Puisi Menggagahi Bahasa
Selepas membaca puisi yang dimuat di HU Pikiran Rakyat tanggal 18 Februari 2018, saya merenung cukup lama. Tidak percaya. Tiba-tiba kepala saya migrain dan perut mulas dengan hebatnya. Saya sadar, bacaan apapun akan memberikan kita sesuatu, tapi untuk kali ini, saya sebagai pembaca sulit menemukan sesuatu itu. Saya tidak mengerti mengapa Tuhan memberikan ujian bacaan semacam itu kepada (pembaca) seperti saya. Bertanya-tanya, mengapa Pikiran Rakyat begitu tega ‘menyakiti’ hari minggu pembacanya, dengan menampilkan puisi seperti itu.
Jika Anda tidak percaya dan menganggap saya berlebihan, mari kita buka puisi itu bersama-sama.
Ada empat sajak yang ditulis oleh dua penulis yang berbeda. Sajak pertama berjudul “Surut” yang ditulis oleh Ana Risma Nanda. Berikut kutipan bait pertama sajak itu.
pada bentang prolog sebuah alkisah
kuntum fragmen gagal berkembang
aroma karsa teramat sangit
mengabu dan merasuk; tiap-tiap partikel
pada nyanyian parau
yang mencekik batang tenggorok
Sungguh bait yang membuka banyak pertanyaan bukan?
Pertanyaan pertama yang kemudian tebersit di kepala saya adalah, nona Ana Risma Nanda ini sebenarnya memiliki kaitan apa dengan Vicky Prasetyo? Ya, Vicky Prasetyo yang selebritis itu. Sebab, dalam hal pemilihan diksi, begitu mirip pola dan bentukannya. bentang prolog, kuntum fragmen, dan aroma karsa teramat sangit, mirip dengan kata-kata yang dipopulerkan Vicky seperti ‘kontroversi hati’ dan ‘konsonan langit’.
Jika Vicky menggunakan kata-kata bombastis untuk menaikkan popularitasnya, maka apa tujuan Ana memilih diksi dengan ‘jenis’ seperti itu? Apa? Apa ki sanak? Apa?
Pertanyaan itu begitu mendesak dan penting, sebab Ana menggunakan medium puisi dalam menampilkan kata-kata itu. Di mana puisi memiliki kaidah-kaidah penulisan tertentu yang jelas jauh berbeda dengan penggunaan kata-kata dalam bahasa lisan.
Apabila bait pertama belum cukup menunjukkan, mari kita lihat bait terakhirnya.
kemudian, jalur-jalur itu terkubur
oleh kerangka;
yang membangkai dan tak sempat terangkai
disusul angin resah yang datang berziarah
tuk menaburkan kelopak-kelopak sinopsis
dari sebuah epilog skeptis
Sekarang Anda mengerti dan tidak lagi menganggap saya keterlaluan dengan mengaitkan Ana dengan Vicky, bukan? Karena saya benar-benar gagal paham dengan pemilihan diksi kelopak-kelopak sinopsis atau epilog skeptis.
Untuk diksi kelopak sinopsis misalnya, bila kita periksa, kelopak menurut KBBI edisi V adalah bagian bunga yang berada pada lingkaran terluar, sementara arti sinopsis adalah ringkasan. Maka arti dari kelopak sinopsis secara harfiah adalah sulit dipahami oleh logika sederhana dalam berbahasa. Ya, betul, sulit dimaknai, dibayangkan, apalagi dinikmati dengan perasaan tentram.
Saya tidak mengatakan bahwa Ana tidak membuka kamus saat menulis sajak ini. Saya hanya mengatakan bahwa Ana keliru dalam mengawinkan kata-kata yang dipilihnya. Ana hanya menggabungkan dua kata begitu saja, tanpa memerhatikan konsekuensi makna yang dihasilkan. Padahal, penggabungan dua buah kata tidak sertamerta menghasilkan makna yang baru, indah, apalagi gilang-gemilang.
Penggabungan kata yang terlihat pada sajak di atas malah memperumit keadaan. Maksud hati hendak mencipta metafora, yang terjadi malah menciptakan marabahaya nalar pembaca. Keinginan untuk mengkreasikan bahasa pada puisi, malah membuat puisi menggagahi bahasa secara semena-mena. Bahasa yang dipermainkan oleh Ana pada sajak berjudul “Surut”, terperosok pada titik terendah sebagai medium komunikasi dengan pembacanya.
Sementara sajak kedua Ana yang dimuat berjudul “Dahaga Khalayak Fakir”. Saya tidak mengutip dan membahas sajak ini karena khawatir tertular penyakit hati. Dengki dan berburuk sangka. Sebab dengan membaca judulnya saja, saya istigfar berkali-kali, apalagi membaca dan membahas isinya.
***
Lain Ana lain pula dengan puisi yang ditulis oleh Irvan Syahril. Jika Ana mengandalkan pembentukan metafora lewat penggabungan dua buah kata, maka Irvan menjadikan rumus pemadatan sebagai senjata andalannya. Seperti terlihat pada sajak berjudul “Menjaga Wudu”. Berikut kutipan utuh sajak tersebut.
Menjaga Wudu
Bisakah aku sebagai angin memeluk
tubuhmu tanpa merusak wudu.
cium keningmu bersama deras hujan
yang jatuh, dan kau menikmati.
