Pitunang Puitika Fariq Alfaruqi
Sangat menarik membaca sajak-sajak Fariq Alfaruqi di harian Kompas edisi 24/2/2018. Fariq menawarkan puisi yang cukup berbeda dengan puisi-puisi yang terbit di halaman puisi Kompas sebelumnya. Dengan segenap “pitunang”1 puitika yang dimilikinya, Fariq tampak menampilkan puisi yang berbeda dari puisi lirik yang umumnya ditulis penyair Indonesia.
Tiga sajak Fariq yang tayang di Kompas adalah “Tilas Harimau”, “Langgam Harimau”, dan “Mengkaji Langkah Surut”. Jika dilihat sekilas, sajak-sajak Fariq cukup panjang dan akan memberi kesan melelahkan jika terbiasa membaca sajak-sajak pendek di koran. Meskipun begitu, sajak-sajak Fariq cukup asyik untuk diikuti. Coba deh buka lagi korannya kalau teman-teman kebetulan menyimpannya, atau buka di klipingsastra.com yang rajin ngliping secara daring karya-karya sastra yang terbit di koran-koran nasional.
Sajak-sajak Fariq didominasi sugesti bunyi yang mengingatkan kita pada tradisi mantra. Sugesti bunyi tersebut berasal dari gaya bahasa yang berasal dari unsur bunyi kata, semisal aliterasi, asonansi, bahkan repetisi2. Upaya ini menjadikan karya Fariq terasa lebih memiliki tuah, seperti halnya mantra atau pantun lama.
Mari kita baca salah satu sajaknya yang berjudul “Langgam Harimau” berikut ini:
Jangan kau alamatkan lagi sirih pinang
bagi penjaga nadi air, untuk pengawal jantung angin
pada pengasuh lambung tanah.
Atau gelombang pitunang
untuk menziarahi kuntum rahasia
warna pasi kematian terkilas di pucat kamboja
aroma mabuk kesedihan tajam sengat lantana.
Atau decak tolak bala dan siulan tiga nada
sebab musim pancaroba menyeret jubahnya
demi mengunjungi kesepian yang meninggi
di pucuk akasia, menguji ketabahan
yang menebal pada kulit trembesi.
Demi degup rimba, lenguh gunung, desah padang sabana
yang sehembus setarikan nafas dengan aumku.
Jangan kau haturkan sembah seluruh salam
sebagai puja-puji pada denyut renik sekalian alam.
Ketika suluh pandangmu padam
tongkat langkahmu patah, kitab pikiranmu latah
memilih jalur mana menuju landai lembah
jalan mana ke arah curam lurah
membaca rusuh muara dari gelagat tenang hulu
memisahkan racun cendawan dan tawar benalu.
Semenjak jelujur akar dan sulur menjalar
putus tali rima dari sampiran pantunmu
mata air tak hendak menuntun mata kailmu
menemu insang ikan di balik batu-batu
tangan angin enggan membimbing anak panahmu
mendahului lesat tungkai rusa dan lejit waktu.
Sedari petuah rimba hilang rimbun
dalam pokok kecambah gurindammu
dendam babi tak menunggu gugur kamboja
untuk menyudumu dan menghantamkan taringnya
amarah cindu akan mencegatmu
dan menyabetkan kukunya
sebelum aroma lantana menguap di udara.
Gelombang pitunang, sembah salam
tebu manis yang pernah tumbuh di bibirmu itu
kini hanya tinggal sepah serapah penyulut api jerubu.
Tak akan mampu lagi mengusik petilasanku
agar menyeberangkan nyawamu di musim bandang
tak bakal bisa lagi memanggilku untuk datang
dan mengalihkan topan dari jalanmu pulang.
“Semenjak benih hutan masih dikandung tanah
moyang kita telah saling bertukar cendera kata.
Pohon riwayat telah mencatat persetubuhan laknat
yang melahirkan anak-anak belang kala dilanda kesumat
Di lain bunga hikayat, arwah leluhurku
menunggangi jasad leluhurmu
menjaga malam kelat dengan pupil mata yang biru.
Jangan pisahkan usul arang dengan muasal abu
yang berbagi serat dalam satu jasad kayu.”
Demi gelap belukar yang bersekutu dengan belangku
jangan sebut lagi kisah-kisah lama perintang lengang itu.
