Membincang Cerpen Pikiran Rakyat
Hari ini, tepat keempat kalinya saya harus terseok-seok membaca cerpen yang diterbitkan HU Pikiran Rakyat. Kecuali cerpen “Tragedi-tragedi di Tramway” yang saya ulas dua minggu lalu, cerpen “Perbincangan dengan Buku-buku” karya A Fryansyna adalah cerpen ketiga yang, ah sudahlah. Sebagai seseorang yang (juga) sedang belajar menulis cerpen, saya menghormati proses panjang yang dilalui penulis, tetapi jika eksekusi mengkhianati proses panjang tersebut maka saya angkat tangan.
Beberapa hari yang lalu, saya baru saja membaca tulisan ringkas M. Aan Mansyur dalam akun Mediumnya. Saya menemukan sebuah perenungan dari kalimat sederhana yang ditulisnya seperti berikut, semua orang ingin menjadi penulis, tetapi tidak ada orang yang mau menjadi pembaca.1 Aan Mansyur memaksudkan kalimat tersebut sebagai menulis adalah perkara berpikir dan untuk bisa berpikir dengan baik kita butuh membaca banyak buku yang bagus. Oleh karena itu, bolehkah saya buka esai ini dengan pertanyaan, apakah penulis cerpen “Perbincangan dengan Buku-buku” sudah membaca banyak buku bagus?
Awalnya ekspektasi saya melambung tinggi saat membaca judul cerpen “Perbincangan dengan Buku-buku”. Apalagi dengan dua cerpen HU Pikiran Rakyat yang sudah diulas dalam laman ini, yang memiliki kualitas jauh lebih baik dibandingkan dengan empat cerpen sebelumnya. Sayang, ekspektasi tinggi tersebut harus menukik bebas saat saya selesai membaca dua paragraf pembuka. Paragraf pembuka, yang bagi banyak penulis merupakan hal utama yang harus diperhatikan saat mengeksekusi sebuah ide. Namun penulis “Perbincangan dengan Buku-buku” sepertinya kurang memerhatikan keberadaan paragraf pembuka.
Paragraf pertama sebenarnya berhasil membawa pertanyaan pembaca mengenai bagaimana kelanjutan tokoh aku. Namun, kehadiran bahasa esai yang berlebihan pada paragraf dua membuat pembaca sedikit mengernyitkan dahi. Bukan karena tidak mengerti, tapi bertanya-tanya apakah penting besaran volume otak ditulis gamblang dalam paragraf pembuka cerpen? Mari kita baca bersama paragraf kedua dari cerpen “Perbincangan dengan Buku-buku”.
Meski otakku cukup besar—volume otak lelaki dewasa sebesar 1.300 ~ 1.500 cm3 menurut para ahli, namun pengetahuanku sendiri masih amat kecil. Pengetahuanku belum seluas pengetahuan para filsuf—yang bila kau beri pertanyaan apa saja, dia bisa menjawabnya dengan bijak. Entah berapa banyak buku yang mereka lahap? Ataukah kebijaksanaan itu muncul dari usia dan pengalaman yang mereka alami dalam perjalanan hidup mereka? Jangan-jangan mereka tak pernah baca buku sama sekali? Ah, alangkah bodohnya aku kalau begitu—yang terlalu percaya dengan pepatah lama bahwa buku adakah jendela dunia, sementara para filsuf menjadi sosok yang bisa mengetahui apa saja tanpa membaca.
Bagi saya, semua kalimat dalam paragraf tersebut sangat cerewet dan menganggap seolah pembacanya tidak tahu apa-apa mengenai otak manusia. Namun, mau pembaca tahu atau tidak mengenai besaran volume otak manusia, pengetahuan umum semacam itu tidak memengaruhi jalannya cerita.
Baca juga:
– Kemungkinan Pelayarputihan Cerpen
– Tragedi yang Tak Menyedihkan
Cerpen ini dibangun dengan deskripsi tokoh aku, ia bercerita bahwa ia dapat berbicara dengan buku. Kegiatan ini bukan sebuah kisah metaforis, namun ia memang dapat berbincang dengan buku. Ia bercerita tentang percakapannya dengan buku resep masakan, resep buku masakan itu sedih karena pemilik sebelumnya kecewa terhadapnya. Tak ayal, perbincangan ini sama halnya dengan perbincangan dengan benda lain, buku tidak bercerita tentang isinya namun hal di luar itu. Saya berpikir apa bedanya jika tokoh aku dapat berbicara dengan benda lain, misalnya dengan sisir atau piring, jalan cerita tidak akan banyak berubah karena hal itu.
