Tentang Hewan dan Kemanusiaan
Sering kita jumpai cerita tentang hubungan hewan dan manusia. Cerita semacam ini menggali relasi makna kehidupan manusia pada hewan dan sebaliknya. Akibatnya kita diajak melihat relasi makna kehidupan diantara keduanya. Relasi makna ini tentu saja untuk meninjau keteguhan batas-batas moralitas dan kemanusiaan manusia itu sendiri.
Di dalam cerpen “Laki-laki yang Kawin dengan Babi” karya Mashdar Zainal yang dimuat di harian Kompas, 6 Mei 2018, terdapat satu gambaran sederhana tentang relasi manusia dan hewan. Jujur saja, cerita ini kurang banyak mengolah tegangan konflik kehidupan manusia dengan hewan. Padahal secara judul cerita Mashdar benar-benar menantang batasan hubungan manusia dengan seekor babi.
Bermula dari pertanyaan, mungkinkah seekor babi bisa kawin dengan seorang laki-laki? Kawin secara leksikal berarti persetubuhan tanpa pernikahan. Definisi ini berasal dari fungsi kata kawin sendiri sebagai ciri pembeda manusia dengan hewan. Sebab penggunaan lumrah kata kawin yakni persetubuhan bagi hewan. Ini jelas pilihan kata yang tepat di dalam cerpen untuk memicu bias makna di dalam cerita. Pembaca diajak gamang pada kebenaran dari informasi yang memaparkan bahwa seorang laki-laki telah kawin dengan seekor babi.
Lelaki itu bisa saja dikatakan telah menyetubuhi seekor babi atau menikahinya secara resmi. Di antara kedua pernyataan itu hanya satu kebenaran universalnya. Lelaki itu memiliki masalah penyimpangan seksual. Entah itu secara psikologis maupun moral.
Namun kita diingatkan pada ragam relasi manusia dan hewan lainnya dalam khazanah cerita kita. Misalnya kisah seekor anjing dari Shibuya Jepang bernama Hachiko yang amat setia menunggu majikannya di depan sebuah stasiun. Cinta seekor anjing itu sampai dijadikan sebuah film. Ada konteks yang dibangun dari hubungan hewan dan manusia tersebut. Hubungan anjing dan majikan sebagai sahabat. Lalu anjing dalam kehidupan masyarakat Jepang menempati konteks sosial sebagai hewan peliharaan manusia yang patuh dan setia.
Dari sana dapat kita simpulkan, penunjukan hewan babi dalam cerpen Mashdar tampaknya perlu peninjauan lebih dalam. Relasi makna dalam konteks budaya seperti apa yang diolah Mashdar terkait pilihan babi tersebut. Sebab setiap hewan menempati konteks budaya yang erat kaitannya dengan pemaknaan manusia atas hewan tersebut.
Antara Bahasa dan Peristiwa
Sejak mula cerita, Mashdar mengajak pembaca pada kondisi penting, yakni pertemuan antara manusia dan babi. Pertemuan mereka diceritakan dalam satu logika umum dimana lelaki itu heran dan kemudian menangkap babi itu untuk dijadikan ternak. Ia membawa babi itu ke teritis belakang rumah, menatapnya dengan penuh rasa haru. Seakan kasihan, atau bahagia karena telah mendapatkan berkah berupa babi betina yang gemuk. Hanya satu keganjilannya, babi itu tidak melawan saat ditangkap, babi itu disebutkan melenggang tenang, seolah merelakan dirinya ditangkap.
Porsi cerita selanjutnya berkembang pada medan sosial yang kemudian memaparkan kondisi lingkungan dan karakterisasi tokoh. Terutama penekanan pada kondisi persoalan tokoh lelaki yang belum juga menikah padahal umurnya hampir 40 tahun. Ia masih senang bermain dengan anak-anak di bawah umurnya sementara lelaki seumurannya telah banyak yang memiliki anak.
Para tetangga menganggapnya sebagai bocah yang mengidap keterbelakangan, tapi ibunya yang aroma tanah itu tidak pernah sepakat. Di mata ibunya, ia tetap sosok lelaki yang bisa menjadi gagah, yang pantas menikah, memiliki anak, dan bekerja sebagaimana lelaki dewasa pada umumnya. Selalu saja ada angan-angan berkelebat di kepala perempuan kelewat tua itu, angan-angan yang tak pernah berganti dari tahun ke tahun, sampai tubuhnya kisut dan menua seperti itu. Sebuah kenyataan, bahwa anak lelakinya telah menjadi perjaka tua, tidak pernah diterimanya.
