Variasi Cinta Opera Sekar Jagad
Setiap manusia pasti memiliki dan merasakan cinta. Baik cinta personal maupun universal. Cinta tak melulu jatuh pada lawan atau sesama jenis. Cinta bisa tertanam pada tanah kelahiran. Cinta bisa tertuju pula pada benda sebagai bentuk kepercayaan.
Cinta tak hanya emosi, tapi juga energi. Karena cinta, dunia seseorang bisa begitu tampak indah. Karena cinta pula seseorang rela melakukan sesuatu, bahkan tindakan di luar nalar sekali pun. Romeo dan Juliet berani menenggak racun demi mengabadikan cinta, ketika perbedaan keluarga menjadi penghalang. Sangkuriang rela membuat perahu satu malam sebagai tanda cinta pada Sumbi—meski akhirnya gagal. Tokoh Kakek dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Navis beribadah selama sisa hidup tanpa peduli kehidupan sekitar, karena cinta pada Tuhan.
Contoh di atas hanya butiran kisah cinta dalam konstelasi karya sastra. Sastra memang kerap memuat cinta sebagai medium tema. Baik sastra kuno, modern, dan klasik. Barangkali hampir semua penulis pernah menulis tema cinta. Terlepas cinta picisan atau sublim.
Banyaknya karya sastra bertema cinta menghadirkan tantangan sendiri bagi penulis menghadirkan tema serupa. Dalam prosa—begitu juga puisi, karya bertema cinta mesti memberikan tawaran. Jangan sampai terjebak pada klise. Lebih parah jika karya bertema cinta kalah berkesan dengan cinta milik pembaca.
Dalam unsur pembangun prosa, salah satu ruang untuk digali dalam tema cinta adalah tokoh. Keunikan tingkah tokoh ketika dilanda cinta bisa jadi tawaran dalam karya bertema cinta. Tampaknya, itu pula yang dilakukan Kurnia Effendi, atau karib disapa Kef, dalam cerpen berjudul “Opera Sekar Jagad” yang dimuat di harian Kompas, 29 April 2018.
Cerpen “Opera Sekar Jagad” berkisah tentang tokoh Purwati yang mencari suaminya, tokoh Sujiyo. Purwati, perempuan empat puluhan yang memiliki raut wajah melampaui umurnya, dengan nekat mencari suaminya ke Jakarta. Nekat karena ia hanya dibantu tokoh Sakir, orang yang awalnya mengajak Sujiyo ke Jakarta. Parahnya, ia pun membawa anak semata wayangnya, Sawi. Gagal menemukan Sujiyo, akhirnya Purwati bekerja sebagai tukang cuci di tempat laundry. Sampai suatu hari, ketika ia mencuci, ia menemukan batik yang dibawa Sujiyo merantau. Batik sekar jagad bertuliskan namanya, Purwati.
Cinta dalam diri Purwati tidak ditujukan pada satu objek saja. Terdapat dua objek cinta dalam diri Purwati. Pertama pada Sujiyo, suaminya, dan kedua pada batik dan pekerjaannya sebagai pembatik.
Objek cinta pertama yaitu cinta terhadap tokoh Sujiyo, tampak terang dalam cerita. Dari awal cerita bermula sampai akhir, kegigihan Purwati mencarinya ke Ibu Kota, Jakarta jadi bukti kebesaran cinta Purwati.
Meskipun kadang-kadang Purwati menyelesaikan pewarnaan batik di Omah Sekar Jagad milik Bu Arimbi, bersama para pembatik lain, hatinya tak cukup terhibur. Setelah tiba setahun, ia menganggap suaminya sudah keterlaluan. Bukankah banyak cara memberi kabar? Mula-mula Purwati khawatir kalau Sujiyo sakit atau digaruk petugas, sebab KTP elektroniknya belum beres. Seharusnya wajib lapor dan memperbarui surat keterangan pengganti KTP setiap 6 bulan.
Kepergian Sujiyo berpengaruh pada batin dari Purwati. Ia selalu memikirkan suminya. Ia pun merasa khawatir suaminya terkena musibah di Ibu Kota. Dan akhirnya ia pun nekat ke Jakarta.
Objek cinta kedua adalah kecintaan Purwati pada batik dan pekerjaannya sebagai pembatik. Purwati menolak ketika suaminya membawa kain batik sekar jagad. Apalagi tujuannya tak sebatas penawar rindu, tapi untuk dijual.
“Iki tak gawa ya, Dik Pur,” ujar suaminya. Ia memeluk kain sekar jagad dan mengatakan hendak membawanya.
“Kanggo apa? Ben kelingan aku terus?” Pertanyaan Purwati saat itu seperti tersanjung. Untuk apa? Supaya selalu ingat aku?