Buku resep masakan khas Sunda terdiam kemudian menjawab lirih. “Sebuah buku ditulis dengan objektif, begitu pula sudut pandangku. Aku hanya coba menyampaikan pendapatku saja.”
Kemudian, cerpen ini mendapatkan bumerangnya sendiri. Cerpen ini terlalu banyak menggunakan deskripsi, dan hal ini justru menjadikannya tidak nikmat untuk dibaca. Misal paragraf ketiga dalam cerpen ini.
Mungkin tak seperti itu pula. Entahlah. Takdir memaksaku akrab dengan buku. Tentu saja awalnya aku terpaksa—aku seperti kebanyakan pemuda masa kini yang enggan membaca buku. Akan tetapi, mereka akan terus berteriak menggangguku, mencari perhatianku, bila aku tak mendengarkan mereka. Ya, kau tak salah membaca. Aku tak pernah membaca buku-buku, tetapi mereka sendiri yang menuturkan isi perut mereka kepadaku—merekalah yang menyebut isi buku mereka dengan sebutan “isi perut”. Buku-buku memiliki keluhan yang ingin didengarkan manusia, dan kebetulan hanya aku yang bisa mendengar keluhan mereka.
Setelah membaca keseluruhan cerpen, saya justru mendapatkan ketidak-ajekan judul dengan isi cerpen. Awalnya saya mengartikan judul sebagai perbincangan tokoh aku dengan buku-buku yang ditemuinya dalam kehidupan. Namun ternyata cerpen ini berisi perbincangan monoton antara tokoh aku dengan pembaca yang membicarakan buku-buku. Hal tersebut dengan jelas dituliskan penulis dalam paragraf
Apa kau ingin tahu buku terburuk dari semua buku-buku yang ada di perpustakaan? Yap, tepat sekali dugaanmu. Buku-buku perpustakaan yang usang dan tak pernah disentuh sama sekali oleh manusia dalam jangka waktu yang entah sudah berapa lama. Buku-buku tua. Merekalah yang berteriak paling lantang hingga terkadang memekakkan telinga. Lebih rewel dari buku-buku lainnya. Namun. terkadang buku-buku tua itu berisi petuah paling bijak dan informasi paling penting tentang kehidupan.
Tidak ada alur yang membawa pembaca pada klimaks cerita, membuat cerpen ini terasa membosankan. Mendengarkan tokoh aku bercerita tentang mukjizatnya secara panjang lebar, tidak membuat saya berempati kepada tokoh yang ada. Cerpen ini diakhiri dengan paragraf sebagai berikut.
Begitulah. Ada saja pelajaran yang bisa kuambil dari perbincangan dengan buku-buku. Lain waktu akan kuceritakan kisah lain yang lebih spektakuler tentang mereka kepadamu. Untuk saat ini, cukup sampai di sini saja. Terima kasih telah membaca kisahku. Sampai jumpa.
Akhir cerita seakan membuat cerpen ini tidak selesai, atau terburu-buru diselesaikan, seakan masih ada cerita yang lebih spektakuler dibanding cerita buku resep yang kecewa dengan pemilik sebelumnya. Padahal cerpen ini masih bisa dikembangkan. Kisah-kisah yang lebih mengangkat identitas buku dapat ditambahkan, hal ini mungkin saja bisa lebih menarik dibandingkan penceritaan tentang volume otak.
Setelah membaca delapan ulasan untuk delapan cerpen yang dimuat HU Pikiran Rakyat. Saya memberanikan diri untuk bertanya kepada pembaca budiman, apakah kualitas karya sastra kita yang diukur dengan pemuatan karya dalam koran atau majalah hanya cukup sampai batas ini? Apakah penurunan kualitas karya sastra hanya terjadi pada beberapa media cetak, seperti HU Pikiran Rakyat yang notabene pengisi rubriknya berskala nasional? Karena sebagai pembaca sastra, saya juga membutuhkan karya yang bagus untuk dibaca setiap akhir pekannya.[]
1Dapat dibaca di https://medium.com/@hurufkecil/perpustakaan-komunitas-sebagai-utopia-nyata-378740115af0