Ragam Tafsir Bukan Perawan Maria
Sabtu siang itu (24/03), Bandung diguyur hujan yang turun perlahan. Udara dingin menyambut saya ketika tiba di 372 Kopi Dago Pakar, tempat berlangsungnya acara Apresiasi Buku Bukan Perawan Maria karya Feby Indriani. Acara ini bertajuk Maca #2 yang digagas oleh Toco.buruan.co bekerja sama dengan 372 Kopi. Waktu menunjukkan pukul 13:55 WIB. Begitu saya memasuki kafe itu, semerbak harum kopi menguar di udara, lampu temaram, dan gemercik hujan terdengar samar dari luar. Hidup rasanya bukan berjalan dari waktu ke waktu, melainkan dari suasana ke suasana.
Acara akan dimulai beberapa jam lagi. Beberapa orang—baik peserta, panitia, hingga pembicara satu per satu berdatangan. Selagi menunggu acara dimulai, mereka terlihat hanyut dalam obrolan dan canda masing-masing. Bersama berbatang-batang rokok, bergelas-gelas kopi.
Post Islamisme Fashion Hijab
Sore hari, pukul 15:45 WIB, acara apresiasi buku Bukan Perawan Maria dimulai. Dibuka dengan sebuah performance art tutorial pemakaian hijab yang dibawakan oleh A.Y. Sekar F.
Musik dengan irama dinamis menderap, di sudut ruangan dekat dengan rak buku, Sekar bersama seorang kawannya sudah bersiap di hadapan kamera. “Hallo guys, kali ini kita akan melakukan turotial hijab bersama Fitri Hijabi Store. Kita akan pergunakan hijab segi empat, dan membuat tiga gaya. Ikutin terus, ya…” ujar Sekar saat hendak memulai tutorial di hadapan sebuah kamera yang merekamnya. Di sudut yang lain, terlihat seorang pemudi mengikuti tutorialnya dari situs media sosial.
Sekar pun mulai sibuk mengatur-atur kain yang membalut kepala kawannya untuk membentuk hijab dengan berbagai gaya. Sembari kedua tangannya terus bergerak, mulutnya pun tak henti menjelaskan tahap demi tahap dari proses tutorial tersebut. Seorang pemudi di sudut yang lain terus mengikuti tutorial itu dari media sosialnya. Si pemudi dapat menggunakan kerudung seperti yang ditutorialkan Sekar.
Ada diskusi setelah pertunjukan. Keunikan Fitri Hijabi Store terletak pada motif-motif hijab mereka yang terkesan nyeleneh, tak umum, dan cenderung provokatif. Seperti motif hijab yang Sekar gunakan saat tutorial misalnya. Ia menggunakan kain hijab segi empat dengan motif gambar hitam-putih dua orang berkerudung yang sedang memegang tumpukan koper. Di sisi-sisi kain hijab terdapat bingkai merah tertulis, “Buy me I’ll change your life”. Rupanya ada pesan tersendiri yang ingin disampaikan Sekar dibalik motif tersebut.
Dalam diskusi itu, Sekar memaparkan bahwa lewat hasil riset yang ia pernah lakukan, ia menemukan bahwa dewasa ini tren hijab sangat booming dan menjadi lahan yang ‘basah’ di Indonesia. Sehingga menjadi celah bagi para pelaku industri untuk mendapatkan kapital dengan kedok religi.
Penjelasan yang disampaikan Sekar ini mengingatkan saya pada pemaparan Ariel Heryanto dalam bukuya, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015). Pada bab 2 buku yang mengulas pertarungan identitas kelas menengah perkotaan dalam ruang-ruang budaya populer ini, Ariel mengurai ihwal citra Islam masa kini dan kemarin.
Ariel menilai ada gejala Post Islamisme yang terjadi pada generasi muda muslim dan muslimah perkotaan Indonesia. Menurutnya, generasi tersebut ingin tetap menikmati selera kebudayaan dan kemerdekaan mereka, tetapi “tanpa mengorbankan keimanan(nya)”. Ariel mengambil contoh kasusnya pada film Ayat-ayat Cinta yang sukses mendapatkan antusias besar dari masyarakat. Film tersebut sukses menjadi wadah masyarakat—khususnya kelas menengah muslim—untuk menunjukkan identitas mereka di ranah budaya populer.
Berpijak pada pemaparan Sekar yang mengatakan bahwa hasil risetnya menunjukkan begitu populernya tren hijab dengan pelbagai gaya dan inovasinya di Indonesia, menunjukkan bahwa apa yang disebut Post Islamisme tidak hanya ada dalam ranah budaya populer seperti film saja, melainkan juga dalam ranah fashion. Mereka mencoba menunjukkan identitas mereka pada dunia, bahwa mereka sebagai muslim, tetap bisa terbuka pada perkembangan zaman, cair, tetapi ingin tetap berada pada koridor syar’i.
