Reka Ulang Sebuah Narasi
Preambul
Sebuah sajak tidak berdiri dengan sendirinya, ia ditopang oleh teks-teks sebelumnya hingga menciptakan keutuhan yang baru. Julia Kristeva dalam Okke K. S. Zaimar menyatakan bahwa suatu teks merupakan jawaban teks lainnya. Dengan membaca teks sastra yang telah ada sebelumnya atau yang sezaman dengannya, pengarang hidup dalam sejarah dan masyarakat pun terpantul dalam teks.1
Michael Riffaterre menyebut teks yang menopang sebuah sajak sebagai hipogram. Hipogram sendiri tidak selalu berbentuk teks secara eksplisit, namun bisa juga hasil dari pengabstrakan inti teks atau kata kunci. Maka hipogram dapat juga berupa presuposisi atau segala bentuk aplikasi makna kebahasaan.2 Hal ini dapat dilakukan oleh pengarang baik secara sadar ataupun tidak.
Ketika kita membaca sebuah sajak, kita memilin teks dalam sajak dengan khazanah pengetahuan kita. Interpretasi sebuah sajak tergantung dari pengetahuan pembaca akan teks atau konteks yang menopang sajak.
Berdasarkan pemahaman di atas, saya mencoba untuk menginterpretasi dan membaca teks yang menopang sajak-sajak yang tayang di Kompas tanggal 17 Februari 2018. Tiga penyair yang sajak-sajaknya tayang ialah Indra Tjahyadi, Marhalim Zaini, dan Dadang Ari Murtono.
Narasi Perkotaan
Kecenderungan sajak-sajak yang tayang di Kompas tanggal 17 Februari adalah pembentukan ulang berbagai narasi. Narasi itu diolah oleh penyair dari berbagai teks yang telah ada, meskipun akhirnya narasi dalam sajak merupakan hasil dari pengolahan subjektif penyair yang hadir dari sudut pandang sempit aku lirik.
Narasi tentang hari dihadirkan dalam sajak “Mitos Hari-hari” karya Indra Tjahyadi. Sajak ini berisi tujuh fragmen berdasarkan nama-nama hari. Menurut Zaimar, mitos adalah suatu nilai yang tidak memerlukan kebenaran sebagai sanksinya. Tak ada yang tetap dalam konsep mitos. Konsep ini dapat berubah, dapat dibuat kembali, dan dapat terurai atau sama sekali hilang.3 Saya mengartikan mitos dalam sajak ini sebagai beban narasi yang telah ada dan disematkan sesuai dengan konteks hari dalam sajak tersebut.
Narasi yang membebani hari dibatasi oleh sudut pandang aku lirik terhadap lawan bicaranya. Misalnya dalam fragmen Senin, terdapat kalimat Aku berbicara dengan langit dengan kekosongan dan Senin yang membara membakar kulitmu perempuan.
Dalam sajak ini, diksi kerja hadir sebanyak tiga kali, yaitu pada fragmen Senin, Kamis, dan Minggu. Konteks yang hadir dari diksi ini tentu berbeda. Pada fragmen Senin, kerja hadir dalam kalimat Kekurusan apakah yang membawamu pada kerja pada keriuhan hidup dan sunyi benda-benda?. Kerja yang dibangun hadir dalam kalimat pertanyaan dari aku lirik. Aku lirik seakan ingin mencari tahu apa yang ingin dicari oleh perempuan itu saat bekerja. Sedangkan saat bekerja, yang ada hanyalah keriuhan hidup dan sunyi benda-benda. Kekurusan di sini dapat diartikan sebagai kekurang-mapanan si perempuan. Sedangkan sunyi benda-benda dapat diinterpretasikan sebagai keterasingan si perempuan karena ia menjalani rutinitas tanpa bisa merealisasikan dirinya, maka benda-benda dianggap sebagai sesuatu yang sunyi atau tidak bermakna.
Diksi kerja dalam fragmen Kamis hadir dalam kalimat Ini wajah, rabalah, rasakan kerja yang suntuk, pipi yang kering, yang meretak dalam kerontang dan hati sedih, bibir yang asat yang surut ke dalam pendiaman dan cumbu yang letih, bahkan ketika hari telah jatuh Kamis, dan orang ramai sibuk memberi nama pada sengit kemarau dan terik yang ritmis.. Kerja dalam fragmen ini menggambarkan kelelahan setelah melewati hari-hari dengan bekerja. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya isotopi kelelahan, semisal suntuk, kering, kerontang, dan surut.
