Menerka Mata yang Enak Dipandang
Buku merupakan media bagi karya sastra, khususnya cerpen agar memiliki ruang lebih banyak dan bisa dibaca kembali. Kumpulan cerpen yang dihimpun bisa menghadirkan semangat zaman dan perspektif pembaca terhadap fenomena sosial, budaya, dan politik. Misalnya saja Kompas, sebagai harian umum terbesar di Indonesia, memiliki tradisi memilih dan membukukan cerpen-cerpen terbaik setiap tahunnya. Banyak nama-nama pengarang, baik yang tua atau muda. Dan, nyaris di setiap buku kumpulan cerpen pilihan Kompas, nama Ahmad Tohari muncul.
Bukan karena Ahmad Tohari merupakan pengarang ternama, melainkan karena karya-karyanya memang layak terpilih sebagai cerpen terbaik. Terlepas dari hal itu, kita juga mengenal Ahmad Tohari sebagai penulis novel. Buku-buku novelnya lebih banyak daripada buku kumpulan cerpennya. Ahmad Tohari juga menerbitkan buku kumpulan cerpen yang pernah dimuat di sejumlah media massa. Sampai saat ini, ada 4 buku kumpulan cerpennya yang terbit. Di antaranya, Senyum Karyamin (Gramedia Pustaka Utama, 2013/pertama kali terbit tahun 1989), Nyanyian Malam (Grassindo, 2000), Rusmi Ingin Pulang (Matahari, 2004), dan Mata yang Enak Dipandang (Gramedia Pustaka Utama, 2013).
Kumpulan cerpen terbaru, yakni Mata yang Enak Dipandang cetakan kedua (2015), menghimpun lima belas cerita pendek. Kelimabelas cerpennya pernah dimuat di media cetak antara tahun 1983 hingga 1997. Buku kumpulan cerpen yang terbilang baru ini, menghadirkan kesan pada saya atau barangkali pembaca yang lain, perspektif berbeda terhadap kepengarangan Ahmad Tohari. Boleh jadi, ini merupakan ekspektasi dan dugaan saya bahwa penerbit berusaha menampilkan perspektif lain pengarangnya; mencoba berbeda dari segi tema dan kekhasan pengarangnya.
Saat berhadapan dengan buku ini, terbersit dalam pikiran saya cita rasa romantisme yang menyoroti persoalan perempuan. Bagaimana tidak, secara visual, kemasan buku kumpulan cerpen ini, menyeret perspektif pribadi saya terhadap pengarang dan karyanya. Buku yang didesain secara minimalis dengan sepasang mata lentik sebagai ilustrasinya, membuat saya menduga bahwa isinya berbeda dengan cerpen-cerpen Tohari yang pernah saya baca sebelumnya.
Selain sebagian cerpen pernah dipublikasikan di media massa, sebagian lainnya juga ada dalam buku kumpulan cerpen lain. Misalnya, cerpen “Harta Gantungan” dimuat dalam buku kumpulan cerpen Cerita-cerita Pengantin (Galangpress, 2004). Sembilan cerpen yang pernah dimuat di Harian Umum Kompas dan Majalah Kartini kurun waktu 1983 sampai 1997 di antaranya, “Bulan Kuning Sudah Tenggelam” (Kartini, Oktober 1983), “Daruan” (Kompas, 1990), “Jebris” (Kartini, no.443, 1991), “Penipu yang Keempat” (Kompas, 1991), “Mata yang Enak Dipandang” (Kompas, 1991), “Pemandangan Perut” (Kompas, 1994), “Warung Penajem” (Kompas, 1994), “Kang Sarpin Minta Dikebiri” (Kompas, 1996), dan “Paman Doblo Merobek Layang-Layang” (Kompas, 1997). Cerpen “Salam dari Penyangga Langit” pernah terbit di Harian Banyumas pada 2003, di dalam buku tidak disebutkan medianya.
Cerpen “Rusmi Ingin Pulang” tidak diberi titimangsa pemuatan atau penerbitan. Akan tetapi, kita bisa menemukan cerpen berjudul “Rusmi Ingin Pulang” pada buku kumpulan cerpen Tohari yang terbit tahun 2004. Cerpen-cerpen lainnya seperti “Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan”, “Sayur Bleketupuk”, “Dawir, Turah, dan Totol”, dan “Harta Gantungan”, tidak memiliki riwayat pemuatan maupun penulisan. Karenanya, dalam buku ini, lima belas cerpen yang terhimpun ini tidak disusun secara pemuatan.