Dalam diskusi itu, Sekar juga memaparkan bahwa Fitri Hijabi Store menggunakan trik marketing yang cukup nyeleneh dalam memasarkan produk mereka. Seperti contohnya membuat poster bergambar Monalisa yang mengenakan hijab. Dan trik ini, sebut Sekar, terbukti berhasil memancing ketertarikan dan rasa penasaran orang. Ia bercerita seorang kawannya langsung menghubunginya ketika poster itu ia sebar di sebuah grup.
Diskusi dan Apresiasi Buku Bukan Perawan Maria
Usai Sekar dan Fitri Hijabi Store menampilkan demo tutorial mereka, kini tiba saatnya pada acara inti. Diskusi dan apresiasi buku Bukan Perawan Maria. Satu per satu pembicara dipanggil oleh Zulfa Nasrulloh yang berperan sebagai moderator diskusi. Mereka adalah Adhimas Prasetyo (Cerpenis), Muaz Malik (Musisi & Penulis), juga Feby Indriani sebagai penulis buku Bukan Perawan Maria.
Adhimas mendapat giliran lebih dulu berbicara. Sebagai cerpenis, ia memulai pembicaraannya dengan menceritakan ulang salah satu fragmen dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Ia membacakan ulang fragmen ketika seorang tokoh bernama Ajo Sidi yang gemar bercerita, telah membuat seorang marbut masjid terbunuh karena ceritanya. Ya, bukan Ajo Sidi yang membunuhnya, melainkan cerita yang dipaparkan Ajo Sidi kepada marbut masjid itu telah menggerakkan sang marbut mengiris lehernya sendiri dengan pisau cukur.
Kisah yang disampaikan oleh tokoh Ajo Sidi kepada marbut tua itu adalah bahwa di akhirat kelak, hadirlah seseorang bernama Haji Saleh. Sepanjang hidupnya, Haji Saleh selalu mengaji, sembahyang, dan tak pernah lupa memuji Tuhan. Namun ternyata ketika sudah di akhirat, Haji Saleh dijewer oleh malaikat untuk selanjutnya dilemparkan ke neraka. Tidak terima dengan perlakuan itu, Haji Saleh dan beberapa alim yang senasib dengannya menggelar demonstrasi sebagai bentuk rasa ketidakadilan kepada Tuhan. Atas demonstrasi itu, Tuhan menjawabnya bahwa ia sama sekali tidak gila pujian. Ia memberi kekayaan alam agar mereka bisa bekerja untuk membantu sesama beserta keluarga dan keturunannya.
Hal yang membuat sang marbut resah karena kisah yang disampaikan oleh Ajo Sidi adalah karena marbut itu merasa punya kemiripan dengan Haji Saleh. Ya, sepanjang waktu apa yang dilakukan marbut itu hanyalah sembahyang dan memuji Tuhan. Karena keresahan itu, akhirnya ia memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Adhimas menyebut bahwa andai Ajo Sidi ada dalam dunia nyata, buku semacam Bukan Perawan Maria lah yang akan dituliskan olehnya.
“Saya membayangkan bahwa inilah buku yang akan dituliskan oleh Ajo Sidi jika ia benar-benar hidup di dunia nyata,” sebut pria yang akrab disapa Dimas itu.
Dimas juga menilai bahwa tema yang coba diangkat oleh Feby dalam bukunya adalah seputar isu keagamaan dan konsep beragama.
“Tema yang diangkat dalam buku Bukan Perawan Maria karya Feby Indriani, adalah seputar isu keagamaan, khususnya agama Islam. Bukan hanya mengkritisi kehidupan beragama yang terjadi di Indonesia, buku ini juga mengkritisi konsep keagamaan,” tutur Adhimas selanjutnya.
Dimas menerangkan bahwa Feby menghadirkan realitas mistik dalam karya antologi cerpennya ini. Dibuktikan dengan penghadiran tokoh-tokoh seperti Peri, Malaikat, dan Iblis dalam beberapa judul cerpen di buku Bukan Perawan Maria.
Setelah itu, Dimas coba mendikte bagaimana cara Feby dalam menuliskan karyanya ini. Dari mulai tokoh hingga kelogisan alur cerita.