Ibu menjadi celah dari penceritaan tentang si lelaki ini. Ingatan Ibu melambung membayangkan kondisi si anak yang terus membujang. Teknik pembayangan dari sosok Ibu untuk anaknya ini dinilai baik. Dari satu peristiwa penangkapan babi hingga pelaporan penangkapan tersebut pada Ibunya, membuat pembaca diajak mengenal siapa lelaki tersebut. Hingga seorang Ibu merespon tindak tanduk lelaki itu dengan peristiwa yang menarik berikut ini.
Selepas bujangnya bilang, di dalam kandang ayam ada babi betina, ia melontarkan kata-kata di ambang sadar, serupa doa (atau kutuk?), “Nikahi saja babi betina itu!” dan selepas itu, ia terpeleset di muka pintu dapur, tak bisa bangun selama hampir seminggu, lalu mengembuskan napas terakhir, dengan ingatan timbul tenggelam, bahwa bujangnya yang seorang itu sudah menikah dan hidup bahagia. Entah menikahi siapa. Menikahi anak gadis tetangga, menikahi seorang janda, atau barangkali menikahi seekor babi betina.
Satu paragraf di atas merangkum satu peristiwa kunci. Ibu kesal dan ucapannya menjadi titik bagi arus kesadaran tokoh lelaki. Peristiwa ini dirasa logis menjadi titik pijak mulanya persoalan cerita sebab ucapan seorang Ibu bisa dikatakan sebagai doa. Selain itu, ucapan Ibu tersebut dalam ilmu psikologi bisa disebut ujaran persuasif yang menekan tokoh lelaki. Terlebih kemudian diceritakan si tokoh lelaki ini mengalami kesedihan yang berat setelah Ibunya meninggal dunia.
Saya kira pilihan kata dan peristiwa seperti di atas menjadi keunggulan dari cerpen Mashdar Zainal ini. Ada peran efektifitas peristiwa dan bahasa yang dibangun dalam satu kerangka yang memicu imajinasi pembaca. Semisal pada adegan pertama dimana seekor babi terlihat seperti pasrah ditangkap sebagai kontak pertama lelaki dengan babi. Lalu ujaran kekesalan Ibu pada anaknya yang kemudian disusul kematian si Ibu, menjadi landasan logika perkawinan si lelaki dengan babi.
Diceritakan kemudian si babi memiliki anak. Hal ini tentu saja ganjil bagi warga mengingat babi tersebut hanya seekor saja dipelihara si lelaki. Di sini persoalan baru itu muncul. Persoalan yang menempatkan si lelaki menghadapi paradigma masyarakatnya. Selain itu, dikisahkan pula bagaimana psikologis tokoh lelaki berkembang pada paradigma yang tidak wajar.
Para tetangga tak begitu peduli, tak ada yang berminat datang ke rumahnya lagi semenjak ibunya tak ada, kecuali untuk membeli telur ayam kampung sesekali. Saat para tetangga mampir ke rumah untuk membeli telur itulah, ia mengoceh panjang perihal babi betina yang mendatanginya beberapa waktu silam itu. Ia bilang, babi itu adalah babi kiriman Tuhan. Babi betina itu pandai sekali, tidak pilih-pilih makanan, kalau berak bisa pergi ke kakus sendiri. Dan babi itu tampak begitu lucu mengenakan kebaya hijau pupus milik mendiang ibunya. Dan lagi, semenjak kedatangan babi betina itu, ayam-ayamnya semakin rajin bertelur.
Orang-orang tak pernah menggubris omongannya. Kedatangan mereka hanya untuk telur ayam kampung. Sudah. Yang lain tak usah digubris. Isi kepala orang idiot memang bisa macam-macam, pikir mereka.
Persepsi masyarakat pada keganjilan tersebut diredam oleh pemakluman mereka pada kondisi si tokoh lelaki yang dinilai bermasalah sejak awal. Persoalannya, di dalam cerpen ini kisah diakhiri oleh sikap masyarakat melakukan penghakiman sepihak dengan membakar rumah si tokoh lelaki. Hal ini terkesan terlalu cepat dan terburu-buru.
Dari hari ke hari, menyundul bulan, ayam-ayamnya semakin babar. Dan rumahnya semakin gondrong oleh semak dan dahan-dahan pohon yang tak pernah dipangkas. Setelah ibunya meninggal, tak ada lagi yang menyuruhnya memangkas dahan pohon. Dan ia sendiri tak berminat berurusan dengan selain ayam-ayam dan seekor babi.