Sedangkan dalam fragmen Minggu, terdapat diksi kerja dalam kalimat Kucari sejenak istirah, namun perih apakah yang menenggelamkanmu dalam sunyi dalam hibuk kerja dan mimpi tiada.. Di saat aku beristirahat di hari Minggu, perempuan itu justru tetap pada kehibukan pekerjaannya. Seakan bekerja adalah satu-satunya cara agar ia tidak merasakan keperihannya. Pada saat yang sama, perempuan itu tenggelam dalam kesunyian dan tidak ada sesuatu yang ia kejar (mimpi tiada).
Dalam sajak ini, saya melihat narasi tentang keterasingan dari pekerjaan merupakan narasi yang dominan. Keterasingan atau alienasi ini pernah disinggung oleh Karl Marx bahwa dalam sistem kerja kapitalis, pekerjaan tidak lagi menjadi sarana perealisasian diri manusia, tidak ada kepuasan yang didapatkan oleh pekerja, khususnya bagi para buruh.4 Keterasingan terhadap kehidupan perkotaan dalam sajak juga dapat dibaca di “Aku Lirik yang Teralienasi”.
Narasi Keagamaan
Dua sajak Marhalim Zaini berjudul “agama ikan” dan “agama sungai”. Agama, dalam KBBI, bermakna ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dan lingkungannya.5 Agama dalam sajak-sajak tersebut tidak langsung saya artikan dalam makna yang sempit, makna yang hanya mengacu pada satu kepercayaan yang telah ada atau diakui masyarakat.
Dalam sajak “agama ikan”, narasi keagamaan dihadirkan dalam bentuk alegori. Aku lirik berperan sebagai ikan. Dalam bait pertama, ia bersenandika bahwa aku tidak pernah tidur,/tapi aku bukan tuhan., namun terdapat paradoks pada bait terakhir yaitu dan karena aku bukan tuhan,/aku tidur dengan mata terbuka.. Diksi tidur dalam larik pertama, saya interpretasikan sebagai kegiatan fisik, yaitu bahwa ia tidak pernah tidur, hal ini dijelaskan pada bait ke tujuh bukan. mata bukan air, dan air/bukan mata yang tak bisa tidur., sedangkan tidur dalam bait terakhir mempertegas bahwa ia bukan tuhan, ia harus tertidur meskipun dengan mata terbuka. Kesadaran ikan ini dilandaskan pada suatu teks keagamaan yang berbunyi Allah tidak mengantuk dan tidak tidur.6
Sajak “agama sungai” memiliki bentuk yang berbeda, bukan sungai yang bersenandika tentang agamanya, namun agama sungai dijelaskan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di atasnya. Hal ini dapat dilihat dari deiksis ia yang terpisah dengan sungai. Berbeda dengan sajak sebelumnya, sungai dalam sajak ini diceritakan sebagai subjek yang pasif dan pasrah, semisal dalam larik luka robek makin menganga. tapi sungai ini, diam saja/seperti seseorang yang terbujur, terpiuh di ujung nyawa..
Dalam larik sebab sungai memilih menjadi ibu. ibu yang sudah tak lagi/mencuci rambutnya, sejak punggung sejarah menghadap kota. digambarkan bahwa sungai tak lagi mencuci rambutnya yang menyebabkan keberadaannya semakin kotor atau hancur, Hal tersebut disebabkan punggung sejarah menghadap kota, yaitu kehidupan perkotaan tidak lagi menjaga keberadaan sungai karena masyarakat mulai melupakan sejarah bahwa sungai pernah berperan dalam kehidupan di masa lalu. Saya membaca kepasrahan sungai ini didasarkan pada teks keagamaan yang menyebutkan bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan pada alam dan saling membunuh sesamanya.7
Narasi keagamaan dari dua sajak tersebut dibawakan dengan cara berbeda. Sajak “agama ikan” merupakan alegori kesadaran bahwa ia tidak bisa menyamai Tuhan, sedangkan sajak “agama sungai” merupakan kepasrahan sungai yang akhirnya akan memusnahkan segala kehidupan, tapi tepi dan pagi, adalah juga birai pada kain, yang ia dengar/hanya sengal gelombang, di ujung gaung sebuah zaman..