“Realitas dihadirkan oleh Feby dalam sebuah dimensi cerpen yang utuh. Tokoh-tokoh dalam cerpen bertindak dengan semestinya, sesuai latar belakang mereka. Kelogisan kausalitas seakan dijaga oleh penulis dalam gerak alur. Maka, saat membacanya, kita akan menemukan keluguan tokoh yang hadir dalam dimensi cerpen,” jelasnya.
Adapun kritik yang disampaikan oleh Adhimas dalam karya Feby menyoal akhir cerita yang terbuka. Membiarkan pembaca dalam kebingungan untuk memaknai sendiri isi cerita. Menurut Dimas, dengan akhir cerita yang terbuka ini, ia menilai beberapa cerpen malah terkesan seperti terburu-buru.
Selanjutnya, dalam beberapa cerpen seperti “Tanda Bekas Sujud (1)” dan “Tanda Bekas Sujud (2)”, Dimas merasa bahwa ada ketidakfokusan isu yang diangkat oleh Feby. Seperti isu ormas yang melakukan penggusuran, anggapan tanda hitam sebagai orang alim, dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Banyak motif yang menurutnya terkesan tiba-tiba.
Dimas mengakhiri pembicaraannya dengan memotret fenomena kekinian di mana ketika ada karya-karya sastra yang mengangkat isu seputar agama, rentan sekali karya tersebut dianggap sebagai penistaan terhadap agama. Ia mencontohkan kasus yang sudah-sudah terjadi, seperti kasus Kipanjikusmin pada akhir tahun 1960-an yang dikecam publik lantaran menulis cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” yang isinya dinilai menghina Nabi Muhammad. H.B. Jassin, seorang redaktur yang menerbitkan cerpen itu di majalah Sastra, sampai harus terseret ke pengadilan dan akhirnya mendapat hukuman penjara.
Padahal, menurut Dimas, pentingnya penerimaan karya sastra yang mengangkat isu agama adalah untuk memaknai ulang kebenaran yang selama ini diyakini oleh masyarakat.
“Fiksi kurang lebih merupakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi di kehidupan, dan kita selalu dapat mengambil nilai darinya,” sebut Dimas.
Baca juga:
– Kerambangan Under The Big Bright Yellow Sun
– Keluarga Owig di Ruang Sosiopetal
Usai Dimas selesai dengan pemaparannya, kali ini giliran Muaz yang mendapat giliran bicara. Ketika memperkenalkan Muaz, moderator menyebut bahwa Muaz merupakan seorang ustaz yang lain daripada yang lain. Ia kerap berceramah atau mengajarkan ilmu agama bukan di masjid, melainkan di tempat-tempat umum seperti kafe, mall, bahkan jalanan. Saat dikonfirmasi, ia menolak disebut ustaz. Ia hanya mengajarkan pengetahuannya tentang membaca Al Quran pada orang lain.
Dalam pemaparannya, Muaz lebih menyoroti ihwal fenomena ketegangan beragama yang banyak terjadi di masyarakat saat ini. Menurutnya, ini merupakan buah dari pengajaran ulama-ulama yang ada di Indonesia, yang lebih menitikberatkan pada ibadah-ibadah ritual, tanpa disertai ilmu makrifat (mengenal Tuhan) terlebih dahulu. Sehingga, tanpa mengenal lebih dahulu Tuhannya, timbul persepsi dalam masyarakat bahwa agama dan Tuhan itu perlu dibela dan dilindungi. Padahal sama sekali tidak demikian.
“Ulama-ulama telah keliru mengajarkan agama. Sekarang ini, agama jadi Tuhan; Tuhan jadi agama. Padahal tiga belas tahun pertama masa dakwah rasul, diisi dengan ilmu makrifat, mengenal Allah,” ujar Muaz.
Kepada audiens, Muaz pun mencoba memberikan contoh kisah yang memiliki kemiripan dengan kisah marbut masjid dalam cerpen A.A. Navis. Ia bercerita bahwa di zaman Nabi Musa dulu, ada seorang wali yang beribadah terus menerus selama lima ratus tahun, tetapi pada akhirnya masuk neraka. Sementara seorang sampah masyarakat yang meninggal di tempat pembuangan sampah, justru masuk surga hanya karena doa yang pernah ia panjatkan, dan Allah rida akan doa-nya tersebut.
“Jadi masuk surga itu sama sekali bukan masalah amaliah. Masuk surga mah karena rahmat Allah. Gak ada yang lain,” tutur Muaz.
Usai Muaz menjabarkan pandangannya, kini tiba giliran penulis buku antologi Bukan Perawan Maria, Feby Indriani yang berbicara. Moderator membuka pertanyaan awal kepadanya tentang apa sebenarnya motivasi Feby membuat karya seperti ini.
