Mengantar Tiga Saudari ke Atas Pentas
Membaca naskah drama Tiga Saudari (Kalabuku, 2018) karya Anton Pavlovich Chekhov seperti menyelami novel panjang, berliku, dan menguras energi. Tapi, saat membaca dialog pada lembar pertama, seolah ada semacam dorongan magis di kedua bola mata hingga terus bergerak menyusuri halaman demi halaman. Imajinasi terangsang. Tokoh-tokoh berseliweran dalam batok kepala membangun potret suasana pemanggungan dalam setiap babak.
Masalah muncul ketika tokoh utama—Olga, Masha, dan Irina mulai berbincang soal Moskow. Selain coba mendedah gagasan Chekhov, terus terang, saya terngiang untuk mengeja dan melafalkan nama-nama tokohnya sampai benar-benar fasih sehingga dengan sendirinya menikmati lakon keluarga Andrey Sergeyevitch Prozorov, Natalya Ivanova atau Natasha (tunangan Andrey yang kemudian menjadi istrinya), tiga saudari Prozorov (Olga, Masha, Irina), Fyodor Ilyitch Kuligin (guru sekolah menengah, suami dari Masha), Letnan-Kolonel Alexandr Ignatyevitch Vershinin (komandan pasukan), Baron Nikolay Lvovitch Tusenbach (letnan), Vassily Vassilyevitch Solyony (kapten), Ivan Romanitch Tchebutykin (dokter militer), Alexey Petrovitch Roddey (letnan dua), Ferapont (portir dua dari Dewan Daerah), Anfisa (pengasuh, wanita tua berusia 80 tahun).
Berlatar belakang keluarga militer cukup terhormat, naskah lakon Tiga Saudari menggunakan bahasa dan tutur kata formal dalam dialog-dialognya. Meski begitu, hal tersebut tak akan mengganggu pembaca untuk memahami teks dan peristiwa terjadi.
Pada Babak I, pembaca sudah disodorkan dengan percakapan panjang tentang kematian Ayah—seorang jenderal di keluarga Andrey Sergeyevitch Prozorov. Percakapan bernada satire bahkan cenderung sarkas. Serta dengan foot note atau catatan kaki bertebaran.
OLGA: Hari ini, tepat satu tahun Ayah meninggal. Lima Mei3, tepat pada hari pesta namamu4, Irina. Hari itu sangat dingin, salju pun turun. Aku merasa seharusnya aku mati saja; kau berbaring terengah-engah seolah hampir mati. Tapi sekarang satu tahun sudah berlalu dan kita dapat memikirkannya dengan tenang; lihat kau sekarang, kau sudah mengenakan gaun putih5, wajahmu pun lebih segar. (jam berdentang menunjukkan pukul dua belas). Saat itu, jam juga berdentang (terdiam). Aku ingat musik dari band dan suara tembakan di pemakaman ketika mereka membawa peti mati. Meskipun Ayah seorang jenderal, namun tidak banyak orang yang hadir. Hujan turun. Deras bersama salju.
IRINA: Mengapa diingat-ingat lagi?!
BARON TUSENBACH, TCHEBUTYKIN dan SOLYONY muncul di belakang, dekat meja ruang makan.
OLGA: Hari ini cuacanya hangat, coba buka jendelanya, namun sayang pohon-pohon itu belum ditumbuhi daun. Ayah diangkat menjadi jenderal dan pindah ke sini bersama kita semua dari Moskow sebelas tahun yang lalu dan masih kuingat dengan jelas Moskow di awal bulan Mei, bunga sudah merekah; hangat, bermandikan sinar matahari. Sebelas tahun yang lalu, dan aku dapat mengingatnya seolah-olah baru kemarin kita meninggalkan Moskow. Oh, Tuhan! Aku bangun pagi ini dan kulihat cahaya matahari. Musim semi dan rasa bahagia bergejolak di hatiku. Aku sangat ingin kembali ke rumah!
TCHEBUTYKIN: Pengaruh iblis!
TUSENBACH : Ya! Tidak masuk akal.
MASHA, masih merenung pada bukunya, bersiul dengan lembut
OLGA: Jangan bersiul, Masha. Bisa-bisanya kamu! (jeda.) Seharian mengajar di sekolah lalu memberi les sampai malam membuat kepalaku pening dan pikiranku yang murung membuat aku tua. Selama empat tahun aku bekerja di sekolah itu aku merasa kekuatan dan keremajaanku perlahan hilang hari demi hari. Namun pada saat yang bersamaan, keinginanku semakin kuat untuk…
‘Lima Mei’ dalam dialog Olga memiliki catatan kaki. Penanggalan tersebut menjelaskan Rusia belum beralih ke kalender Gregorian hingga revolusi tahun 1917, sehingga kalender Rusia terlambat 12 hari (hlm. 123). Artinya, Chekhov tahu betul dan punya alasan khusus mengapa menggunakan penanggalan semacam itu. Pun dengan ‘pesta nama’ yang diterjemahkan dari name-day, sebuah tradisi umat Kristiani merayakan hari Santa dan Santo pelindung mereka.
