Kafka dalam Sajak-sajak Triyanto Triwikromo
Franz Kafka adalah kunci dalam sajak-sajak Triyanto Triwikromo yang terbit di Harian Kompas (27/1/2018). “Nabi”, “Makam Kita”, “Pencurian Sekarung Arloji”, “Aturan Sewa Rumah”, dan “Danau Purba” sepertinya ditulis oleh Triyanto dalam satu nafas. Nafas yang ia hirup dari udara penuh Kafka.
Bagaimana saya yakin bahwa Triyanto menjadikan Kafka sebagai subjek dalam sajak-sajaknya. Dengan pendekatan yang cukup purba dalam sastra, yaitu pendekatan ekspresif, saya dapat menemukan “rubah di hijau hutan” sajak-sajak Triyanto. Pendekatan ini cukup sederhana, cukup memerhatikan upaya penyair mengekspresikan ide ke dalam karyanya. Pada karya Triyanto kali ini adalah puisi.
Pada akhir tahun lalu, tepatnya dari 1 September hingga 30 November 2017, Triyanto menjadi salah satu peserta residensi Island of Imaginaton yang disokong oleh Kemendikbud RI. Ia memilih tempat residensi di Berlin, Jerman. Selama tiga bulan di sana, ia melakukan riset untuk menulis sebuah novel yang bertolak dari Kafka. Tentu saja ia tak hanya menetap, menulis, mencari sumber risetnya di Berlin. Ia juga bepergian ke tempat-tempat penting bagi Kafka, seperti ke Praha di Republik Ceko.
Dari lansiran DW.com, bab pertama dari novelnya yang diberi judul Metamorkafka telah ia bacakan di hadapan mahasiswa Studi Asia, Jurusan Indonesia Universitas Bonn, Jerman.1 Judul itu diambilnya dari Metamorfosis, salah satu karya Kafka yang paling berpengaruh dalam kesusastraan.
Lalu bagaimana Kafka hadir dalam sajak-sajak Triyanto Triwikromo?
Dalam sajak-sajaknya, tentu saja Triyanto tak menulis ulang biografi Kafka. Tetapi Triyanto menjadikan Kafka sebagai landasan estetik sajak-sajaknya. Apakah itu berupa gagasan atau pun hal-hal lahiriah dari kehidupan Kafka.
Misal, pada sajak berjudul “Danau Purba”
Ia yakin apa pun yang berada di dasar Danau Wannsee
adalah surga. Perahu-perahu putih yang ditambatkan hanyalah
penjelmaan nabi-nabi terakhir yang mewartakan kebusukan
neraka. Adapun burung-burung, angsa-angsa, dan itik-itik
yang muncul dari balik kabut tak mempersoalkan apakah mereka
berasal dari gua gelap atau bukit-bukit penuh pohon purba
berembun.
Sebelum belajar memahami kilau daun-daun linde yang gugur
perlahan ke pasir basah, ia tidak pernah berkunjung ke danau
mana pun. Ia tidak pernah mengenal ikan-ikan kurus
yang berenang sembarangan meskipun hanya dalam fantasi.
Danau, baginya, adalah laut kecil yang asing. Hijau. Penuh
ganggang yang berebut tumbuh.
Kadang-kadang ia melihat satwa lucu muncul dari keheningan
danau. Ia pernah melihat ikan-ikan berkepala singa
menyemburkan api ke arah kampung. Kadang-kadang ia melihat
tumbuh-tumbuhan serbaungu gugur dari kehijauan langit.
Ia melihat bunga-bunga berbentuk unta terbang terbawa angin ke
tenggara.
Setelah surga, Tuhan memang menciptakan Praha. Akan tetapi
baginya Danau Wannsee lebih dari sekadar surga. Iblis
dan anggur sesekali menggoda. Tuberkulosis dan rindu bibir
kekasih sesekali merasuk. Tak pernah ada badai kotoran kucing.
Tak pernah ada serdadu-serdadu yang mencari Yahudi miskin
dan kehilangan senja.
“Sebenarnya Tuhan ingin sekali menciptakanmu sebagai
ganggang,” kata Danau Wannsee. “Tetapi aku tak
menginginkanmu menjadi tumbuhan yang gampang membusuk.
Lalu aku minta Tuhan menciptakanmu sebagai Narsisus tetapi
kau lebih ingin menjadi Kafka. Apakah kau kecewa telah
menjadi cermin neraka?”
Ia tak pernah kecewa menjadi Kafka. Tetapi ia sangat ingin
menjadi danau. Danau tanpa kecoa. Danau tanpa ketakutan.
Danau tanpa sinagog. Danau tanpa Sisifus yang berkali-kali ingin
menghunuskan pedang ke jantung para dewa yang tak pernah
membaca Kitab Kejatuhan Manusia.
2017
Sajak ini sudah barang tentu ditulis oleh Triyanto sebagai bagian dari riset untuk menulis Metamorkafka, selain sebagai karya yang memiliki integritas sendiri. Lalu apa hubungannya Danau Wannsee dengan Kafka? Barangkali ini berhubungan dengan kamp konsentrasi. Dua orang saudari Kafka yang beragama Yahudi menjadi korban di kamp konsentrasi.
Pelenyapan massal kaum Yahudi yang dikenal dengan istilah Holocaust itu tercetus dari dekat Danau Wannsee di pinggiran Berlin sebelah barat. Pada 20 Januari 1942, Di Villa Wannsee dilakukan Konferensi Wannsee yang dipimpin oleh Reynard Heydrich: menghasilkan sebuah keputusan kejam untuk melenyapkan kaum Yahudi dari Benua Eropa dengan “solusi terakhir”. Catatan Sejarah ini bisa jadi merupakan gagasan Triyanto menulis sajak “Danau Purba”.
