Tokoh-tokoh yang Ganjil
“Aku ingin memahami bagaimana hidup dengan binatang. Binatang hidup dengan binatang. Binatang hidup dengan manusia. Dan manusia hidup dengan binatang.” –Jung
Di Gedung Kesenian Dewi Asri ISBI Bandung, Rabu malam (11/7/2018), sebuah pertunjukan teater digelar sebagai pemenuhan tugas akhir pemeranan oleh Mohamad Chandra Irfan dan penataan artistik oleh Sukma Sugara beserta rekan-rekan. Terinspirasi naskah “The Zoo Story” karya Edward Albee, sang penulis naskah drama kanon, Djoko Quartantyo, dengan kreativitas dan pikiran merdeka yang penuh ilham, terdorong untuk mengubah “The Zoo Story” menjadi lakon baru. Maka, terciptalah lakon “Drama Kanon”.
Dalam naskah asli “The Zoo Story”, lakon hanya menghadirkan dua tokoh, yakni Jerry dan Peter. Namun, dalam “Drama Kanon”, tokoh Jerry menjadi Jung dan tokoh Peter menjadi Patro. Quartantyo pun menambahkan tiga karakter lain, yaitu Pak Tua si penjaga taman, pengamen, dan si pengemis. Dengan dihadirkannya tiga tokoh tambahan ini, absurditas “Drama Kanon” tidak hanya sekadar pikiran tokoh saja, namun juga terwujud di dalam bentuknya.
Julukan teater absurd sendiri diperkenalkan oleh Martin Esslin untuk mengklasifikasi lakon-lakon di Eropa Barat yang muncul sekitar tahun 1950-1960an, dengan sejumlah ciri tertentu. Lakon “Drama Kanon” menghadirkan tema tentang keterkungkungan, kesepian, kesenjangan sosial, kegagalan komunikasi dari ketiadaan makna, dan runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia yang materialistis.
“Drama Kanon” berlatar sebuah taman dengan berbagai lukisan yang mendukung cerita, sebatang pohon, sebuah bangku taman, dan patung rotan yang tidak begitu jelas bentuknya. Waktu berlangsung dari siang sampai sore hari. Para tokoh berpenampilan ganjil, grotesque. Peristiwa dan dialog di dalam lakon berbau humor-ironis.
Lakon dibuka dengan hadirnya Jung, “Kebun binatang…” ucapnya. Kisah kemudian bergulir dengan Jung sebagai seorang penutur kisah yang menguasai jalannya cerita. Kisah yang dituturkan Jung adalah kisah mengenai dirinya.
Wacana mengenai adanya pihak superior dan inferior pun muncul ke permukaan. Seperti halnya seni lain yang mengkritik norma, nilai sosial, dan kemanusiaan. “Drama Kanon” tak luput dari itu. Dengan dihadirkannya si pengemis dan pengamen, menggambarkan bahwasanya di dunia yang penuh aturan ini masih ada orang-orang yang hidup dan berpikir di luar batasan-batasan tersebut. Bahwa tidak semua hal yang berada di luar batasan yang kita buat tersebut aneh atau tidak waras. Tidak. Kita tidak bisa menghakiminya seperti itu. Jika saja orang-orang yang membuat “batasan” tersebut hidup di dunia yang sama absurdnya tanpa ada patokan aturan dan nilai. Semua hal yang kelihatannya “absurd” tersebut adalah sama wajarnya, tergantung dari sisi mana kita melihat.
Setiap tokoh menggambarkan karakter yang berbeda yang berpijak dari realitas sebenarnya. Bagaimana sang tokoh utama, Jung, melihat dunia dari sisi yang berbeda dan meresponnya dengan berbeda pula menjadikan drama ini begitu liar dan berwarna. Kisah Jung yang tidak beraturan menjadi semacam puzzle. Namun, kisah Jung mampu membuat Patro dan Pak Tua ikut terbawa. Kisah Jung mengenai kebun binatang yang tak ada akhirnya seolah menjadi teka-teki.
Saya rasa Chandra berhasil memerankan Jung yang eksentrik, penuh ide liar, dan cerdik. Seperti pada salah satu adegan ketika Jung menceritakan bagaimana ia dirayu oleh seorang perempuan setengah gila yang memelihara anjing yang sama gila dengan majikannya. Jung bercerita bahwa perempuan itu pernah menggagahi dirinya empat kali sampai ia mau mati. Lalu, setiap kali Jung melewati kamar perempuan itu, ia selalu berpose di ambang pintu sambil berkata, “Apa kemarin kau sudah puas?”, dan Jung selalu gemetar sampai terkencing-kencing karenanya.
Tidak berbeda jauh dengan kelakuan majikannya, anjing peliharaan perempuan gila tersebut tidak pernah akur dengan Jung. Ia pernah menggigit kaki Jung hingga berlumuran darah dan tidak pernah berhenti mengganggunya. Sampai suatu ketika, Jung meracuni anjing tersebut menggunakan racun tikus yang ia beli dan dicampurkannya dengan roti. Tentu saja cerita Jung selalu absurd, jenaka, dan liar.
Kemudian Patro, seorang lelaki berusia 40-an yang tidak pernah absen membaca buku di bangku taman itu. Lelaki yang kaku dan selalu gugup. Patro berperan penting menjadi teman bicara Jung. Tak lupa, Pak Tua penyapu taman. Pak Tua tidak memiliki anak, tidak pula menikah. Ia hanya memiliki seorang teman, yakni pohon besar di tengah taman. Pohon tempat ia mengadu kesedihan, kebahagiaan, bahkan hasrat berahinya. Dan dua karakter tambahan, si Pengemis dan Pengamen, yang mendukung sosok Jung sebagai tokoh yang absurd dan mengesampingkan nilai.
Patro dan Jung, dua karakter yang sangat berbeda mulai dari latar belakang, pekerjaan, maupun cita-cita, namun saling melengkapi dan mengkritik satu sama lain. Dari awal hingga akhir cerita, Jung selalu mengganggu Patro hingga ia tampak tertarik dengan kebun binatang Jung. “Drama Kanon” diakhiri dengan pertanyaan Jung, “Sudah kau ketahui seluruhnya tentang kebun binatang itu bukan?”. Itulah kata-kata Jung yang diucapkannya pada Patro setelah keduanya saling membunuh dan sekarat.
Dengan matinya Jung dan Patro, menggambarkan bahwa drama absurd menganut tokoh anti-hero, yaitu ada celah bahwa kematian tokoh utama diinginkan. Sebagaimana Martin Esslin dan Albert Camus, Quartantyo juga percaya bahwa drama absurd tidak menghadirkan emosi yang mengharu-biru maupun air mata penyesalan. Melainkan, menghadirkan sebuah gambaran realitas dunia sejati. Drama absurd menghadirkan tokoh-tokoh yang bebas dan merdeka dari dunia yang dipenuhi keterasingan.[]