Bisakah aku membisakan lidahku
sebagai angin, yang menerima pingsanmu
di lapang dadaku, di halaman mataku.
Oh, hujan, cintaku melendung wudu terlindung.
Bisakah aku sebisa menjaga arahmu
sebagai angin, yang menegur telapak salah pijak
segala terinjak. hujan gugur dan ia bercerita
kita duduk merenung; apa itu mendung.
Bisakah aku sebagai angin menjaga
wudhumu agar tak lekas kering.
Dua larik pertama membuka sajak ini dengan cukup manis. Aku lirik ingin memeluk tapi (ingin) wudunya tetap terjaga. Aku lirik ingin tetap saleh tanpa menghilangkan keinginan untuk menyayangi dengan cara memeluk tubuh. Saleh sekaligus cabul.
Selanjutnya, pada larik ketiga rumus pemadatan mulai bekerja, cium keningmu bersama deras hujan. Begitu pula pada larik kedua dan larik keempat bait kedua, sebagai angin, yang menerima pingsanmu dan Oh, hujan, cintaku melendung wudu terlindung. Puncak pemadatan terjadi pada dua larik pertama bait ketiga, bisakah aku sebisa menjaga arahmu/sebagai angin, yang menegur telapak salah pijak/.
Pemadatan pada sajak ini membuat helaan nafas saya dalam dan tertahan (pada momen ini saya hampir kehilangan nyawa). Mencoba memahami secara perlahan apa makna dari; angin yang menerima pingsanmu, cintaku melendung wudu terlindung, bisakah aku sebisa menjaga arahmu, dan angin yang menegur telapak salah pijak. Saya mengerahkan seluruh panca indera saat mencoba memahaminya, namun saya gagal, hampa, dan tertekan.
Ketika saya memaksa untuk memahami maksud dari cintaku melendung wudu terlindung. Yang tergambar malah sinetron berjudul “Pernikahan Dini” yang pernah ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta belasan tahun yang lampau. Ketika saya mencoba mencari dengan teliti dan hati-hati makna dibalik angin yang menegur telapak salah pijak, mendadak penyakit usus buntu saya kambuh.
Karena hampir semaput, saya dengan segera beranjak pada sajak yang kedua. Sajak kedua Irvan Syahril ternyata memiliki jurus yang hampir sama. Pemadatan kata sebagai senjata utama.
Kepasrahan Hujan
Hujan terbentur halaman pecah
di pucuk rumput jatuh meredam
tanah, di tempat lain, hujan menabrak
daun pingsan, mengembun pasrah
tanah tengadah, doa sudah sia-sia.
Hujan minta turun di laut
tapi asin garam, masam hidup
tak boleh ikut. Lantas Tuhan marah
jadilah gerimis yang membat kalut
pejalan trotoar, dan berkhutbah;
Sakitku tiada sebanding percik
tubuhku ke matamu.
Pada sajak ini pemadatan kata semakin menjadi-jadi. Hujan terbentur halaman pecah, di pucuk rumput jatuh meredam, dan hujan menabrak/daun pingsan, merupakan beberapa contoh pemadatan itu. Fantastico. Suasana yang hendak ditampilkan pada sajak ini chaos, terjal, dan njelimet. Gelap. Gelap sekali. Mungkin ini yang disebut sajak yang lahir dari kegelapan black hole.
Apa yang ditampilkan sajak di atas, mempertegas pilihan sang penulis untuk memadatkan kata-kata tanpa memperhitungkan pembentukan makna yang ditimbulkannya. Sajak “Kepasrahan Hujan” seakan-akan begitu pasrah untuk dimaknai sebagai puisi yang tidak bergerak ke mana-mana, tidak memberikan apa-apa kepada pembacanya.
Penguasaan Bahasa
Menulis puisi boleh jadi bermain-main dengan bahasa. Namun, mempermainkan bahasa bukan berarti memainkan bahasa seolah-olah tidak ada tuntutan pertanggungjawaban ‘cara mainnya’. Meskipun bahasa bersifat arbitrer namun tetap ada kaidah yang mengikatnya. Apalagi permainan bahasa pada puisi itu kemudian disajikan kepada khalayak pembaca.
Menulis ‘puisi’ lalu dimuat di media massa tidak menjadikan ‘puisi’ itu cukup untuk disebut sebagai puisi, tidak juga menjadikan penulisnya otomatis disapa sebagai penyair. Ada banyak variabel yang menentukan hal tersebut, setidak-tidaknya menurut pembaca atau menurut ‘aturan main’ yang menjadi pengetahuan bersama.
Aturan main yang paling mendasar adalah penguasaan terhadap bahasa. Penguasaan bahasa menjadi syarat mutlak bagi seorang penulis. Bahasa merupakan media sekaligus perkakas utama sebuah tulisan. Menguasai bahasa dengan segala atributnya merupakan modal dasar bagi seorang penulis, apalagi seorang penyair.
Apa yang ditampilkan HU Pikiran Rakyat dengan menghadirkan empat sajak yang lemah secara bahasa, memperlihatkan kepada saya, kepada Anda, setidak-setidaknya dua hal. Pertama, bahwa sajak yang dimuat Pertemuan Kecil edisi itu adalah contoh sajak yang tidak baik dan tidak untuk ditiru. Dan yang kedua adalah, sebuah tulisan, bagaimanapun, hasil dari proses yang tidak melulu berhasil dan bisa langsung diterima oleh pembacanya. Itu.[]