurang disertai detail-detail lain yang lebih unik dan puitik. Menyebabkan pembaca kurang mendapatkan kekayaan makna akan inti persoalan yang dihadirkan oleh sajak tersebut. Kerinduan akan harmonisasi antara aku lirik dengan alam menjadi begitu artifisial. Di sini terlihat bahwa penyair masih kurang memiliki jarak terhadap realitas dan makna yang ingin disampaikan. Sajaknya masih terlalu lugas.
Lain halnya dengan sajak berjudul “Buas” karya Ecep Jaja Miharja. Tema yang diangkat cenderung unik jika dibandingan dengan tiga sajak lainnya. Puisi ini mencoba meminjam khazanah mitologi Adam dan Hawa, yang juga terdapat dalam Kitab Suci umat Kristiani. Berikut ini puisinya.
Buas
Sejak zaman Adam di surga
Ular mendesis dalam telinga
Minum dahaga Anggur Merah
Mengaum Harimau dalam dada
Mencakar, mencabik, mengoyak, mengintai, melompat buas
Semilir angin pembawa luka
Menikam hati dengan belati
Dalam sajak di atas, terdapat isotopi hewan yaitu ular, isotopi manusia mulia (suci/keramat) yaitu Adam, dan isotopi alam transenden yaitu surga. Isotopi tersebut juga menjadi alusi dari mitologi Adam dan Hawa. Meskipun begitu, sajak ini sebenarnya tidak menghadirkan kembali mitologi itu secara utuh, tetapi hanya meminjam bagian kecilnya saja. Hal itu ditegaskan dengan penggunaan kata sejak yang berarti bukan penanda waktu pada saat Adam di surga, serta penggunaan kata harimau yang bukan hewan dalam bagian mitologi Adam.
Gagasan inti sajak di atas justru ingin menyatakan tentang kebuasan dari sifat suatu makhluk (manusia). Isotopi-isotopi dalam sajak difungsikan untuk menegaskan makna dari suasana batin aku lirik (implisit) yang getir oleh sifat kebuasan dalam dirinya. Di samping itu, dalam hal gaya ungkap, sajak ini begitu sadar akan lambang-lambang yang membuat makna menjadi luas dan multitafsir bagi pembaca.
Sementara pada sajak berjudul “Perbedaan Adalah” karya M Dirgantara, terlihat bagaimana ketertarikan penyair kepada alam melalui isotopi-isotopi alam seperti tujuh lempang pelangi, pekat arang, hijau alga, dan kuntum padma. Isotopi alam di sana terkesan hadir sebagai lanskap yang mewakili inti ekspresi batin aku lirik (lihat, kata hatiku).
Perbedaan Adalah
Tujuh lempang pelangi
disapu-sapu
jadi pekat arang.
Corak-corak merak
diderai angin
jadi hijau alga.
Rona kuntum padma
dihinggapi layu
jadi seragam cokelat.
Rupa-rupa hatiku
dikerudungi
jadi putih satu.
Meskipun begitu, sajak ini secara bentuk memiliki keunikan tersendiri. Keunikannya terdapat pada penggunaan judul yang tidak lazim. Satu sisi, judulnya terkesan membingungkan karena berupa frasa yang tidak lengkap jika dibaca secara parsial. Di sisi lain, ketika dibaca secara keseluruhan isi sajaknya, ternyata konteks maknanya menjadi utuh.
Misalnya, kita bisa membacanya menjadi begini: (perbedaan adalah) Tujuh lempang pelangi/disapu-sapu/jadi pekat arang. Pembacaan seperti itu bisa digunakan pada dua bait selanjutnya. Di sana keberadaan judul dilesapkan agar bait-bait itu menjadi jelas konteksnya, tidak hanya menghadirkan lanskap alam secara mana suka. Teknik tersebut saya kira jarang dilakukan oleh penyair-penyair lain.
Tema yang diangkat oleh sajak ini rupanya hanya menyoal emosi personal aku lirik yang beragam, yang kemudian jadi lebur belaka. Makna “perbedaan” dan “peleburan” yang dimaksud juga kurang jelas konteks arah maknanya ke mana. Perbedaan dalam bentuk apa? Hal apa yang menyebabkannya lebur? Hal-hal itu kiranya patut dilengkapi kembali konteksnya oleh penyair, sehingga pembaca bisa dengan baik memahaminya secara utuh.
Sedangkan satu sajak lain karya M Dirgantara yang berjudul “Pengungsi” terasa berbeda ruhnya, baik dalam hal bentuk ataupun tema jika dibandingkan dengan sajaknya yang di atas.
Pengungsi
Gula senja sudah larut di kopi malam;
rumah ini tetap surya malas-malasan.
Padahal, cuma aku dan ibu di dalam.
“Ini rumah, Bu, apa pasar swalayan?”
“Mari, Nak, kau tak tahu saja, selain gelap,
cahaya juga pengusir senyap.”
Senyap-lampu tertaut di mana?
Ini rumah sarang rayap sarang senyap:
sepi ada di mana-mana.
Ibu tak melihat sepi di kasur tamu?
Tak mendengar nyanyi dia di kamar mandi?
Tak tahu di beranda berencana abadi?
“Mari, Nak, ini cerek panas kue krispi.”
Di dapur aku dan ibu, kadang diam kadang bicara
mirip pengungsi di rumah sendiri.
Sajak ini bentuknya lebih naratif. Diperkuat dengan cara memasukan dialog antara aku lirik dengan sosok Ibu. Meskipun di larik awal, saya sempat terganggu oleh metafornya yang picisan (: gula senja & kopi malam). Sajak ini terasa lebih intim dengan pembaca karena penghadiran isotopi ruang dan benda-benda seputar rumah, seperti beranda, kamar mandi, serta cerek panas kue krispi. Gagasannya unik, memiliki ironi yang cukup kuat. Rumah yang biasanya memiliki citra adem ayem, justru dalam sajak ini menghadirkan suasana yang sebaliknya. Melalui sajak ini, kita bisa merasakan betapa ironi ketika penghuni rumah sudah merasa menjadi pengungsi di rumahnya sendiri. Terlebih lagi hal tersebut dibalut oleh imaji-imaji yang segar, lembut, dan tak aneh-aneh. Kita lebih mudah masuk ke dalam suasana batin dan pikiran sajak ini.
Di luar pembahasan yang begitu teknis di atas, saya ingin menekankan bahwa keterbukaan seleksi karya di media massa tertentu, tidak begitu saja menjadikan seorang penyair terlena dan mengabaikan hal kecil yang bisa merugikan keutuhan rancang bangun sajaknya. Sejatinya, puisi yang baik adalah puisi yang memberikan ruang memadai bagi pembaca untuk mengutuhkan penafsirannya, melalui kerangka bahasa puitik yang utuh pula.[]
1 Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: ILDEP.