Saatnya MSB dan ASAS Kembali ke Lembar Kosong
Kesempurnaan sebenarnya konspirasi spirit untuk terus bergerak. Namun, hari ini lebih sering dimanfaatkan dunia kapitalis. Dijadikan psikologi masal lewat iklan-iklan. Belum sempurna apabila belum punya handphone terbaru, motor, mobil, tempat tinggal yang bagus. Bahkan, adapula dengan memutihkan kulit, melangsingkan, memperbesar payudara dan pinggul. Menata rambut, baju, sandal, dan sepatu. Kapitalis pandai membaca psikologi manusia timur, terutama Indonesia. Lebih spesifiknya Jawa Barat.
Jawa Barat menurut saya berada pada fase setengah timur dan setengah barat. Modern tapi konservatif. Hal ini terjadi pula pada karya-karya yang muncul di media serta buku-buku sastra baru yang terbit.
Hal tersebut terjadi pula pada makna yang disampaikan oleh penulis. Penulis seakan membaurkan makna yang sangat kompleks. Sehingga apa yang ingin disampaikan oleh penulis tidak sampai kepada pembaca. Ketidaksampaian komunikasi ini pengaruh dari ketidakpahaman seorang penulis atau pengaruh teks yang super aktif di hadapan kita. Seperti yang tadi saya jelaskan di awal.
Kontruksi makna vs penghayatan
Makna yang seharusnya dapat menerangkan pembaca terhadap suatu konteks yang dialami seorang penulis jadi njelimet karena pengaruh pola pikir yang setengah matang. Artinya, ada ketidakjelasan konsep seorang penulis pada karya yang diciptanya.
Penulis memiliki cara pandang, serta kebebasan mengungkapkan suatu hal. Bahkan, membuat baik menjadi buruk serta sebaliknya. Namun, saya beranggapan kebebasan yang dimiliki oleh seorang penulis menjadi beban untuk penulisnya sendiri (seperti yang tidak paham dengan maksud kebebasan tadi). Akhirnya, para penulis menjadi follower-follower kecil pendahulu-pendahulunya.
Saya tidak berharap seorang kritikus sastra yang kuat seperti HB Jassin muncul kembali, dengan alasan pembaca sekarang sudah cerdas, katanya. Bisa jadi memang, pembaca sekarang lebih cerdas dari penulisnya. Akan tetapi, dengan keadaan sastra yang luar biasa cepat perkembangannya (perkembangan versi saya: perkembangan dunia sastra maju karena banyak para penulis bermunculan di media sosial serta buku-buku terbitan baru).
Saya menaruh kecurigaan terhadap generasi sekarang minim imaji serta penghayatan. Mereka lebih memunculkan sudut pandang serta kebebasan tadi. Sehingga makna yang muncul bukan dari reduksi imaji serta penghayatan. Melainkan dari sekilas pandangan terhadap satu objek yang dilihatnya. Makna menjadi blur.
Apabila ada orang yang beranggapan, “Apa sih pentingnya makna?”
Maka, saya bertanya kembali pada orang tadi, “Apa sih pentingnya teks?”
Sebab, ketika orang beranggapan bahwa makna tidak penting, maka orang tersebut tidak berpikir tentang teks (bahasa). Bagaimana dapat berbicara serta berkomunikasi kalau orang tersebut mengabaikan makna. Betapa penting makna pada sastra.
Di Bandung, ada tradisi riungan sastra di luar kampus, Majelis Sastra Bandung (MSB). Saya tidak melihat adanya keseriusan menggali lebih dalam wilayah sastra serta budaya pada ruang tersebut. Yang terjadi menjadi ruang silaturahmi serta perayaan. Saya tidak menapikan silaturahmi, bahkan saya senang dengan itu. Kata “majelis” mempunyai arti yang berat menurut saya. Majelis adalah dewan yang mengemban tugas tertentu. Nah, ini yang diembannya adalah sastra. Bagaimana kalau diganti saja menjadi Majelis Apresiasi atau Majelis Silaturahmi agar tugas yang diembannya tidak terlalu berat.
Setelah enam tahun berkegiatan, seharusnya MSB dapat melakukan kajian-kajian sastra serta memunculkan penulis serta kritikus yang betul-betul kuat. Karena potensi sumber daya manusia serta ruang komunitas ini tidak pernah kekurangan. Itu modal utama MSB.
Ada pula Arena Studi Apresiasi Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (ASAS UPI), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang masih intens serta eksis dalam percaturan sastra di Jawa Barat bahkan nasional. Diskusi Reboan menjadi arena kajian anggota ASAS serta mahasiswa pecinta sastra. Diskusi Reboan menjadi arena beradu pengalaman serta pengetahuan. Betul-betul menjadi ruang intelektual. Banyak para penulis yang lahir dari ASAS.
Diskusi Reboan sebagai ruang beradu intelektual para anggota ASAS tidak tercermin pada karya-karya anggotanya. Khususnya, anggota kekinian. Saya tidak merasakan adanya ketegangan yang luar biasa terhadap suatu objek (bisa masalah juga isu). Seakan mereka sibuk serta berkutat dengan dunianya sendiri. ASAS punya potensi yang luar biasa, tidak pernah tidak berkecukupan. Sayangnya, sepertinya ASAS terlalu bertahan di zona nyaman
Pertanyaan saya, “Apakah orang ‘intelek’ tidak butuh penghayatan?”
ASAS serta MSB adalah ruang sastra yang dapat dikatakan sangat aktif di Bandung. Siapa yang tidak kenal dengan kedua komunitas ini. Harusnya kedua komunitas ini dapat menjadi portal sastra. Setidaknya bagi anggotanya. Lantaran, maraknya penulis harus diimbangi bekal yang kuat.
Kembali pada kesempurnaan yang saya sampaikan di atas. Setidaknya, makna menjadi spirit renungan untuk para penulis dalam mengungkap suatu kebenaran yang dialami olehnya. Lebih jauhnya, memberikan satu paradigma terhadap bahasa masyarakat yang luar biasa puitis (saya menganggap bahasa keseharian sekarang sudah puitis. Terutama pada wilayah iklan, serta imbauan-imbauan).
Kapitalis pandai membaca keadaan serta memutarbalikan keadaan. Apakah para penulis akan kalah dengan tim kreatif iklan pada wilayah persuasif? Apakah para penulis sengaja menyesuaikan dengan keinginan media (dimana keinginan media adalah kepentingan pasar)?
Saya berharap kepada ASAS serta MSB dapat menjadi portal sastra, terutama untuk anggotanya.
Catatan ini saya tulis, karena saya mencintai dua komunitas yang sampai sekarang masih aktif. Mumpung masih dalam momentum Idul Fitri, saya juga mengajak kepada dua komunitas ini serta anggotanya kembali pada fitrah (kembali ke lembar kosong), memulai aktivitas sastra secara khusyuk.
Tidak lupa saya ucapkan, mohon maaf lahir dan batin.[]