Bahasa Puisi Mutia Sukma
Buku kumpulan puisi itu berjudul Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia. Sangat memikat. Judul ibarat gerbang utama untuk memasuki (membaca dan menghayati) suatu karya. Begitu penting. Dalam hal ini, Mutia Sukma sebagai penulis seolah sadar suatu judul mesti mengandung daya magnetis tersendiri bagi pembacanya.
Komposisi klausa pada buku Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia terkesan ingin mengungkap suatu rahasia. Alam bawah sadar pembaca akan tergugah untuk membacanya. Berbeda dengan kebanyakan judul antologi puisi. Sukma tak menggunakan judul dengan frasa/klausa yang tegas, melibatkan makna geografis, arkais, akrobatis, dan simbolis. Ia lebih memilih rangkaian kata denotasi lagi intuitif.
Selepas judul, tak ada kata pengantar dari seorang pakar. Tak ada semacam prolog dari penulis berisi kredo, proses kreatif/kepenyairan, testamen, ucapan terima kasih kepada banyak pihak, dan apologia puitis. Pembaca akan langsung dihadapkan pada daftar isi. Sukma seolah bukan tipe perempuan yang suka basa-basi.
Daftar isi itu seolah daftar menu. Sukma segera menyuguhkan judul-judul bagi pembaca. Tinggal pembaca memilah dan mencicip macam-macam peristiwa, aneka rasa kisah, gagasan, dan renungan hasil olahan kontemplasinya.
Buku puisi ini dikelompokkan dalam 3 bagian. Judul 3 bagian itu diambil dari salah satu judul puisi paling mewakili. Ketiga bagian itu berbeda baik secara jumlah maupun tema puisinya. Semisal pada bagian pertama, Tubuh Perempuan. Sukma memfokuskan lensa penghayatannya ke cerita/mitos dan legenda, baik lokal maupun luar. Hal ini dicirikan hadirnya nama tokoh-tokoh dalam bungkus majas alusi, contohnya Banowati, Kunthi, Sintha, dan Odipus. Adapun 3 bagian itu, yaitu:
- Tubuh Perempuan. Berisi 15 sajak. Kurang lebih menuliskan kecemasan seorang perempuan di antara arus zaman dan desau adat patriarki (“Tentang Nafas”, “Kepada Lemari Tua”, “Garis Nasib”, “Peristiwa-peristiwa yang Akan Kau Pelajari dalam Hidupmu”, “Rumah yang Terbelah”, “Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia”, “Kepada Bayang”, “Tubuh Perempuan”, “Sajak Marah”, “Sajak Odipus”, “Honduras”, “Sumpah”, “Meja Makan”, dan “Kuda Betina”).
- Manusia Rantau. Berisi 22 sajak. Menggambarkan kekaguman sekaligus kegetiran terhadap tempat beserta fenomenanya yang aku lirik datangi, baik pengembaraan tubuh maupun batin (“Meminta Tuhan”, “Bukit Taratak”, “Pada Sebuah Operasi Masal”, “Petilasan Kotagede”, “Di Puncak Kalvari”, “Tepi Diri”, “Sebatang Dupa”, “Manusia Rantau”, “Asal Mula”, “Di Suatu Tempat Asing”, “Seorang Kakek Tua Hidup Sendiri”, “Perubahan”, “Dataran Merdeka”, “Puisi untuk Seorang Ayah yang Meninggalkan Anaknya ke Palestina”, “Malam Pengusiran”, “Ironi pada Sebuah Kafe Kecil”, “Depan Gedung Asia Afrika”, “Di Borobudur”, “Lanskap Jurang Taroko”, dan “Kota Tanpa Masa Lalu”).
- Pengakuan Cinta. Berisi 10 sajak. Terkesan sentimental, suatu polarisasi antara kekalahan dan hasrat, penakdisan kekosongan dari cinta yang tak henti dicintai, kepasrahan pencari yang hakikatnya bukan untuk menemukan, namun terus mencari-menggali (“Tiga Catatan yang Mungkin Salah”, “Ode Kesedihan”, “Perjamuan Setan”, “Tentang Sebuah Peta”, “Keinginan”, “Pengakuan Cinta”, “Migrasi”, “Seperti Jeruk”, “Cinta Rahasia”, dan “Doa”).
Di antara Napas dan Doa
Buku Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia dimulai dari sajak berjudul “Tentang Nafas” sampai sajak berjudul “Doa”. Hal menonjol dalam karya Sukma, selain ide, adalah bahasanya mudah dipahami. Puisi dalam buku ini tak berlebihan menggunakan bahasa figuratif dan memanfaatkan frasa metaforis. Ya, sekali lagi, tampak bahwa Sukma bukan tipe perempuan suka basa-basi.
“Language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols”, kata Owens. Dengan menyinggung persepsi tadi, bahasa bukan hanya sistem komunikasi utama yang sistematis dan generatif. Bahasa bisa berupa seperangkat lambang-lambang manasuka atau simbol arbitrer. Dengan kata lain, languange may be from not matter. Bahasa bermakna sebagai tanda-tanda penjelas dari keadaan dan kepribadian, keluarga dan bangsa, serta akal dan budi kemanusiaan.
ceritakan lagi padaku/mengapa tuhan mencipta cinta/dan memisahkan di lain waktu/dengan cara rahasia/mengapa dunia yang kukagumi dibuat/sedang akan dihancurkan juga akhirnya// (“Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia”)
mencintaimu seperti berada di dalam taman/melihat bunga-bunga mekar dan wanginya membuat semua orang datang./maka kita pun jalang saling berdekapan dan/tak pernah merasa salahsatu di antara kita adalah beban// (“Cinta Rahasia”)
aku selalu datang padamu/dengan telanjang/apa yang telah kau berikan/seluruhnya kukembalikan/dan kalau kau merasa/belum seluruhnya/ambilah apa saja yang tersisa// (“Meminta Tuhan”)
Kutipan dari 3 judul sajak di atas, begitu terasa bahasa puisinya mencerminkan kepribadian seorang perempuan. Menohok, tapi lembut. Ungkapan kecemasan bahkan kekecewaan dibingkai aforisme. Dari hati dan hati-hati. Penjelasan tersebut sejalan dengan teori psikologi Jean Sanders. Laki-laki cenderung meledak saat marah. Perempuan justru sebaliknya, mencoba meredam emosi dan mengontrolnya sehingga tercipta letupan-letupan kecil saja. Sebab, norma dan etika masyarakat cenderung sulit menerima agresi perempuan.
Menurut hemat saya, dalam buku Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia, Sukma menunjukkan pemikiran dan identitas seorang perempuan yang berusaha menguraikan fenomena kehidupan. Sejumlah fakta dan reportase kegelisahan dihimpun lalu dirumuskan menjadi karya perenungan. Dengan mengutip Jung, gaya (ber)bahasa puisi dan sensitivitas kepenyairan Sukma mencerminkan 4 tipe wanita, yaitu Ibu (menemukan identitas dan kepuasan mengasuh), Histeria (sosok perempuan intelektual dan partner spearing lawan jenis), Amazon (pencarian dan pengembaraan), dan Perantara (pembawa kabar/peruntungan).[]
Judul Buku : Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia
Penulis : Mutia Sukma
Penerbit : Gambang Buku Budaya
Tahun Terbit : April, 2017
Halaman : vii+66 hlm. 13 x 19 cm
ISBN : 978-602-6776-45-7