Realitas dalam Etalase
Hari ini, kehidupan kita ditentukan dari isi kiriman dalam media sosial, begitupun dengan kebahagiaan. Hanya dengan rajin mengisi timeline akun media sosial dengan foto sumringah atau kata-kata yang menunjukkan kebahagiaan, kita sudah terlihat sebagai orang yang berbahagia. Teman-teman dan para pengikut akun media sosial kita tidak perlu tahu bahwa di balik foto sumringah tersebut ada badan yang terbakar karena hiruk-pikuk kehidupan. Di balik kata-kata bijak yang kita kirimkan ada jiwa yang kesepian. Begitulah makna hidup yang kompleks terepresentasikan secara sempit dan semu.
Fenomena tersebut tentu bukan hanya terjadi kepada satu-dua pengguna media sosial. Karenanya, akan sangat menarik ketika fenomena tersebut dijadikan ide sebuah cerita. Gita Pratiwi berhasil menuliskannya ke dalam cerpen berjudul “Etalase” yang dimuat HU Pikiran Rakyat, 25 Maret 2018 lalu.
Melalui tokoh Aku bernama Vin, Gita Pratiwi meminjam realitas yang up to date sebagai isu dalam cerpen “Etalase”. Tentu ini adalah langkah segar dalam karya sastra, sehingga karya ini bisa dinikmati oleh generasi muda, yang katanya nilai minat membaca sastranya rendah. Mereka yang sudah bosan dengan cerita-cerita bertema perjodohan, si kaya dan si miskin, dan tema-tema kolot lain yang memenuhi dunia sastra kita, mungkin akan tertarik membaca cerpen ini.
Diceritakan bahwa Vin adalah seorang selebgram atau selebritas instagram yang sedang naik daun. Banyak barang yang harus dia ulas, mulai dari pakaian, dompet, tas, sepatu, makanan, alat makan bahkan alat mandi. Terakhir, dia harus mengulas kue yang dikeluarkan artis-artis papan atas yang menurutnya tidak enak tapi harganya selangit.
Etalase yang dimaksud dalam cerpen ini adalah kumpulan foto pada akun platform instagram. Kumpulan foto tersebut merupakan daftar barang-barang yang dapat dibeli oleh masyarakat.
Pada hari yang nahas, sebelum Vin kedatangan tamu tak diundang, dia mendapatkan telepon dari Emaknya di kampung. Setelah berbasa-basi saling menanyakan kabar, Emak meminta Vin untuk membantu tetangganya yang ingin ikut umrah bersama Emak, tapi tabungannya tidak cukup untuk membayar ongkos. Vin menyanggupinya, toh ongkos Emak dan keluarganya ditanggung agen travel sebagai ucapan terima kasih atas jasa Vin mengiklankan layanannya. Setelah memastikan Vin untuk segera mentransfer, telepon terputus.
Vin mengambil HP lain dan terkejut mendapat pesan dari Meyla, asistennya, bahwa Vin termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Vin membereskan sisa-sisa heroin yang baru saja dia hisap sebelum berteleponan dengan Emak. Tak lama kemudian, datang polisi yang menemukan stok heroin yang lupa Vin sembunyikan.
Vin menitipkan permohonan maafnya kepada teman-teman manajemen setelah dia resmi ditahan. Meyla menyesal dia tidak bisa menemani Vin yang kesepian. Rasa kesepian inilah yang menyebabkan Vin menggunakan heroin sebagai pelarian diri dari masalah-masalahnya.
Namun miris, selama perjalanannya ke kantor polisi, yang ada dalam pikiran Vin justru tanggung jawabnya terhadap beberapa online shop yang terlanjur membayar penuh untuk dijadikan objek dalam etalase instagram.
Di mobil aku duduk di kursi belakang kemudi, diapit dua petugas perempuan. Dalam hati aku mengingat sejumlah toko daring yang sudah membayar sejumlah uang untuk postinganku selama satu bulan ke depan, yang berharap aku tetap menjalani peranku meski dalam penjara. Sebagai sebuah etalase.
Vin adalah gambaran realitas yang dengan gampang kita temukan pada sosial media. Dengan wajah bersih mulus, badan semampai aduhai, dan terutama pintar berkata-kata, seorang perempuan mudah untuk menjadi selebritas dadakan. Antrean produk yang kebanyakan tidak diingankan dan tidak terpakai, tak bisa dihitung lagi. Dengan itu semua, followers Vin mengganggap kehidupannya begitu mudah dan menyenangkan. Padahal dibalik kebahagiaan yang semu itu, Vin sangat kesepian. Dan dalam kehidupan nyata, anggapan tersebut sering menghinggapi pikiran kita ketika melihat postingan media sosial selebritas.
Baca juga:
– Menggali Tema Cinta dalam Cerpen
– Membaca Cerpen Inspiratif
Cerpen “Etalase” menunjukkan banyak realitas di sekeliling kita yang luput dari pandangan. Kita sibuk mengingat-ingat realitas yang lalu dan mengandai-andaikan realitas yang belum terjadi. Padahal di sekeliling kita, pada masa kini, berseliweran realitas yang bisa dijadikan ide segar. Hal tersebut juga dilakukan Yusi Avianto Pareanom dalam cerpennya yang berjudul “Muslihat Musang Emas dan Elena.” Dengan menggambarkan kehidupan kaum urban di Jakarta, Yusi mengangkat isu transgender sebagai ide cerpennya. Cerpen “Etalase” dan “Muslihat Musang Emas dan Elena” dengan gaya ironisnya berhasil membuat kita menertawakan diri sendiri yang naif dan gampang percaya. Seperti yang tergambar dalam penggalan cerpen keduanya,
Konon, citra baik itu juga hadir setelah aku pernah memiliki kekasih aktor film yang juga bercitra salih. Tentu saja ia dicap demikian, karena sejumlah karakter yang ia perankan adalah ustaz atau ayah yang baik. Namun, hanya aku dan beberapa orang terdekatnya yang bisa membuktikan, di balik layar ia tidak sesalih itu. (Etalase, Gita Pratiwi)
Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia benar-benar sudah jatuh hati sejatuh-jatuhnya. Ia pertama kali melihat Elena sebagai perempuan. Dan, memang kenyataannya Elena seorang perempuan, bukan? Ia meyakin-yakinkan dirinya lagi dengan pemikiran bahwa semua orang membawa sejarahnya masing-masing. Memangnya siapa pula ia yang boleh menghakimi seseorang? (Muslihat Musang Emas dan Elena, Yusi Avianto Pareanom)
Selain itu, pengambilan ide cerpen “Etalase” dapat kita sandingkan dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul “Bunyi Hujan di Atas Genting”. SGA, melalui cerpen tersebut menggambarkan realitas politik pada tahun 1985, saat terjadinya operasi rahasia menumpas premanisme. Saat itu, sedikit penulis yang mau mengambil realitas tersebut untuk dijadikan ide dalam karya-karyanya.
Meski tentu saja, realitas yang diambil Gita Pratiwi dan SGA sangat berbeda, tetapi kesadaran dan kepekaan keduanya terhadap realitas bisa disandingkan. Saat kebanyakan orang terlena dengan realitas tersebut, Gita justru peka dan mau menggambarkannya melalui sebuah cerpen.
Dari cerpen “Etalase” karya Gita Pratiwi, saya menyadari bahwa kebahagiaan yang terpampang pada platform media sosial tidak patut untuk dibanggakan. Apakah kita harus memamerkan unggahan-unggahan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita bahagia? Sepertinya kita harus berpikir dua, tiga, bahkan, puluhan kali sebelum mengunggahnya.[]