Fb. In. Tw.

Perspektif Lain Novel Max Havelaar

Karya sastra memang selalu mengundang banyak orang atau kelompok untuk memiliki perspektif yang berbeda. Tidak menuntut semua orang memiliki sikap yang sama, tidak pula membawa orang ke dalam ruang-ruang yang sempit. Karena tafsir dan makna suatu karya sastra tidak absolut. Setiap orang berhak menggunakan pisau analisis yang berbeda-beda pula.

Pada  acara Festival Seni Multatuli di Lebak, Banten, tanggal 7 September 2018, perbedaan perspektif terhadap novel Max Havelaar karya Multatuli ditunjukkan oleh Teater Syahid (Tangerang Selatan). Ketika semua orang memvisualisasikan epos Saijdah dan Adinda, kepahlawanan Havelaar, dan tanam paksa. Mereka justru mengambil jalan memvisualkan konteks suasana yang sedang terjadi dengan surat-surat Havelaar kepada Bupati Residen Lebak. Mereka berusaha masuk ke celah yang kosong, celah yang banyak orang lewati.

“Dari semua bab-bab dalam buku Max Havelaar, inti penceritaannya ada di dalam surat-surat Havelaar dan epos Saijdah dan Adinda itu hanyalah bumbu.” Pernyataan dari Ari Sumitro (AS) yang menyutradarai pementasan. Pernyataan tersebut semacam landasan dasar ketika menggarap pementasaannya secara berbeda.

Pementasan tersebut sebenarnya hanya dibagi menjadi 3 tokoh sentral. Pertama, tokoh Max Havelaar diperankan oleh Fadli Rudiansyah. Kedua, tokoh Bupati Residen Lebak diperankan oleh Dio Ikhamudin, dan ketiga tokoh penduduk diperankan oleh Anisa, Dafir, dan kawan-kawan.

Menariknya, pementasan yang hanya sekitar 30 menitan tersebut, AS hanya memvisualkan dengan memberi simbol-simbol yang mewakili pesan dan hanya menggunakan dialog yang tipis-tipis.

Contohnya headstand yang dilakukan oleh semua tokoh penduduk, visual dari keadaan feodalisme kaum kolonial dan kaum elit. Gerakan menghentak tanah dan teriakan keras merupakan visual ketidakberdayaan. Memang, selama pementasan, penonton seperti diajak untuk menjadi penonton yang cerdas dan tak hanya memahami hal-hal yang eksplisit saja tapi juga implisit.

Selain perbedaan perspektif terhadap isi novel Max Havelaar, AS pun menunjukkan sisi lain dari tokoh sentral Havelaar. Jika kebanyakan menggambarkan bahwa Havelaar adalah sosok yang superior dan malaikat penolong. Maka Havelaar di tangan AS merupakan sosok yang lemah, juru runding yang gagal, dan tidak berdaya.

Mengapa demikian? Karena sebenarnya Havelaar tidak melakukan apa-apa untuk pembelaan terhadap penduduk, Havelaar hanya berdiplomasi lewat surat-surat saja. Dan ternyata surat-surat yang dilayangkan kepada Bupati Residen Lebak malah memperburuk suasana dan mengancam kedudukan Havelaar.

Apa yang dilakukan Havelaar kepada penduduk kalau bukan hanya mendengarkan kabar-kabar kegetiran hidup? Dan Havelaar terlalu lemah untuk bisa melawan Bupati Residen Lebak atas keputusan-keputusannya. Justru ketika tokoh sentral Havelaar digambarkan lemah, juru runding yang gagal, dan tidak berdaya. Tokoh Bupati Residen Lebak muncul sebagai penggerak cerita.

Walaupun AS memunculkan perspektif yang berbeda, tetapi AS belum berani lepas seutuhnya dari zona konstruksi cerita novel Max Havelaar. Masih ada gambaran rakyat yang menderita tanam paksa, perebutan kekuasaan, dan Havelaar yang masih menjadi tokoh yang ‘alim’.

Keutuhan simbol-simbol yang divisualkan akan lebih menarik kalau AS berani mengonversi struktur cerita Max Havelaar. Misalnya, tokoh Havelaar yang menang dalam perebutan kekuasaan, penduduk lebih mendesak Havelaar ketimbang kepada Residen Bupati Lebak, Havelaar yang menjadi dalang dibalik menderitanya penduduk atau hal-hal lain yang lebih baru.

Positifnya ialah bahwa AS berani mendobrak ketakutan-ketakutan pesan yang tidak sampai kepada penonton. Karena menampilkan pentas yang mengutamakan simbolisme ketimbang dialog-dialog antara tokoh, memiliki risiko kegagalan pesan atau bahkan penonton hanya menerima gambaran kosong apabila pementasan tersebut tidak matang utuh. Tapi semua itu bisa dihadapi dengan permainan cahaya, pemeranan tokoh yang ajeg, dan keseriusan membangun pementasan hingga klimaks cerita dapat dinikmati.

Baca juga:
Cholil Mahmud: Merasa Pede Gak Perlu Ke Gramedia
Tokoh-tokoh yang Ganjil

Sejatinya, karya sastra dari bentuk tulis bertransformasi dalam bentuk pementasan, sang sutradara harus mampu mengolahnya agar lebih segar dengan menggunakan berbagai aspek. Seperti yang diungkapkan Sapardi, bahwa segala yang ada di panggung menjadi bagian dari upaya transformasi itu: tubuh pemain, peralatan, musik, dan ujaran1. Tidak ada karya sastra yang buruk, yang ada cuma karya sastra yang tak bernilai apa-apa kalau diperspektifkan sama.

1Refrensi buku Alih Wahana karya Sapardi Djoko Damono

KOMENTAR

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Singaperbangsa Karawang. Menggawangi komunitas Gubuk Benih Pena.

You don't have permission to register