Sebuah kabar ganjil datang dan menyebar kemudian, ketika seorang tetangga datang membeli telur dan melihat babi betina itu telah menyusui delapan anak babi. Merah, mungil, mendekam, dan berdesakan. Maka seperti bau, warta itu menyebar dibawa angin dari satu mulut ke dua mulut lalu ke puluhan mulut dan seterusnya.
Kondisi psikologis tokoh tidak dijabarkan. Persepsi rumahnya makin tak terurus. Itu pun dari persepsi masyarakat. Perhatian pembaca langsung dialihkan pada penjabaran dari luar. Ini dinilai sebagai tawaran teknik cerita yang baik mengingat ada misteri yang tak kunjung terpecahkan, yakni misalnya apakah tokoh lelaki ini benar-benar memiliki gangguan mental? Apakah tokoh lelaki ini benar mengawini seekor babi? Tidak ada penggambaran tokok lelaki itu lagi. Selain masyarakat menganggapnya gila dan kawin dengan babi, sebab melihat babi itu hanya seekor tetapi kemudian bisa beranak pinak.
Cerita dialihkan lebih jauh lagi pada persoalan kemarau yang menerjang kampung. Masyarakat kemudian menyalahkan kelakuan si tokoh lelaki itu dan memutuskan untuk menghakiminya dengan membakar rumah dan seluruh ternaknya.
Ia tak begitu paham, apa yang sebenarnya diinginkan orang-orang itu. Ia semakin tak paham. ketika orang-orang itu menutup pintu serta jendela rumahnya dari luar, lantas menyodorkan oncor dan menjentikkan api pertama.
Rumah itu mulai dijangkiti api. Dan ia hanya bisa menangis, meronta-ronta di antara cengkeraman orang-orang. Anak babi di tangannya terlepas dan kabur entah ke mana. Ketika api mulai membesar, merambati dinding dan atap rumah, ia menjerit-jerit. Menggelongsor di tanah. Berguling-guling. Seperti bocah cilik yang direbut mainannya. Ia tak sampai hati membayangkan babi-babi dan ayam-ayam kesayangannya itu berlari kalang kabut, kepanasan, dan sesak oleh asap. Ia tak kuasa membayangkan binatang-binatang lucu dan tak berdosa itu bakal terpanggang hidup-hidup.
Tokoh lelaki itu hadir kembali di dalam cerita dalam kondisi dihakimi. Tampak bagaimana bahasa cerita yang menyatakan ia tak paham begitu ambigu. Antara kebingungan sejati karena senyatanya ia memang tak gila dan babinya sejak mula datang ke rumahnya memang tengah mengandung anak, atau bingung karena lelaki itu benar-benar terkena gangguan mental. Pilihan bahasa dan peristiwa ini tampak sangat menarik.
Baca juga:
– Variasi Cinta “Opera Sekar Jagad”
– Permainan Persepsi Putu Wijaya
Namun, jika misalnya kehadiran masyarakat di dalam cerita ini amat penting perannya. Bahkan misalnya merupakan kunci dari cerita, maka perlu ada penggambaran kondisi masyarakat itu sejak awal. Sehingga betapa tampak krisis kemanusiaan yang dijangkit oleh masyarakat tersebut. Misalnya ada penggambaran sejak awal bagaimana sikap masyarakat pada warganya yang memelihara babi. Apakah lumrah memelihara babi? Jika lumrah maka perlu rasionalitas lain sehingga ketika babi itu beranak pinak, sentimen masyarakat tidak langsung merujuk pada penyimpangan seksual tokoh lelaki pada babi.
Pada akhir cerita di bawah ini, tampak upaya Mashdar menghadirkan krisis kemanusiaan. Tidak ada manusia yang dibakar hidup-hidup di dalam cerita ini, tetapi membakar hewan hidup-hidup dengan mengatasnamakan Tuhan tampaknya menjadi paradoks cerita yang kuat.
Di atas rumah yang terbakar itu, langit hitam menjadi merah. Sementara, teriakan orang-orang kian meraja, menyerukan nama Tuhan berulang-ulang. Di antara gumpalan asap yang melambung, bergulung-gulung, ia seperti melihat begitu banyak gambar. Babi-babi yang beterbangan, ayam-ayam yang meluncur, juga wajah marah ibunya.