Pilihan Kata Adalah Kunci
Menulis puisi adalah soal keterampilan berbahasa. Mengoptimalkan fungsi estetik bahasa sebagai bahan dasarnya. Pada puisi, bahasa dihadirkan dalam bentuk kreatif. Metafora yang membangun aforisme adalah salah dua bentukan bahasa yang kreatif itu. Jadi, penguasaan bahasa seorang penulis akan sangat memengaruhi seberapa jauh capaian estetika puisinya. Baik itu dilihat dari pilihan katanya atau dari cara menyusun pola gramatikanya. Oleh karena itu, puisi pada akhirnya akan merepresentasikan wacana bahasa seorang penulis dalam tataran empiris.
Hal ini bisa diperiksa pada sajak berjudul “Memeluk Senja” karya Eko Riyanti. Puisi ini dimuat di harian Pikiran Rakyat (Minggu, 07/01/2018).
Memeluk Senja
Gerimis berlalu
Sisakan basah di daun jambu
Pelangi muncul malu-malu
Jingga menyeruak dari awan yang sempat kelabu
Bayang masa kecil berlari di depanku
Tertawa ceria mengejar Capung
Dengan sebilah bambu
Atau menjerit meringis tertusuk duri putri malu
…
Pada bait awal, kita mendapati beberapa pilihan kata dari sang penulis. Gerimis, daun, dan pelangi dihadirkan mewakili makna sebenarnya. Riyanti memindahkan setiap kata itu secara denotatif tanpa mengubah atau memberi pemaknaan baru. Hal ini menimbulkan kesan bahwa bait pertama bersifat deskriptif. Memerikan suasana. Di mana kita seolah disuguhkan sebuah suasana yang sesungguhnya. Suasana alam yang lazim terjadi. Pertanyaannya kemudian, di mana efek puitiknya? Apa perbedaan dengan gambaran pada sebuah feature misalnya.
Sementara pada bait kedua, kita bisa melihat sebuah peristiwa. Sebuah ingatan tentang masa kecil aku lirik. ..mengejar Capung/..menjerit meringis tertusuk duri putri malu//. Peristiwa yang boleh jadi berkesan bagi aku lirik. Peristiwa yang bahkan hadir dalam sebuah puisi. Lalu pertanyaannya kemudian, seberapa besar peristiwa itu berpengaruh bagi pembaca? Di mana letak keindahannya kalau ‘hanya’ mengejar Capung lalu tertusuk duri?
Setiap peristiwa mungkin berbeda kesannya bagi setiap orang. Ada kekhususan yang itu tidak dialami oleh semua orang. Dan boleh jadi membuat peristiwa tersebut layak dikenang lalu diabadikan jadi sebuah puisi. Persoalannya, pada sajak “Memeluk Senja” gagal memunculkan peristiwa yang memiliki kekhususan itu. Peristiwanya bersifat umum dan lumrah. Hal ini disebabkan karena kata yang dipilih sudah sering dipakai dalam penggambaran yang umum. Sehingga proses bentukan kreatif tidak terjadi pada dua bait awal sajak ini. Daun tetap daun, gerimis tetap gerimis, dan pelangi tetap pelangi. Sudah berapa banyak puisi yang tercipta dengan pilihan kata semacam ini?
Sementara pada sajak berjudul “Senja dan Sebilah Belati”, sajak kedua Eko Riyanti, kita akan menemukan sebuah pola gramatika dan pilihan kata lama.
Senja…
Selalu menghadirkan cinta dan rindu ini
Jua mendatangkan hadirmu kembali
Tapi kini…
Pada larik pertama, kata senja diakhiri dengan tiga tanda titik. Titik tiga ini seolah-olah dihadirkan sebagai sesuatu yang berkelanjutan atau tiada akhir. Titik tiga juga dipakai pada larik ke empat, Tapi kini…/ yang difungsikan serupa. Pertanyaannya, apa fungsi tiga tanda titik itu? Mengapa mesti memakai tiga tanda titik itu? Jika hal itu pilihan estetika Riyanti, apakah maksud dari fungsi estetiknya?
Selain tanda titik tiga, sajak ini masih menggunakan pilihan kata yang cukup purba, yaitu kata jua. Jua adalah kata sifat yang banyak memiliki padanan kata dalam bahasa kekinian. Maka akan terasa ganjil memakai kata ini, apabila pilihan kata secara keseluruhan dalam puisinya tidak mendukung efek klasik. Hanya kata jua yang mewakili pilihan kata klasik sedang kata yang lain masih dalam wilayah bahasa ‘kekinian’.