Pulangkan sejumput bulu yang aku titipkan
jadi jalin gelang sumpah kita dahulu
kembalikan seruas kuku yang aku berikan
dan kau tanam dalam bandul perjanjian masa lalu.
Kemudian, hanya terkamanku
yang akan menyahut sirih pinangmu.
Padang-Depok, 2017
Sajak berjudul “Langgam Harimau” kemungkinan besar mengacu pada harimau (magis) yang dihormati oleh masyarakat Minangkabau. Kebetulan Fariq Alfaruqi merupakan penyair berdarah Minangkabau. Dalam legenda Minangkabau, dipercaya adanya inyiak atau manusia harimau. Inyiak merupakan penjaga orang-orang Minang, terutama yang sedang dalam perantauan. Diyakini pula bahwa inyiak merupakan makhluk yang mampu berdialog dengan manusia dan harimau untuk suatu kontrak sosial agar tak saling menyerang dan merusak. Adapula kisah, tentang seorang pendekar silat di Lembah Harau yang kemudian berubah menjadi harimau setelah melakukan pertapaan.
Pada sajak “Langgam Harimau” karya Fariq, aku lirik seperti sedang menuturkan harimau atau mungkin inyiak yang mulai merasa terusik, terdesak, kehilangan tempat tinggalnya, hutan rimba. Pada pembuka sajak, aku lirik, yang bisa jadi merupakan harimau, menyatakan agar tak lagi mengundang dirinya, Jangan kau alamatkan lagi sirih pinang/bagi penjaga nadi air, untuk pengawal jantung angin/pada pengasuh lambung tanah./Atau gelombang pitunang/untuk menziarahi kuntum rahasia/warna pasi kematian terkilas di pucat kamboja/aroma mabuk kesedihan tajam sengat lantana./Atau decak tolak bala dan siulan tiga nada/sebab musim pancaroba menyeret jubahnya/demi mengunjungi kesepian yang meninggi/di pucuk akasia, menguji ketabahan/yang menebal pada kulit trembesi. Dalam adat Minangkabau, merupakan bentuk kehormatan saat menyambut tamu dengan menyajikan sirih atau siriah dalam carano.
Baca juga:
– Reka Ulang Sebuah Narasi
– Pesona Alam dalam Puisi Acep Zamzam Noor
Masyarakat Minangkabau percaya, jika ada perubahan-perubahan alam, maka mereka akan mendengar aum harimau yang kemudian diikuti bebunyian suara hewan lainnya. Pada bait berikutnya, kita akan mendapatkan situasi tersebut. Aku lirik seperti ingin mengaum, menyatakan bahwa perubahan alam tak lagi membuat nyaman dirinya, Demi degup rimba, lenguh gunung, desah padang sabana/yang sehembus setarikan nafas dengan aumku.//Jangan kau haturkan sembah seluruh salam/sebagai puja-puji pada denyut renik sekalian alam.
Sajak ini seperti mencoba mengingatkan kepada perjanjian nenek moyang yang pernah dijembatani inyiak, dimana manusia dan harimau memiliki kontrak sosial untuk saling menghormati satu sama lain, tidak saling menyerang dan merusak. Seperti dapat kita baca pada bait-bait berikut ini, “Semenjak benih hutan masih dikandung tanah/moyang kita telah saling bertukar cendera kata./Pohon riwayat telah mencatat persetubuhan laknat/yang melahirkan anak-anak belang kala dilanda kesumat/Di lain bunga hikayat, arwah leluhurku/menunggangi jasad leluhurmu/menjaga malam kelat dengan pupil mata yang biru.//Jangan pisahkan usul arang dengan muasal abu/yang berbagi serat dalam satu jasad kayu.”
Akan tetapi, dinamika zaman tampaknya tak seiring dengan perjanjian nenek moyang yang telah bertukar cendera kata. Harimau atau mungkin inyiak pun menggugat, Demi gelap belukar yang bersekutu dengan belangku/jangan sebut lagi kisah-kisah lama perintang lengang itu.//Pulangkan sejumput bulu yang aku titipkan/jadi jalin gelang sumpah kita dahulu/kembalikan seruas kuku yang aku berikan/dan kau tanam dalam bandul perjanjian masa lalu.