Bagi Anda yang menduga bahwa buku ini mengangkat tentang romantisme atau kisah metropolis—berbeda dengan gaya dan tema yang menjadi kekhasan Ahmad Tohari, saya yakin akan mendapatkan cerita yang melebihi ekspektasi itu. Terkaan saya bisa jadi benar atau justru keliru, tetapi buku ini sudah di depan mata dan harusnya segera diulas secara mendalam.
Problematika Manusia
Sudah menjadi ciri khas yang melekat pada kepengarangan Tohari, cerpen-cerpennya selalu mengangkat gambaran kehidupan orang-orang kecil, pinggiran, termarjinalkan, dan orang-orang kalangan bawah, lengkap dengan dinamika dan problematikanya. Problematika manusia pada wilayah eksistensi, sosial, budaya keluarga, dan perempuan adalah khasanah tematik yang diangkat dalam buku ini. Lima belas cerpen yang terhimpun dalam buku Mata yang Enak Dipandang ini pun tidak lepas dari tema dan persoalan itu.
Akar persoalan sosial dalam kumpulan cerpen ini adalah kemiskinan, rakyat kecil, dan kehidupan masyarakat suburban yang dipotret dalam cerpen berjudul “Mata yang Enak dipandang”, “Dawir, Turah, dan Totol”, dan “Akhirnya Karsim Menyebrang Jalan”.
“Mata yang Enak Dipandang” adalah cerpen pembuka buku ini. Cerpen ini mengisahkan pengemis buta dan penuntunnya yang mencari peruntungan di kota. Mirta, pengemis buta yang biasa menggunakan jasa Tarsa untuk menuntunnya berjalan, sedang merasa diperalat oleh Tarsa. Mirta berada dalam kondisi yang tidak baik, sementara Tarsa menolak menuntunnya. Alasannya, karena Mirta menolak memberikannya segelas es limun. Akhirnya, mereka berdua berada dalam kondisi tidak saling menguntungkan. Tarsa terjebak gengsi untuk memaksa Mirta menuruti keinginannya dan Mirta tidak mau terus-terusan dikerjai Tarsa. Padahal, mereka belum mendapat hasil dari pekerjaan mengemis.
Saat Mirta beranjak dari tempatnya berdiri ia roboh karena dehidrasi. Tarsa tidak lantas menolong. Ego Tarsa terlalu besar untuk itu. Tarsa akhirnya mengalah terhadap egonya dan menolong Mirta dengan imbalan segelas limun. Akhirnya, saat kereta datang, Tarsa mendesak Mirta untuk pergi mengemis. Tetapi, Mirta menolak. Ia hanya ingin mengemis di kereta api kelas 3. Karena menurutnya, penumpang kelas 3 punya mata yang enak dipandang. Mata yang suka memberi. Tidak seperti penumpang di kereta kelas satu. Menurut Mirta, pandangan mereka jauh dari kebaikan.
“Ah , betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang. Ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak dipandang.”
Membaca cerpen ini, kita seakan-akan berenang dalam nostalgia. Terbersit ingatan suasana stasiun kereta: pengamen, pencopet, pedagang yang hilir-mudik setiap kali kereta berhenti, dan pengemis buta yang dituntun menyusuri peron, memelas pada wajah di balik jendela kereta—walaupun pada masa sekarang ini beberapa daerah mungkin fenomena itu sudah tak ada. Ahmad Tohari memotret fenomena itu dengan detail, sehingga berhasil memeras simpati pembaca terhadap tokoh-tokohnya. Inilah salah satu kekuatan cerpen ini: gaya bahasa yang digunakan dalam narasinya merupakan ciri khas Tohari dalam menulis cerpen.
Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang masuk ubun-ubun. (hal.10)
Dinamika masyarakat sub-urban juga dipotret dalam cerpen berjudul “Dawir, Turah, dan Totol”. Mengangkat sisi lain kehidupan yang tidak banyak dirasakan orang banyak. Dalam cerpen ini, kita diajak melihat lebih dekat fenomena denyut kehidupan kota. Dawir merupakan pengamen yang menghabiskan hari-harinya di terminal. Kehidupannya juga tidak lepas dari Turah dan Totol. Dawir berusaha membahagiakannya. Mereka adalah manusia-manusia terminal yang hidup bagaikan sebuah keluarga. Padahal, Turah bukanlah istrinya, dan Totol juga belum tentu anak hasil hubungan mereka. Hubungan antar manusia ini boleh jadi sebuah fenomena di dalam masyarakat sub-urban.
Pengarang menggunakan bahasa yang lugas dan efektif. Menariknya, Ahmad Tohari tidak menggunakan teknik dialog langsung untuk menggambarkan watak tokohnya. Penggambaran peristiwa dan perilaku tokoh-tokoh cerpen ini berpusat pada sudut pandang pencerita. Simak saja kutipan cerpennya berikut ini.