Feby menjelaskan, bahwa motif dirinya membuat karya seperti ini adalah untuk menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru kepada masyarakat, tentang bagaimana jika keyakinan yang selama ini dianut oleh kita, ternyata keliru.
“Karena toh, belum ada juga yang membuktikan benarkah orang-orang yang LGBT masuk neraka. Atau benarkah orang-orang yang tidak memakai hijab ada di neraka?” tanya Feby retoris.
Feby juga bercerita bahwa dulu ia dibesarkan di lingkungan keluarga yang gemar mengajarkan agama melalui cerita-cerita hikmah, contohnya seperti kisah wali yang masuk neraka yang disampaikan oleh Muaz sebelumnya. Feby mengaku bahwa dengan pengajaran seperti itu, membuat dirinya bisa lebih rendah hati dalam beragama. Karena segala kemungkinan bisa saja terjadi. Berangkat dari segala keterbukaan kemungkinan-kemungkinan inilah, Feby membuat Bukan Perawan Maria.
Usai ketiga pembicara menjelaskan pandangannya masing-masing, tibalah sesi tanya jawab. Moderator membuka sesi tanya jawab untuk dua orang penanya. Saya termasuk salah satu dari dua penanya itu.
Pertanyaan saya dan satu orang penanya lain, sebetulnya di luar teknis kepenulisan karya atau kritik terhadap karya Feby Indriani, melainkan bertanya tentang fenomena umum yang terjadi saat ini. Tentang mengapa orang begitu tegang dalam beragama, apa konteks sosial yang melahirkan fenomena tersebut, hingga pertanyaan seputar hal makrifat tentang iblis yang tak mau sujud kepada malaikat, dll. Ketiga pembicara menyampaikan pandangannya masing-masing dengan baik atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Keong Racun, Ritual, dan Ketenangan
Usai sesi diskusi dan apresiasi berakhir, tiba sesi hiburan berupa musik. Salah satu pembicara dalam sesi diskusi, Muaz, tampil solo dengan gitarnya.
Wajah-wajah pengunjung yang hadir tampak masih serius saja ketika Muaz sedang bersiap-siap dengan gitarnya. Petikan-petikan gitar mulai terdengar. Sambil menunduk, Muaz tampak memasang wajah serius. Dengan kapasitasnya sebagai ustaz, tampaknya semua mengira bahwa Muaz akan membawakan lagu bernuansa religi. Namun, semua salah dengan perkiraannya.
“Dasar kau, keong racun. Baru kenal udah ngajak tidur…” begitulah nyanyian yang pertama keluar dari mulut Muaz. Tampaknya ia membawakan sebuah lagu dangdut yang sempat dipopulerkan oleh Sinta & Jojo itu dalam perform-nya.
Ketika mendengar nyanyian itu, sontak tawa pengunjung pun pecah. Ya, menggelikan memang melihat seorang ustaz membawakan lagu dangdut yang mengandung lirik cukup erotis seperti itu. Sensasinya mungkin sama seperti melihat seorang preman pasar menyanyikan lagu Cherrybell.
Acara apresiasi buku Bukan Perawan Maria hari itu ditutup oleh sebuah perfomance art oleh Transientvoid yang berkolaborasi dengan Ramaputratantra dan musik oleh EIR. Transientvoid menampilkan performance art berupa musik derau yang merupakan penafsirannya terhadap salah satu cerpen berjudul “Ruang Tunggu” di antologi Bukan Perawan Maria.
Saya belum membaca bagaimana cerita dalam cerpen “Ruang Tunggu” tersebut. Namun, ada suasana mencekam yang saya rasakan ketika menyaksikan Transientvoid tampil. Suara instrumen nada yang meraung-raung, ditambah suara vokal yang terkesan seperti meracau, membuat suasana begitu mencekam, gelap, dan mistis. Saya lihat tampak pengunjung yang ada pun memasang ekspresi yang serius dan kaku, setelah sebelumnya terbahak-bahak menyaksikan Muaz.
Usai Transientvoid tampil, suasana yang tadinya begitu tegang kembali mereda dengan suguhan musik yang ditampilkan oleh EIR. Diiringi alunan saksofon, EIR menyuguhkan pengunjung dengan alunan musik yang syahdu. Menenangkan. Ya, seperti nama band-nya yang konon memiliki arti “menyembuhkan”.
EIR tampil membawakan tiga lagu. Setelah lagu ketiga selesai dibawakan, berakhir pulalah acara apresiasi buku Bukan Perawan Maria ini. Kegiatan ini diakhiri dengan foto bersama para pembicara dan bintang tamu pengisi acara.[]