Fb. In. Tw.

Realita Sinetron dalam Cerpen

Awal Februari lalu akun-akun gosip dalam platform instagram menghebohkan warganet dengan berita yang sangat tragis. Diberitakan ada pasangan orang tua yang ditemukan sudah membusuk di kediamannya di Magelang. Sepasang mayat tersebut ditemukan oleh menantunya yang saat itu bertugas menjenguk. Malang sekali, mereka dibiarkan hidup hanya berdua saat masa senjanya oleh anak-anaknya sendiri. Apalagi, diberitakan juga, si Ibu sebelum meninggal dalam keadaan sakit parah, dan si Ayah yang sudah tua harus mengurus istrinya sendirian. Membaca berita ini saya teringat dengan isi cerpen berjudul “Pesan Ibu” yang disiarkan HU Pikiran Rakyat pada 21 Januari 2018.

Ada kemiripan alur cerita antara berita di atas dengan cerpen “Pesan Ibu.” Keduanya sama-sama menggambarkan kisah hidup orang tua yang ditinggal anggota keluarganya dengan kondisi melawan penyakit. Sendirian. Saya kira begitulah seharusnya, apapun bentuknya, karya sastra seyogianya menggambarkan realita yang terjadi di tengah masyarakat kita.

Tapi apakah hanya dengan menggambarkan realita, sebuah karya sastra bisa diterima oleh masyarakat? Terutama di Indonesia, mengamini pernyataan Katrin Bandel, di mana rubrik sastra koran diisi, dipilih, dan dibaca oleh masyarakat yang paham sastra dan mungkin hanya beberapa masyarakat awam, tentu saja gambaran realita menjadi tidak cukup untuk dijadikan modal penarik perhatian pembaca sastra.

Salah satu modal yang terlupakan dalam cerpen “Pesan Ibu,” saya kira, adalah kaburnya beberapa motif. Baik motif tokoh, latar, atau alur cerita. Cerpen ini dibawakan oleh tokoh Aku, anak perempuan sekira usia sepuluh sampai sebelas tahun bernama Lily, yang membuat cerpen ini menjadi lugu, polos, dan sok tahu. Mengenai usia Lily, saya murni mengira-ngira melalui deskripsi berikut,

….Ibu duduk tepat di sampingku, wajahku masih tertutup jari-jari putih dan kecil seperti ranting-ranting di musim kemarau.

Tapi kemudian saya menjadi ragu mengenai usia Lily karena beberapa deskripsi dan percakapan yang dihadirkan, seperti dalam kutipan berikut.

“Diam kalian, kalian tidak sayang kepada ibu. Hanya aku yang mengurusi ibu ketika sakit. Kalian jahat! Ibu kesakitan kalian gak pernah ada, sampai belatung menggerogoti tubunya pun kalian entah di mana!”

Gadis kecil yang lugu tiba-tiba berubah menjadi orang lain. Dan kutipan di atas membantah deskripsi-deskripsi karakter Lily yang sudah dibangun sebelumnya. Perkataan “diam kalian” tidak mungkin keluar dari mulut gadis kecil usia sepuluh atau sebelas tahun. Semarah apapun dirinya. Apalagi itu ditujukan kepada Bapak dan Kakak-kakaknya sendiri. Atau mungkin saja tebakan saya tepat, dengan kesimpulan bahwa Lily adalah gadis kecil yang terpaksa menjadi dewasa karena keadaan keluarganya.

Dengan pemakaian sudut pandang orang pertama, cerpen ini harusnya lebih jeli menggambarkan siapa Lily. Jika penulis tidak ingin menggambarkan Lily dengan gamblang, mungkin percakapan antar tokoh atau pikiran-pikiran tokoh yang dihadirkan dapat menguatkan karakter Lily. Karena Lily adalah kunci dalam cerpen ini.

Kurangnya penggambaran karakter Lily sebagai tokoh utama, bisa saja disebabkan oleh minimnya observasi penulis. Apalagi bila terdapat perbedaan jenis kelamin dan usia antara penulis dengan tokoh utama yang harus menyampaikan sudut pandangnya. Itu artinya, observasi tokoh sangat penting dilakukan penulis sebelum mengeksekusi idenya.

Selanjutnya adalah tokoh Ibu. Jika Lily memiliki karakter yang kurang tergambarkan, karakter tokoh Ibu justru berhasil digambarkan. Karakter Ibu yang sangat keibuan ini tergambar dalam kutipan berikut.

“Tapi ibu baik-baik saja?” tanyaku khawatir.

“Oh, tentu saja,” jawab ibu ceria. Walau aku tahu ia sedang menahan rasa sakit. Karena sesekali ia membelakangiku untuk merintih. Aku tak kuasa menahan air mata. Tapi ibu tetap terlihat baik-baik saja sampai kue berjejer di dalam kaleng bekas kue-kue instan.

Begitulah lazimnya seorang Ibu, sesakit apapun fisik dan hatinya dia akan tetap mendahulukan kebahagiaan anak-anaknya.

Dalam cerpen ini, bukan hanya penggambaran karakter Lily yang kurang. Tokoh yang lain pun mengalami nasib serupa bahkan lebih mengenaskan. Seolah ada dan tidak adanya mereka tidak akan berpengaruh banyak dalam dunia Lily bersama ibunya. Tokoh Bapak dan Kakak hadir beberapa kali hanya untuk menguatkan asumsi, jika Lily bersama Ibunya selama ini berjuang sendirian.