Lelaki pincang itu malah tersenyum kepada Dawir. Dia punya dua ketupat. Dawir diberi satu. Dawir ingin menolak sebab kaki kanan lelaki itu busuk dan bau. Tapi Dawir lapar. Tadi malam emak tidak ngamen atau apa, malah main sama tukang semir. Dan Dawir tidak diberi makan. (hal. 122)
Ini jam lima sore. Udara tidak lagi memanggang. Bau pesing dari bangunan bekas kakus tidak begitu menusuk, karena sisa kencing tidak menguap. Dan di ruang antara bekas kakus dan tembok bekas bangunan mushola itu ada cerita. (hal. 123)
Dawir pergi ngamen lagi, Mak? Tanya Totol. Tidak, Jawab Turah. Kemana? Kejar Totol. Paling-paling dibui, jawab Turah sambil menghabiskan isi kotak Holland Bakery-nya. Juga minum, terus merokok. (hal. 125)
Di samping perilaku sosial yang jauh dari norma, masih ada kesadaran akan nilai-nilai agama yang menjadi batas toleransi yang dimunculkan pada tokoh Dawir sebagai manusia terminal.
….Turah pernah meminta Dawir menggelar kardus di mushala saja, jagan di luar. Kan tidak ada angin, lebih terlindung, kata Turah. Tapi Dawir tidak mau. Mushala itu tempat berdoa, jawab Dawir. Turah belum menyerah. Dia bilang, kok banyak lesbi atau hombreng yang main di situ? Kok tidak apa-apa? (hal. 121)
Pada cerpen ini, pengarang seperti sedang menuliskan pergulatan dan keresahan kalangan bawah: menulis kritik bagi pemerintah, tanpa kesan menghardik apalagi menggurui. Kritik sosial juga bisa dirasakan dalam cerpen berjudul “Akhirnya Karsim Menyebrang Jalan”.
Cerpen “Akhirnya Karsim Menyebrang Jalan” dibuka dengan berita kematian Karsim, seorang petani yang berusaha menyeberang jalan. Yang berbeda pada cerpen ini adalah sentuhan surealis dalam penceritaannya. Tokoh Karsim digambarkan dalam bentuk arwah. Karsim bisa melihat sendiri mayatnya diusung dengan keranda menyeberang jalan.
…. Tidak mudah bagi Karsim buat menyeberang. Apalagi matanya mulai baur. Sudah tiga kali mencoba namun selalu gagal. Setiap kali mencoba melangkah ia harus surut lagi dengan tergesa. Klason-klakson mobil dan motor ramai-ramai membentaknya. Wajah-wajah pengendara adalah wajah raja jalanan. Wajah yang mengusung semua lambang kekotaan; keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa. (hal. 90)
Nada satir yang tajam, lugas, dan menohok menjadi sebuah kritik yang menyeret kita ke dalam perenungan. Menekan ego dan keangkuhan kita sebagai manusia. Sekaligus menjadi ironi dalam perilaku sosial kita di masyarakat. Ketiga cerpen di atas, cukup mewakili potret kehidupan kaum bawah, serta kritik atas problematika sosial masyarakat sub-urban.
Lain pula dengan cerpen berjudul “Daruan” yang mengangkat—dalam pandangan saya—persoalan eksistensi dan idealisme. Cerpen ini menceritakan tentang penulis novel yang berharap bukunya bisa diterbitkan oleh penerbit besar dan dipajang di rak toko-toko di kota. Namun, Daruan harus menerima kenyataan bahwa novelnya hanya bisa diterbitkan oleh penerbit kecil. Lewat Muji, kawan kecilnya, novelnya terbit. Meskipun tak sesuai dengan apa yang diharapkan Daruan, tapi ia cukup bangga. Merasa bahwa ia telah berhasil membuktikan keberadaan dirinya. Tokoh dalam cerpen “Daruan” mewakili perspektif saya terhadap gaya khas Ahmad Tohari; tokoh-tokoh yang diciptakan dalam cerpen-cerpennya adalah manusia-manusia yang menghadapi kerasnya kehidupan dengan kepala tegak tanpa menunjukkan keangkuhan.