“Lha kuwi kowe ngerti,” Sujiyo, suaminya, tersenyum. Nah, itu kamu tahu, katanya. “Yen aku kentekan duwi, ya tak dol.” Tentu Purwati kaget dengan pernyataan Jiyo. Kalau kehabisan uang, kain itu akan dijual! Batik tulis memang cukup berharga, tapi…
“Jangan, Mas! Bahkan kain itu tidak kuserahkan kepada Bu Arimbi. Aku eman banget.” Purwati memandang suaminya, mewanti-wanti. Dia merasa sangat sayang pada sekar jagad itu.
Tak hanya pada batik, kecintaan bekerja sebagai pembatik berdampak pada kebiasaannya ketika bekerja di laundry. Ketika pekerjaan dimudahkan oleh mesin dan detergen, Purwati bersetia pada caranya mencuci kain khas seorang pembatik.
Seperti memperlakukan kain-kain batik di rumah, atau ketika disuruh mencuci koleksi juragannya dulu di Laweyan, Purwati merendamnya di ember dengan air yang telah dicampur lerak. Tak pernah ia memasukkan ke mesin cuci, memeras, apalagi menyetrikanya. Balikan saat menjemur, di tempatkan di bawah lindungan atap. Hanya angin saja yang mengeringkannya.
Lewat kebiasaannya mencuci itu, Puwati menunjukkan bahwa ia memang bukan perempuan trengginas. Cenderung lamban, tetapi pekerjanya rapi. Tidak mudah diubah sekalipun berulang kali disindir, bukan untuk mengoloknya. Karakter tersebut juga memperkuat tokoh Purwati sebagai perempuan dari desa.
Selain itu, tingkah menarik lainnya bisa dilihat ketika ia mencari tahu siapa pemilik batik sekar jagad itu.
Purwati membonceng Bang Ali dan mengikuti sepeda motor si pemuda. Setiba di sebuah rumah yang tampak teduh, Purwati ditemui seorang ibu bergamis yang lembut.
Pada nukilan di atas, bisa dilihat tingkah Purwati membonceng Bang Ali. Padahal Bang Ali adalah tukang ojek dan pemilik motor. Peristiwa itu barangkali upaya Kef menghadirkan humor. Kef memainkan logika sederhana. Ia membalikan sesuatu yang lazim terjadi. Dalam kasus ini Purwati membonceng Bang Ali.
Satu sisi tampak cerpen menampakkan kegigihan Purwati terhadap objek yang ia cintai. Sayang, baik batik maupun suami tak bisa kembali ke tangannya. Sampai akhir cerita, tak jelas Sujiyo berada di mana. Sedang batik telah jadi milik orang lain.
Cerpen “Opera Sekar Jagad” juga menghadirkan ironi tersendiri. Ketika Purwati sibuk mencari Sujiyo di kota, ia mesti menerima kabar bahwa Ibunya di kampung meninggal. Tampaknya lewat peristiwa dan tokoh Purwati, Kef ingin menyampaikan ketika mengejar cinta jangan sampai melupakan cinta yang lain. Dalam kasus Purwati adalah cinta terhadap orang tua. Di akhir cerita, ironi itu semakin terasa ketika Purwati masih bersikukuh mencari Sujiyo padahal ayahnya sudah semakin tua renta.
Baca juga:
– Permainan Persepsi Putu Wijaya
– Menakar Lamunan Djenar Maesa Ayu
Lepas dari itu, terdapat beberapa hal mengganggu dalam cerita. Salah satunya yaitu penggunaan dialog Jawa yang diulang dengan pergantian bahasa ke bahasa Indonesia. Hal tersebut mengganggu. Memang suasana Jawa akan terasa dengan penggunaan dialog tersebut, tapi di lain sisi, pengulangannya akan menimbulkan kesan pemborosan.
Tidak ditemukannya Sujiyo oleh Purwati tidak menjadi suatu kejanggalan. Memang pembaca akan mendapatkan akhir cerita seakan menggantung. Tapi, tidak ditemukannya Sujiyo bermakna lebih.
Lewat peristiwa itu, Kef berupaya mengkritik kota. Sujiyo yang sudah berada di kota menjadi harapan yang mesti didapatkan Purwati. Pun ketika Sujiyo tak ditemukan, hal ini mempertegas paradigma kota—Jakarta—bagi orang desa yang menawarkan harapan tanpa bisa terpenuhi. Hanya orang-orang tertentu saja (yang kerja keras dan kreatif) yang bisa sukses di Ibu Kota seperti yang diutarakan dalam cerpen, Kata orang, di Jakarta apa saja bisa jadi uang. Asal kita mau bekerja keras dan kata orang pintar: harus kreatif.[]