Tanggal 5 Mei (dalam kalender lama) adalah perayaan untuk St. Irina. Perayaan name-day di Rusia mirip dengan pesta perayaan ulang tahun. Di Indonesia, umat Kristiani tidak merayakan name-day perorangan; hanya pada lembaga atau gereja tertentu saja.
Mengadaptasi perbedaan budaya Rusia dan Indonesia, momen ulang tahun bisa hadir sebagai alternatif pengadaptasian peristiwa ini ke panggung teater Indonesia (hlm. 124). Meminjam ungkapan Hassanudin dalam Drama Karya dalam Dua Dimensi, Chekhov sebagai tokoh teater realisme menduduki kriteria berbeda dengan tokoh teater realisme di Eropa. Di Rusia, realisme berkembang karena dipengaruhi oleh keadaan masyarakat dan kebudayaan sendiri (1996: 52).
Chekhov tampak menguatkan karakter tokoh melalui dialog sebagai ruang penekanan gaya bahasa satire nan sarkas. Gaya bahasa tersebut merujuk pada kondisi sosial masyarakat saat itu. Sebut saja tokoh Olga, seorang guru sekolah menengah berkarakter antagonis. Chekhov menggunakan variasi bahasa sindiran untuk memberi petunjuk bahwa tokoh tersebut sesungguhnya berwatak penakut. Tidak berani berterus terang atau tidak berani tegas dalam menyampaikan pikirannya. Dari sana, tercipta semacam hubungan antara penulis naskah dan tokoh-tokohnya. Cerita mengalir lalu bermuara kepada alur suasana tertentu, misal komedi atau tragedi.
Namun, faktanya, bagi Konstantin Stanislavski, ketika lakon empat babak itu belum diberi judul Tiga Saudari dan dimainkan, dirinya merasakan beberapa kesulitan. Lakon ini terasa tak hidup dan kosong tanpa emosi dan rasa.
Chekhov sempat merasa ‘tersinggung’ ketika lakon ini dikatakan sebagai drama tragedi, padahal dia menyebutnya komedi. Chekhov pun berpikir bahwa lakonnya sudah disalahartikan dan hal itu merupakan suatu kegagalan. Juga ia tidak suka menjelas-jelaskan sesuatu di luar teks. Chekhov beralasan semua sudah terang dan ada dalam naskah.
Baca juga:
– Paria, Penindasan dalam Kasta
– Merentang Ruang Nur Utami S.K
Pertanyaannya, bagaimana penggarapan bahasa dalam drama bisa memberikan indikasi lain atau efek tertentu bagi pembaca? Hasanuddin berpendapat, pada hakikatnya, bahasa yang digunakan oleh tokoh-tokoh peristiwa panggung, kesemuanya merupakan kemahiran pengarang dalam menetapkan pilihan kata dan aturan kalimatnya. Di dalam penggarapan bahasa drama, pengarang yang mahir akan membedakan penggunaan gaya bahasanya, jika tokoh ceritanya telah dihadapkan dengan perbedaan peran, suasana, emosi, dan lain-lain. Pengarang tidak dapat dikatakan berhasil dalam penggunaan bahasa jika pelukisan perwatakan tokohnya monoton atau mendatar saja untuk semua kondisi dan situasi (1996: 102).
Bagaimanapun naskah bagus belum tentu bisa dipentaskan dengan baik. Begitu pun sebaliknya. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Rusia, Chekhov cukup detail membangun dan memosisikan tokoh-tokohnya sedemikian rupa sehingga memiliki karakter dan perangai berbeda satu sama lain. Namun, karena semua tokohnya dewasa dan menggunakan bahasa formal, lakon Tiga Saudari terkesan seperti drama telenovela. Bisa jadi akan terasa membosankan apabila dipertunjukan dengan bulat-bulat sesuai dengan naskahnya (terjemahan). Mesti ada kerja perubahan-perubahan dan adaptasi, menyesuaikan dengan konteks masyarakat suatu wilayah tertentu, misalnya di Indonesia.[]
Identitas Buku
Judul Buku : Tiga Saudari
Penulis : Anton Chekhov
Penerjemah : Trisa Triandesa
Penerbit : Kalabuku, Yogyakarta, Cetakan 1, Januari 2018
Tebal : xvi + 157 hlm
ISBN : 978-602-19352-6-2