Kemampuan puitika Triyanto yang apik mampu membungkus kisah latar sejarah Danau Wannsee pada “Danau Purba” menjadi sebuah puisi yang tak sekadar mereka ulang kejadian-kejadian di masa lalu. Gaya bahasa dan imajinasi yang ditumpahkan pada sajak ini membuat pembaca mendapatkan realitas baru yang disuguhkan, meski tentu kita sulit untuk melepaskan intertekstualitas puisi ini dengan catatan sejarah yang mengilhaminya.
Majas hiperbola kerap terasa begitu kuat digunakan dalam sajak-sajak Triyanto. Kenyataan dalam sajak yang ditulisnya begitu berlebihan dan tak masuk akal, misal Ia yakin apa pun yang berada di dasar Danau Wannsee/adalah surga. Perahu-perahu putih yang ditambatkan hanyalah/penjelmaan nabi-nabi terakhir yang mewartakan kebusukan/neraka.; Kadang-kadang ia melihat satwa lucu muncul dari keheningan/danau. Ia pernah melihat ikan-ikan berkepala singa/menyemburkan api ke arah kampung.; atau, Setelah surga, Tuhan memang menciptakan Praha. Akan tetapi/baginya Danau Wannsee lebih dari sekadar surga… Namun, gaya ucap Triyanto itu tentu bukan sekadar berasal lamunan, melainkan berhubungan dengan impresi penyair ketika menangkap momen puitik dan mengkombinasikannya dengan imajinasi serta informasi yang dia miliki dari objek puitiknya.
Begitu pula dengan sajak berjudul “Aturan Sewa Rumah”. Majas hiperbola masih cenderung mendominasi gaya ucapnya. Bak pendongeng, ia melebih-lebihkan kenyataan dalam sajaknya agar pendengar tertarik dengan apa yang diceritakannya. Mari kita baca sajak tersebut selengkapnya.
Menggunakan Kunci
Ia tahu agama hanyalah semacam jeruk. Bukan kunci
untuk membuka rahasia keheningan danau. Karena itu ia tak akan
menggunakan kode angka-angka ganjil untuk memahami
kehendak hujan. Tak akan.
Sarapan
Ia boleh melahap apa pun pada musim dingin. Ia tak boleh makan
apa pun saat tetangga bunuh diri. Pada pukul 8.00 hingga pukul
10.00 bom-bom diledakkan di dekat stasiun. Ia hanya
diperkenankan tidur.
Merokok
Ia berharap bisa melanggar perintah Tuhan kesebelas: merokok.
Tetapi tuberkulosis menghajar sepanjang waktu. Ia pun
mengulum permen dari Rusia dan merasa telah menelan semesta.
Ia tidak keberatan jika Tuhan menciptakan lagi perintah kedua
belas: dilarang merokok pada musim plankton dan ganggang
kawin-mawin sembarangan.
Mencuci
Ia diperkenankan mencuci baju pada malam-malam penuh
serangga. Ia tidak dizinkan mencuci hati dengan salju sembarang
waktu.
Memelihara Anjing
Ia tidak diizinkan memelihara binatang-binatang dari surga,
terutama anjing. Karena itulah ia ingin memelihara kecoa, babi,
dan belut.
Warga Negara
Ia dilarang menjadi Yahudi. Ia tidak boleh belajar bahasa Ibrani.
Ia diperkenankan menjadi monyet. Jika melanggar, ia akan
dibakar hidup-hidup di alun-alun.
2017
Dalam sajak ini, kita dapat melihat Triyanto menggunakan biografi Kafka. Seperti ketakberterimaan Kafka terhadap ajaran Yahudi yang diajarkan ayahnya yang dikiaskan Triyanto menjadi Ia tahu agama hanyalah semacam jeruk. Bukan kunci/untuk membuka rahasia keheningan danau. Karena itu ia tak akan/menggunakan kode angka-angka ganjil untuk memahami/kehendak hujan. Tak akan. Atau, Kafka yang mengidap dan meninggal akibat tuberkulosis pada Ia berharap bisa melanggar perintah Tuhan kesebelas: merokok./Tetapi tuberkulosis menghajar sepanjang waktu. Ia pun/mengulum permen dari Rusia dan merasa telah menelan semesta./Ia tidak keberatan jika Tuhan menciptakan lagi perintah kedua/belas: dilarang merokok pada musim plankton dan ganggang/kawin-mawin sembarangan.
Pada sajak ini, Triyanto memang tidak berbicara tentang biografi Kafka. Tapi, masih lebih terasa, perhatiannya justru tertuju kepada diskriminasi yang pernah dialami kaum Yahudi. Sajak ini seperti impresi Triyanto terhadap perlakuan diskriminatif Nazi terhadap kaum Yahudi. Pada bait terakhir sajak ini, pembaca dapat lebih merasakannya. Ia dilarang menjadi Yahudi. Ia tidak boleh belajar bahasa Ibrani./Ia diperkenankan menjadi monyet. Jika melanggar, ia akan/dibakar hidup-hidup di alun-alun.
Apa yang ditulis oleh Triyanto dalam sajaknya ini disebabkan oleh Kafka. Perjalanannya mencari jejak-jejak Kafka rupanya membawa Triyanto menemukan teror Nazi yang mencekam kaum Yahudi. Meski demikian, saya kira, kaum Yahudi yang digunakan Triyanto dalam sajaknya adalah kata ganti dari manusia.[]
1 Roman Kafka Guratan Penulis Indonesia: http://www.dw.com/id/roman-kafka-guratan-penulis-indonesia/av-41598484