Saking murkanya, sambutan penuh hormat dengan sajian sirih pun kelak akan diabaikan olehnya, Kemudian, hanya terkamanku/yang akan menyahut sirih pinangmu.
Meski dalam sajak ini dituturkan kisah harimau yang menggugat, tentu masih banyak kemungkinan lain yang digugat oleh sang penyair.
***
Saat menemukan sajak seperti “Langgam Harimau” ini, barangkali kita akan teringat dengan sajak-sajak bergaya mantra macam karya Sutardji Calzoum Bachri. Khusus untuk sajak “Langgam Harimau” ini, menarik jika dilihat kemiripannya secara bentuk dengan sajak “Kucing” Tardji.
Untuk menyegarkan ingatan terhadap puisi “Kucing”, mari kita baca kembali karya Tardji berikut ini:
Ngiau! kucing dalam darah dia menderas lewat dia mengalir
ngilu ngiau dia bergegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bukan singa bukan hiena
bukan leopar dia macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba afrikaku dengan cakarnya
dengan amuknya dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan beri roti dia tak mau roti
ngiau kucing meronta dalam darahku meraung merambah
barah darahku dia lapar O alangkah lapar ngiau berapa juta
hari dia tak makan berapa ribu waktu dia tak kenyang
berapa juta lapar lapar kucingku berapa abad dia mencari mencakar
menunggu tuhan menciptakan kucingku tanpa mauku dan sekarang
dia meraung mencari-Mu dia lapar jangan beri daging jangan
beri nasi tuhan menciptanya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang sehari untuk kenyang
sewaktu untuk tenang di bumi ngiau! dia meraung dia
mengerang hei berapa tuhan yang kalian punya beri aku satu
sekadar pemuas kucingku hari ini ngiau huss puss diamlah
aku pasang perangkap di di afrika aku pasang perangkap di amazon
aku pasang perangkap diriau aku pasang perangkap di kota-kota
siapa tahu nanti ada satu tuhan yang kena lumayan
kita bisa berbagi sekerat untuk kau sekerat untuk aku
ngiau huss puss diamlah.3
Sajak “Langgam Harimau” dan “Kucing” memiliki nada yang hampir serupa. Kedua sajak ini diciptakan dengan ruh bunyi yang ditiupkan penyair pada kata-kata yang menjelma dalam sajaknya. Dengan kata lain, sebuah komposisi puisi yang menyaran pada mantra.
Misal pada “Langgam Harimau”, kita akan menemukan susunan aliterasi yang berasal dari penjaga, pengawal, pengasuh. Atau, kita akan menemukan unsur-unsur bunyi lain yang cukup kuat melekat dalam sajaknya, seperti degup rimba, lenguh gunung, desah padang sabana; tongkat langkahmu patah, kitab pikiranmu latah; Semenjak jelujur akar dan sulur menjalar; dan masih banyak lagi.
Sedangkan dalam “Kucing”, kita akan mendengar asonansi menderas, bergegas. Atau, repetisi ngiau, kucing, dan meraung, yang selain memberi efek bunyi juga menekankan perhatian pembaca pada kata-kata tersebut.
Meskipun begitu, terdapat pula perbedaan antara kedua sajak ini. Tempo dari sajak “Kucing” terasa begitu cepat, sedangkan “Langgam harimau” lebih pelan. Selain tempo, kredo Tardji yang membebaskan kata-kata dari makna juga menjadi pembeda kedua sajak ini. Pada karya Fariq, kata-kata yang digunakannya masih menyandang makna.
Meski sekilas dipersamakan dan diperbandingkan dengan karya Tardji, saya kira tak mengurangi tuah dari sajak “Langgam Harimau”. Fariq telah berupaya menerapkan “pitunang” pada puitikanya yang mungkin saja membuat pembaca tersugesti sehingga tertarik untuk mendengarkan kisah sajaknya.[]
- Ilmu magis Minangkabau untuk mensugesti orang lain. Dikategorikan ilmu mudo, atau dipelajari anak-anak muda. (Mohon koreksi jika keliru)
- Lihat Kritik Sastra Indonesia Modern (Rahmat Djoko Pradopo, 2002)
- O, Amuk Kapak (Sutardji Calzoum Bachri, 1981)