Narasi Sejarah
Dua sajak terakhir adalah karya Dadang Ari Murtono yang berjudul “Dung Kayangan” dan “Gua Jepang”. Dua sajak ini berlandaskan narasi sejarah pada suatu daerah. Penyair mengolah pengetahuannya dan mereka sebuah narasi baru dalam sajaknya.
Dung Kayangan atau Kedung Kayang adalah sebuah air terjun yang kini menjadi destinasi wisata di Jawa Tengah. Jawa Tengah merupakan salah satu tempat pembantaian massal yang dilakukan rezim otoriter Soeharto. Mayat para korban pembantaian tersebut beberapa dibuang ke sungai.8 Narasi inilah yang diteruskan dan direka oleh penyair dalam sajak “Dung Kayang”, hal ini dapat dibaca pada larik kadang, dari balik batu, ia melihat dua pemancing /tua, yang kerap bernostalgia: di sini, bertahun-tahun/lampau, kita menjaga republik dan membantu tuhan/dengan menjagal kaum-kaum kiri.
Ia dalam sajak “Dung Kayang” adalah salah seorang korban pembantaian tersebut, ia tahu, salah satu dari mereka pernah membenamkan/sabit di punggungnya yang telanjang,. Ia, yang pada awalnya manusia, meneruskan hidup pada seekor gabus yang memakan bola matanya, namun suatu waktu gabus itu diterkam oleh seekor ular, hingga pada akhirnya ia mengulang nasibnya yang awal yaitu dibunuh oleh orang yang pernah membunuhnya saat masih menjadi manusia. dan pada suatu sore, pemancing itu pulalah/yang menimpuknya dengan sebongkah batu,/ketika ia melata di tepi, demi sedikit cahaya/matahari.
Saat kematiannya yang terakhir, diceritakan tidak ada yang memakan bangkainya. Hal ini berarti ia tidak dapat meneruskan hidupnya. Namun, ia tertolong oleh seorang penyair yang menyadap kisahnya dan membuatnya abadi dalam puisi, tak ada yang memakan bangkainya, namun/seorang penyair telah menyadap kisahnya,/dan dalam puisi itu, ia kekal, meski ia tak/pernah menyadarinya.
Sajak “Gua Jepang” menceritakan sebuah narasi sejarah tentang keberadaan harta karun yang disembunyikan oleh tentara Jepang. Harta tersebut menjadi perkara hukum internasional yang kompleks.9 Bahkan warga Jepang sendiri tidak mengetahui letak keberadaan harta tersebut, dan karenanya, para ahli waris/senantiasa hanya sanggup berziarah ke/dalam kenangan.//kenangan berwarna abu-abu.
***
Tiga penyair di atas, baik secara sadar ataupun tidak, telah mengaitkan sajak-sajaknya pada sebuah teks yang telah hadir sebelumnya. Hal ini berlaku juga pada sajak dari penyair lain. Sajak tidak akan bisa berdiri dengan sendirinya. Topangan teks lain, baik secara eksplisit maupun implisit, akan memperkokoh bangun sajak sebagai teks yang baru.
Pemaknaan sajak tentu akan sangat berbeda dari satu pembaca ke pembaca lain, hal ini merupakan pengaruh dari pengetahuan budaya yang dimiliki pembaca. Pada akhirnya, sebelum menikmati sebuah sajak, penting kiranya untuk memahaminya terlebih dahulu. Semoga ulasan ini dapat membantu anda agar lebih menikmati sajak-sajak tersebut.[]
1 Lihat buku Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra karya Okke K. S. Zaimar (2008) halaman 52.
2 Disarikan dari buku Teori dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre karya Dr. Rina Ratih, M.Hum. (2016) hal 7-8.
3 Lihat buku Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra karya Okke K. S. Zaimar (2008) halaman 60.
4 Disarikan dari buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (2016) karya Franz Magnis-Suseno halaman 99.
5 Lihat KBBI edisi V (luring).
6 Lihat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 255.
7 Disarikan dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 30.
8 Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965-1966
9 Lihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Emas_Yamashita