Tradisi dan Sajak yang Mengikuti
Membaca puisi yang tayang di harian Kompas edisi Sabtu, 7 Juli 2018, saya disuguhi beragam gaya penulisan sajak, terutama karena dipengaruhi oleh budaya asal penulis itu lahir dan berkreativitas. Kebudayaan tempat penulis lahir dan tumbuh mau tidak mau mengisi ruang kreativitas yang dimiliki seorang penulis. Latar budaya menjadi identitas sekaligus senjata utama alih-alih sebagai kungkungan yang mengurung pencapaian estetik penciptaan puisi.
Sajak pertama yang akan saya periksa berjudul “Ding” karya Pranita Dewi. Perempuan penyair kelahiran Bali. Berikut kutipan sajak “Ding” bagian pertama.
I
Setelah perang terakhir yang gagal dimenangkan
Dan para korban dan pahlawan telah dikekalkan,
Kita beringsut kembali ke sawah dan sanggah,
Kembali ke balik gamelan dan mencoba meredam resah.
Tabuh. Tabuh. Tabuh.
Hanya gong dan kebyar yang mengerti
Peluh dan keluh
Yang kini bermukim dalam diri.
Tetapi hidup terus membukakan pintu-pintu
Menuju tahun-tahun yang tersenyum.
Dan penabuh gamelan itu mengajakmu
Menyambut apa pun yang terangkum
Dalam kejutan-kejutan irama kendang
Dan nyaring ceng ceng yang berkumandang.
Sajak “Ding” ditujukan atau mungkin terinspirasi (keduanya probabilitas) kepada I Wayan Gde Yudane, seorang komponis gamelan Bali. Pada sajak “Ding” bagian pertama, secara alamiah, sajak ini memainkan rima akhir yang cukup ketat, entah itu dengan pola a-b-a-b atau pola a-a-b-b. Sebagai bagian pembuka, bagian pertama sajak ini tidak saja menyuguhkan narasi awal yang ingin disampaikan, namun juga menghadirkan musikalitas sajak dalam tuturan yang sebenarnya cenderung prosais. Hal ini menghidupkan “Ding” sebagai sebuah sajak yang tidak hanya terjebak pada tuturan naratif.
Sementara pada sajak “Ding” bagian kedua, unsur musikalitas seperti pada bagian pertama, tidak lagi hadir sebagai perangkat puitik. Bagian kedua mengabaikan unsur bunyi dalam struktur puitiknya. Bagian kedua lebih banyak didominasi oleh diksi-diksi yang berkelindan dengan tradisi Hindu Bali. Penekanan terhadap unsur isi (tradisi Hindu Bali) mengembalikan sajak ini pada latar budaya penulisnya sendiri.
II
Malam paling sejati di Bali
Adalah ketika kau tak lagi dapat
Menyimak suara orang mekidung
Karena semua penjuru telah diduduki
Senyap yang menekan
Seperti tangan raksasa Yama.
Dan Rangda terbang di atas rumah-rumah,
Sibuk membentangkan padang setra
Hingga ke tepi-tepi Pulau Bali:
Setra yang tetap membentang
Dari pagi ke pagi berikutnya.
Dan orang-orang berjalan
Sambil membayangkan: sejengkal di depan
Adalah jurang.
Dan seekor cicak yang terjatuh tiba-tiba
Terasa seperti peluru buta yang ditembakkan
Untuk siapa saja.
Pada bagian kedua sajak ini, ada kilasan peristiwa yang dihadirkan, di mana penggambaran suasana menjadi dominan. Mengedepankan imaji yang butuh pengetahuan lebih tentang tradisi Hindu Bali. Meskipun imaji-imaji yang dibangun patah-patah dan bisa dimaknai sendiri-sendiri.
Sementara pada bagian ketiga sekaligus bagian terakhir, menjadi semacam ‘kesimpulan’ dari sajak “Ding”. Pertanyaan retoris dan pernyataan aku lirik menjadi akhir yang menutup sajak ini.
III
Timur dan Barat bersatu dalam diriku.
Tetapi yang manakah Timur sebenarnya
Dan yang manakah Barat sebenarnya?
Segalanya membaur dan mengabur.
Satu kakiku menapak bilah-bilah pelog
Dan kakiku yang lain bertumpu
Pada biola, piano, dan cello.
Tetapi ketika penabuh gamelan dalam diriku
Mulai mengayunkan tangannya, yang kudengar
Tetap juga kemeriahan kebyar.
Barangkali seluruh nada dan irama dunia
Kelak akan hadir seluruhnya
Di bale-bale bengong
Sebagai sunyi semata-mata.
Sebagai sajak dedikasi, sajak “Ding” tidak terjebak pada ruang sempit. Sajak ini mampu meluaskan makna pada area yang paling mungkin terjangkau. Tradisi Hindu Bali sebagai latar budaya Pranita Dewi menjadi warna dominan sajak “Ding”, meskipun pada bagian pertama ada upaya untuk mencoba gaya penulisan sajak yang sedikit lebih melayu.
Puisi kedua yang akan saya periksa berjudul “Manuskrip Magrib” karya Ramon Damora. Berikut kutipan utuh sajaknya.