Cerpen berjudul “Bila Jebris Ada Di Rumah Kami” mengangkat problematika masyarakat dalam menghadapi fenomena pekerja seks komersial. Jebris, seorang janda beranak satu yang diceraikan suaminya lantaran sering main serong. Tabiat Jebris yang sering serong itu diduga merupakan tabiat turunan dari ibunya. Jebris sudah kebal dengan gonjang-ganjing warga. Ketika Jebris ditangkap polisi, yang mengalami konflik batin adalah Sar, sahabatnya sejak kecil. Pada satu sisi, Jebris adalah aib bagi warga kampung. Terlebih, kampung tersebut kental dengan nuansa agama. Sisi lainnya, Jebris merupakan sahabat Sar sejak kecil. Sar lebih tahu Jebris dari pada warga lain.
Ayah Jebris mendatangi suami Sar untuk meminta pertolongan. Pasalnya, jika Jebris tidak pulang, tidak akan ada yang mengurus anaknya yang bernama Mendol. Akhirnya, Ratib, suami Sar menawarkan solusi agar Jebris bekerja di rumahnya.
…. Diam-diam Jebris sudah mulai berani menerima lelaki di rumahnya yang hanya beberapa langkah dari surau dan dekat sekali dengan rumah Jebris….
“Kang Ratib, kata orang, keberkahan tidak akan datang pada empat puluh hari di sekitar tempat mesum. Apa Iya kang?”
“Ya, mungkin.” (hal.24)
Ada norma-norma adat yang diungkapkan oleh cerpen ini. Realitanya, norma-norma itu hidup dalam tatanan masyarakat. Akan tetapi, pesan-pesan tersebut tidak terasa menggurui. Justru memberikan kesadaran kepada pembaca, sekaligus mendorong pembaca untuk bersikap empatik terhadap persoalan yang sedang dihadapi perempuan yang direpresentasikan dalam cerpen ini.
Senada dengan realitas dalam cerpen di atas; menyoroti problematika perempuan, cerpen berjudul “Rusmi Ingin Pulang” pun demikian. Cerpen ini, menceritakan tentang Rusmi seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Kehidupan Rusmi berubah setelah kematian suaminya. Setelah mencoba bertahan dalam kesusahan, akhirnya Rusmi merantau ke Jakarta. Desas-desus warga tentang Rusmi tidak sepenuhnya benar. Rusmi mungkin bukan seorang pekerja seks komersil. Namun, selintingan yang membudaya di masyarakat, membuat Ayahnya merasa risau dengan keputusan Rusmi untuk kembali ke kampung dan merasa perlu meminta pertolongan kepada Pak RT.
Jika membandingkan sosok Rusmi dan Jebris, memang ada perbedaan karakter. Namun, bisa diamati perspektif pengarang terhadap perempuan lewat teknik berceritanya. Keduanya, sama-sama diceritakan menggunakan sudut pandang juru cerita. Pengarang mencoba mengambil jarak dengan tokoh rekaannya. Pengarang memotret realita kehidupan dan menyerahkan perspektif ini kepada pembaca. Persoalan perspektif perempuan ini memang jadi tema yang biasa. Namun, kedua cerpen yang mengangkat fenomena pekerja seks komersial dalam kumpulan cerpen ini sudah barang tentu bisa dijadikan bahan kajian sastra yang menarik.
Problematika masyarakat yang beragam dalam kumpulan cerpen ini sekiranya bisa dijadikan sebuah kajian sosial dan budaya. Misalnya pada cerpen berjudul “Warung Penajem” dan “Salam dari Penyangga Langit”. Cerpen-cerpen yang sarat dengan adat, budaya, kepercayaan, dan spiritualitas.
Cerpen berjudul “Warung Penajem”, misalnya. Cerpen ini sarat akan nilai-nilai dan perilaku masyarakat tradisional yang menjadi fenomena kepercayaan terhadap hal-hal mistis. Cerpen yang bercerita tentang tradisi memberikan persembahan kepada dukun sebagai syarat agar ritual mistiknya berhasil, adalah gambaran realitas yang terjadi dalam tatanan hidup masyarakat kecil dan tradisional. Jum, istri Kartawi, dengan rasa tidak bersalah telah memberikan syarat itu kepada dukun agar warung dagangannya laris. Kartawi harus merelakan tindakan Jum. Ada pergolakan dalam diri Kartawi. Antara harga diri dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.
…. Kartawi tahu penajem, yaitu syarat yang harus diberikan kepada dukun agar suatu upaya mistik berhasil. Bisa berupa uang, ayam cemani, atau bahkan tubuh pasiennya sendiri. Dan para tetangga bilang, Jum telah memberikan yang terakhir itu kepada sang dukun. (hal. 56)
Cerpen ini memang menciptakan konflik antara norma, tradisi, dan harga diri. Fenomena seperti ini seolah menjadi praktik yang lumrah. Selain itu, saya teringat pada tokoh Rusmi dan Jebris. Bagaimana tokoh perempuan dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari selalu dijadikan objek budaya menggunjing, tapi jauh dari kesan menyudutkan atau diskriminasi. Semuanya diserahkan kepada interpretasi pembaca.