Hari itu, 3 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri aku dan ibu membuat kue di dapur rumah yang cukup sempit. Ibu tetap memilih untuk tidak memakai baju. Hanya kami berdua saat itu, kakak-kakakku sudah menikah dan bapak sedang bekerja (berjualan koran).
   …
“Lily, sudah.” Bapak dan kakak-kakakku berusaha menenangkan.

“Diam kalian, kalian tidak sayang kepada ibu. Hanya aku yang mengurusi ibu ketika sakit. Kalian jahat! Ibu kesakitan kalian gak pernah ada, sampai belatung menggerogoti tubuhnya pun kalian entah di mana!”

Selain dua kutipan di atas, Bapak dan Kakak-kakak Lily hanya disebutkan secara singkat dalam beberapa bagian cerpen. Jadi, tidak akan masalah jika pembaca mau mengganti pekerjaan Bapak atau mengganti nama Kakaknya dengan nama siapa aja. Karena hal itu tidak akan mengubah jalannya cerita.

Selain kurangnya motif kehadiran tokoh, motif latar pun sedikit dilupakan. Tidak disebutkan di mana dan kapan cerita ini berjalan. Apakah peristiwa dalam cerpen berjalan di pinggiran kota dan terjadi dua puluh tahun yang lalu? Atau bisa terjadi kapan dan di mana saja? Bagi saya kejelasan latar menjadi penting dalam cerpen ini. Jika dalam cerpen disebutkan bahwa peristiwa terjadi di pinggiran kota A dan terjadi saat negara ini mengalami krisis moneter, mungkin saya sebagai pembaca akan semakin bersimpati, baik terhadap tokoh maupun alur cerita.

Selanjutnya motif alur cerita. Alur peristiwa dalam cerpen sangat penting untuk diperhatikan, karena cerpen seabsurd apapun harus jelas alur peristiwanya. Kejelasan alur peristiwa membantu pembaca mencerna kelogisan sebuah cerita. Dalam cerpen ini, hal tersebut (juga) luput diperhatikan.

Aku kembali ke tempat itu, dan berjongkok mengusap kepalanya.

“Ibu, aku tak kuasa.” Napasku tersendat, tangisku terisak. Tak ada tangan yang mampu kugenggam, tak ada pundak untuk bersandar, dan tak ada tubuh yang untuk kupeluk. Aku benar-benar sendiri.

Dua paragraf di atas menjadi pembuka dalam cerpen. Diceritakan tokoh Aku yang kemudian bernama Lily, sedang mengunjungi suatu tempat. Dia mengadu kepada ibunya jika dia sendirian dan seolah rindu dengan kehangatan ibunya. Lalu cerita dimulai melalui ingatan Lily saat hari-hari terakhir hidup ibunya.

Tidak ada hal yang mengganjal dengan pembukaan cerpen, karena banyak penulis yang menggunakan teknik tersebut. Eka Kurniawan dalam “O” dan “Cantik Itu Luka” misalnya, melakukan hal yang serupa dengan penulis cerpen “Pesan Ibu.”

Keganjilan alur peristiwa dalam cerpen “Pesan Ibu” mulai hadir pada bagian konflik cerita. Ada bagian yang menjadi pertanyaan saya sebagai pembaca.

Malamnya, ibu tertidur pulas. Mungkin karena lelah setelah seharian membuatkanku kue, Aku ingin melihat wajah ibu, sekarang juga.

Aku buka tirai kamar ibu yang terbuat dari kain lusuh bekas berwarna cokelat kekuning-kuningan karena luntur. Dan ini pemandangan setiap malam sekaligus pekerjaanku. Seperti biasa aku ambil 2 lembar tisu dan kugelar di atas telapak tangan. Perlahan aku duduk di samping ibu.

Dalam kutipan di atas ada keganjalan logika. Jika Lily gadis kecil berusia sepuluh atau sebelas tahun, apakah Bapaknya akan setega itu membiarkan Lily mengurus ibunya sampai tengah malam? Di manakah Bapaknya? Apa masih bekerja, berjualan koran sampai tengah malam? Dan hal ini yang memberanikan saya untuk mengatakan kalau kehadiran tokoh Bapak dan Kakak-kakak Lily tidak berpengaruh besar dalam cerpen ini.

Bagian yang paling mengganjal adalah bagian akhir cerita. Dalam pembuka cerpen, yang sudah disebutkan di atas, dibangun kesan tokoh Aku yang malang dan sendirian. Namun hal tersebut dibantah di akhir cerita. Di makam ibunya, pada saat itu Lily justru tidak sendiri. Lily sudah bersuami yang disebutkan berkarakter baik dan murah hati.

Kenapa pada awal cerpen tidak langsung menyebutkan kalau Lily rindu ibunya? Meski kesan itu sedikit tampak, justru kesan kemalangan dan kesendirian yang lebih kuat dirasakan oleh pembaca.

Begitulah kiranya, jika motif kehadiran tokoh, latar, dan alur peristiwa tidak jeli digambarkan dalam sebuah cerita. Gambaran realita yang ingin dihadirkan cerpen sebagai karya sastra malah menjadi kabur dan lebih menyerupai sinetron.[]

KOMENTAR

Bergiat di Sanggar Sastra Purwakarta dan Arena Studi Apresiasi Sastra.

You don't have permission to register