Manuskrip Magrib
– dewanto
merah padam para paya
terjilid pipi tembam surya
kami ngaji sebelum rawatib
o tuan penguji agak karib
apalah aku, paduka berwaham
menyigi ulu rindu nan khatam
terimalah dami kitab menyauh
bekas lindap mawarmu jauh
derak-derak jatayu meretak bayu
tuan cuci kami, borak melayu
puisi ini dulu muda tanggung
iri mencuri ratu lebah jantung
tetaplah di situ seri pujangga
dirgahayu semenggah segala
2017
Seperti sajak “Ding”, “Manuskrip Magrib” juga termasuk sajak yang ditujukan bagi seseorang, dalam hal ini Nirwan Dewanto. Hal ini ditengarai karena larik, iri mencuri ratu lebah jantung, larik ini beririsan dengan salah satu buku kumpulan puisi Nirwan Dewanto berjudul Jantung Lebah Ratu.
Sajak “Manuskrip Magrib” memiliki struktur puitik yang mirip dengan struktur gurindam. Setiap dua larik memiliki rima akhir yang sama. Hanya pada sajak “Manuskrip Magrib” baris-baris tersebut disatukan menjadi hanya satu bait.
Karakteristik sajak dengan bentuk seperti ini memang tidak mudah untuk dimengerti. Sajak “Manuskrip Magrib” adalah tipe sajak yang lebih enak untuk dinikmati. Keindahan pola rima dan pemilihan diksi yang teramat selektif (karena berhubungan dengan pola pembentukan rima) menjadikan sajak ini kaya akan pemaknaan di luar wilayah leksikal kata atau kalimat.
Hal ini berbeda dengan sajak Ramon Damora yang berjudul “Menunggu Pompong”.
Menunggu Pompong
menunggu pompong, menunggu kata-kata. puisi kosong.
jejal manusia. secuil bahasa. ramai orang. sedikit
makna datang. mungkin aku memang bukan penyair.
aku tak hafal tamsil. tak suka mantel. sajakku hanya
menadah lolong bekas kekasihmu. tetumpahan
waktu. menunggu pompong, menunggu omong kosong.
ajaklah aku bicara. kata-kataku riak laut. tak pernah
mampu menjauh dari lumut lengang pelantar. tak pernah
dalam. jangan khawatir. aku tidak berbakat membuatmu
jatuh cinta. tuhanku masih di seberang sana: belum
beranjak dari kunang-kunang bakau yang gugur semalam.
katakan, seberapa besar kemungkinan kau aku ajak kencan.
tak ada sebuah kehilangan pun yang bisa kubanggakan
padamu. jemariku masih utuh menulis hujan rubuh. ajaklah
aku bicara. masih banyak pompong menunggu kita. aku
benci sendiri. aku muak pada ombak yang sering mendesak
darah. menggodaku janji pasang. bahwa semakin pesing
puisimu, semakin berpeluang diterjemah ke bahasa asing.
ajaklah aku bicara. sebelum ini hidupku kacau. terlampau
walau. andai kau tahu. sekarang tiba-tiba aku mengengkau.
2017
Meskipun masih dekat pola persanjakan melayu, sajak ini sedikit lebih naratif. Sajak “Menunggu Pompong” masih menggunakan aku lirik dalam tuturannya, hal ini sedikit memudahkan saat mengikuti kisahan yang ingin disampaikan. Selain itu, ada petunjuk-petunjuk yang memungkinkan pembaca untuk menyelami sajak ini lebih dalam, misalnya pada larik bahwa semakin pesing/puisimu, semakin berpeluang diterjemah ke bahasa asing. Atau pada larik ajaklah aku bicara. sebelum ini hidupku kacau. Terlampau/walau. andai kau tahu. sekarang tiba-tiba aku mengengkau.
Baca juga
– Menerka Gagasan Sajak
– Kelas Sosial dalam Puisi Warih Wisatsana
Dari pembahasan singkat di atas, saya melihat kecenderungan yang dominan dari tiap-tiap penulis. Pranita Dewi, masih setia dengan eksplorasi tradisi Bali dalam sajak-sajaknya. Selain sajak “Ding”, ada juga sajak “Melingkar” yang mengambil dongeng Naga Gombang sebagai sumber ide dan ada sajak “Kusamba” yang terinspirasi dari Perang Kusamba pada tahun 1849 di masa kerajaan Klungkung. Sajak-sajak Pranita Dewi berawal dan berkisar pada kebudayaan Bali yang melingkupinya. Sajak-sajaknya bergerak di antara mitos, sejarah, dan tradisi Hindu Bali.
Sementara Ramon Damora menjadikan identitas melayunya sebagai entitas yang menjelma sebagai ruh sajak-sajaknya. Struktur bentuk puisi lama: gurindam, pantun, syair, dicerap untuk disodorkan sebagai sajak yang segar dalam musikalitas dan berpihak terhadap tradisi melayunya.
Dengan bersandar pada latar kebudayaan masing-masing penulis, baik Pranita Dewi maupun Ramon Damora, mampu melahirkan sajak-sajak dengan karakteristik dan citra yang kuat dan khas, yang akan dengan mudah dikenali dari mana penyairnya berasal.[]