Ahmad Tohari sering kali menyerempet hal-hal sensitif yang ada pada masyarakat; persoalan yang kerap menimbulkan pro dan kontra. Akan tetapi, pengarang selalu berjarak dengan apa yang dikisahkannya. Pada cerpen berjudul “Salam dari Penyangga Langit”, misalnya, berfokus terhadap persoalan budaya. Pengarang memang tidak secara gamblang menyebutkan agama dalam cerpennya. Bahkan, dalam narasinya kita tidak akan menemukan pengarang menyebut agama tertentu.
Dengan gaya bahasa dan narasi yang khas, cerpen ini mengisahkan tradisi tahlil—kita ketahui tahlil merupakan polemik antar penganut agama Islam—yang akan diselenggarakan pak Marja dalam selamatan melepas anaknya yang akan berangkat menjadi TKI. Markatab mengalami peristiwa yang aneh sewaktu Kyai Tongat memimpin tahlilnya. Markatab bertemu dengan para penyangga langit dalam dimensi lain.
Setelah masuk madrasah, Markatab tahu ternyata tahlilan tidak selamanya disukai orang. Gurunya sendiri tidak membenarkan tahilan dan suka menyindir-nyindir orang yang melakukan kebiasaan itu. Tapi di kampungnya tahlilan jalan terus, hadiah pahala bacaan Kitab buat para nabi, para wali, dan arwah leluhur. Juga hadiah untuk para malaikat penyangga langit jalan terus. Setiap ada tahlilan, Markatab yang sudah tumbuh menjadi pemuda selalu ikut menjadi peserta. Alasannya bersahaja. Markatab tetap ingin menjadi bagian dari denyut kehidupan kampungnya. (hal. 159)
Jarak yang diciptakan Ahmad Tohari dalam cerpennya adalah dengan memberikan kebebasan kepada pembaca untuk memilih dan menafsirkan tradisi ini sebagai ritual yang penting atau sekadar kegiatan yang bidah.
Terakhir, yang menarik dalam kumpulannya cerpen ini adalah dimasukkannya long short story di dalamnya, yang menjadi penutup kumpulan cerpen ini. Cerpen berjudul “Bulan Kuning Sudah Tenggelam” adalah kisah mengharukan dalam keluarga. Hubungan antara anak dan orang tua, serta romantisme suami dan istri. Meskipun cerpen ini menghabiskan 40 halaman lebih, tapi kisah di dalamnya akan membuat Anda terharu dan menikmati seluruh kisahnya.
Cerpen ini bercerita tentang Yuning, anak dari pensiunan bupati Garut. Yuning berseteru dengan ayahnya soal tawaran untuk pindah rumah dari Ciamis ke Garut. Di satu sisi, Yuning tidak bisa menolak perintah suaminya. Di sisi lain, ia pun ingin membahagiakan orang tua dengan mengikuti kehendak ayahnya. Akhir cerita memang dibuat bahagia. Namun, banyak sekali nilai-nilai kearifan yang bisa dipetik dari cerpen ini.
Baca juga:
– Karyamin Tersenyum Lagi
– Seksualitas sebagai Wacana Kekuasaan
Secara keseluruhan cerpen-cerpen Ahmad Tohari dalam buku ini memberikan saya perspektif terhadap kepengarangannya. Sebagai cerpenis, adalah ciri khasnya menampilkan khazanah lokalitas, kesederhanaan, dan nilai-nilai kehidupan dalam cerita. Dari beberapa ulasan cerpen di atas, bisa kita lihat kekayaan tema yang dimiliki cerpen-cerpennya. Ia menyoroti segala sendi kehidupan dengan memotret kehidupan rakyat, perilaku sosial, tradisi, dan persoalan perempuan.
Selain itu, ia tetap memiliki ciri khas dengan penggunaan leksikon, bahasa lokal dan istilah setempat untuk dipadukan dalam dialog efektif dan kuat. Tokoh-tokoh diciptakan beragam, tapi dalam satu fondasi cerita yang sama, yakni watak-watak manusia yang memiliki kesadaran untuk bertahan pantang menyerah. Tak ada kemurungan, duka lara, atau yang melulu ratapan.
Buku ini adalah kumpulan cerita yang sempurna. Menghibur dan memberi pelajaran hidup. Mengajak untuk merenung sekaligus berontak. Saya telah selesai menerka Mata yang Enak Dipandang. Sekarang giliran Anda.[]