Ruang intim Pembaca
Puisi ketiga yang hadir pada rubrik pertemuan kecil Pikiran Rakyat adalah sajak berjudul “Lelaki di Tepian Waktu” karya Seruni Unie. Sajak tiga bait, dengan penanda angka pada setiap baitnya. Setiap bait terdiri dari tiga larik. Di mana setiap larik tidak lebih dari tiga kata. “Lelaki di Tepian Waktu” merupakan sajak pendek.
Lelaki di Tepian Waktu
1#
Padamu lelaki
Sajakku koma
Kehilangan warna
2#
Pekat dalam kopi
Itu rindu
Yang menunggu sentuhmu
3#
Biar aku rekam
Senyummu
Dalam didih kesepian
Sebuah puisi pendek akan sangat berisiko jika pilihan kata yang sedikit itu, hadir dalam tema-tema umum. Sebab impresi dalam sebuah sajak pendek tidak saja muncul lewat pilihan kata tapi juga pilihan tema. Pada sebuah puisi pendek, pilihan tema yang khusus, unik, dan khas akan sangat menentukan daya ungkap puitiknya.
Pada sajak “Lelaki di Tepian Waktu”, kita merasakan impresi yang kurang greget. /Biar aku rekam/senyummu/dalam didih kesepian/ adalah bait akhir yang mirip dengan gambaran ending sebuah sinetron. Bedanya, jika kebanyakan sinetron berakhir dengan happy ending sedangkan sajak ini menutupnya dengan sad ending.
Kesan seperti itu bisa terjadi karena pilihan temanya. Tema yang disodorkan sajak “Lelaki di Tepian Waktu” adalah tema umum yang bersifat personal namun lumrah: rindu yang dibalut kesepian. Sebuah ruang intim yang boleh jadi hanya pekat terasa oleh si penyairnya, pembaca sulit merasakannya. Sehingga puisi ini menghasilkan daya ungkap puitik yang lemah. Efek berbagi ‘perasaan’ dalam sajak ini juga tidak terbangun, karena ruang yang dibangun sajak ini kelewat singkat dan sempit. Hal ini ditambah oleh fakta bahwa pilihan gramatikanya masih belum menampilkan pola baru yang segar dan ciamik.
Puisi terakhir Seruni Unie berjudul “Menjahit”. Puisi yang sangat singkat.
Menjahit
Kujahit baju
akibat luka
dikhianati waktu
Meski lebih singkat dari “Lelaki di Tepian Waktu” namun sajak ini memiliki impresi yang lebih dalam. Tertutupnya sajak ini dalam wilayah tafsir sedikit membantu akan hal itu. Jika puisi Seruni yang pertama memiliki tema yang terbuka, maka sajak ini cukup tertutup. Pertanyaannya adalah apakah sajak “Menjahit” bisa disebut sebuah puisi? Apa yang ingin disampaikan dalam puisi sependek ini?
Pertanyaan dan keraguan itu berangkat dari dua hal. Pertama, kata baju sebagai subjek utama dan satu-satunya pada puisi ini teramat bias. Tidak ada penanda yang mengarahkannya pada sesuatu yang lebih khusus. Sebab, kata luka pada sajak ini adalah akibat dari pengkhianatan waktu. Kujahit baju seolah peristiwa sendiri yang terpisah dan tidak ada sangkut pautnya. Peristiwa menjahit menjadi tidak selesai dan samar.
Karena ketidakjelasan peristiwa menjahit dan baju maka puisi ini sangat rapuh dalam hal bangunan struktur. Pemilihan judul ”Menjahit” dipertanyakan karena pokok persoalannya adalah /akibat luka/dikhianati waktu/. Kujahit baju menjadi dikesankan tidak penting sehingga memungkinkan untuk diganti misalnya oleh kugoreng telur, atau oleh kusadap tubuh, atau oleh kujerang darah.
Keempat sajak yang ditampilkan sebenarnya cukup mewakilkan keinginan redaksi Pikiran Rakyat. Karena jika diperhatikan, setahun terakhir kolom Pertemuan Kecil selalu menampilkan kombinasi penyair-penyair yang “baru” dan yang “lama”. Pilihan menggembirakan bagi penulis yang masih meretas jalan kepenyairan untuk kemudian menembus media-media nasional.
Selalu ada harapan bagi penulis yang terus tumbuh dan terus mengasah keterampilan berbahasanya. Pisau menjadi tajam bukan saja karena sering diasah dan dipakai. Pisau menjadi teramat tajam karena kita tahu bagaimana cara menggunakannya.[]