Fb. In. Tw.

Membaca Sajak Dua Penyair dari Barat

Pertama-tama, saya ingin memohon maaf kepada para Pembaca Buruan.co yang barangkali menantikan ulasan puisi yang biasa terbit di rubrik #Bukakoran setiap hari Sabtu. Namun, kali ini terlambat tayang dikarenakan kendala remeh-temeh penulis yang tak bisa dihindari. Semoga keterlambatan ini tak mengurangi dukungan dan rasa cinta teman-teman terhadap Buruan.co.

Seperti biasanya, saya kebagian jatah untuk mengulas puisi yang terbit di harian Kompas (7/4/2018). Kali ini saya akan mengulas puisi dari dua penyair yang karyanya terbit bersama, Esha Tegar Putra dan Kiki Sulistyo. Dua dari sekian penyair yang kini sedang berkibar di jagat sastra Indonesia. Dua penyair sama-sama berasal dari Barat. Esha berasal dari Sumatera Barat, sedangkan Kiki berasal dari Nusa Tenggara Barat.

Kita mulai dengan membaca sajak karya Esha Tegar Putra berikut ini.

Mengajak Sabai

Kembali ke arah selat, Sabai.
Sebelum kota ini membuat tumitmu
terus membentur pembatas jalan.

Kota ini akan terus menghitung dengkur
Dibuatnya kita mimpi berlari di antara kedai-kedai pakaian
menelusuri gang-gang sempit
dengan suara-suara mesin jahit terus menderu

Dan akan terus ada ratap pukimak mengharu biru itu. 

Kita akan terjaga, akan terus dibuat terjaga
Dengan pandangan mata menghampang rumah-rumah tinggi
tiang-tiang tinggi, jalan-jalan membenam-meninggi.
Kita dibuat terjaga di meja makan dengan hidangan pagi
menghadapi ayam goreng potong empat
gulai ikan karang dengan insang membiru
dan bau kulit sepatu lama direbus dalam panci.

Kembali, sebelum mambang belang lima
penunggang hantu kuda jantan tak bermoncong
dan tak berpinggang itu tiba dari masa lalu
merampas selimut tidur hingga pakaian dalammu
merebut buku tata cara membuat kerang saus padang
dengan sampul bergambar pisau
dan sendok goreng menyilang, kesukaanmu itu.

Ke arah selat, Sabai
mari ke ruang di mana tidur
tidak dihitung dari berapa kali kita mendengkur.

Depok, 2017

Mendengar nama Sabai yang disamat dalam sajak ini, saya teringat cerita rakyat Minangkabau “Sabai Nan Aluih”. Cerita tentang seorang anak perempuan dari pasangan Raja Babanding dan Sadun Saribai. Sabai Nan Aluih diceritakan sebagai gadis cantik dan pemberani. Namun, apakah Sabai dalam sajak “Mengajak Sabai” ada hubungannya dengan adik dari Mangkutak Alam ini? Bisa ada, bisa juga tidak.

Bila kita melihat penanda-penanda dalam sajak ini, mungkin ada sedikit hubungan dengan Sabai dalam cerita rakyat, setidaknya hubungan itu menunjukkan jenis kelamin dari tokoh Sabai dalam sajak Esha. Kedua-duanya merupakan tokoh perempuan. Penanda-penanda yang cukup identik dengan dunia perempuan itu, misalnya kedai-kedai pakaian atau buku tata cara membuat kerang saus padang. Meski, tentu saja hari ini penanda macam itu tidak mutlak menjadi milik dunia perempuan. Saya sendiri senang mengamati kedai pakaian (bahkan mendesain t-shirt) dan tak jarang sibuk membuka artikel resep di internet sebelum anteng memasak di dapur untuk anak dan istri saya.

Sajak “Mengajak Sabai” ini, saya kira, semacam renungan aku lirik atas kesadaran ruang yang dihadapinya. Bahwa ia tak lagi berada di tempat yang ideal bagi dirinya dan mengingatkan juga tokoh Sabai untuk kembali ke tempat yang lebih baik dari kota yang mereka tinggali saat ini. Tempat ideal itu berada di arah selat. Bisa berada di selat, atau berada di arah menuju selat. Di awal sajak, aku lirik mengatakan, Kembali ke arah selat, Sabai. Dan, larik pertama pada akhir sajak, aku lirik kembali menegaskan untuk kembali, ke arah selat, Sabai.

Kota yang digambarkan dalam sajak ini, semacam teror bagi aku lirik dan tidak berfaedah pula bagi tokoh Sabai. Sungguh gambaran kota penuh rayuan sekaligus ancaman manakala Dibuatnya kita mimpi berlari di antara kedai-kedai pakaian/menelusuri gang-gang sempit/. Tak ada waktu untuk berhenti sejenak dari rutinitas dengan suara-suara mesin jahit terus menderu//Dan akan terus ada ratap pukimak mengharu biru itu.//

Dalam sajak ini, saya kira kali ini Esha tidak terlalu menonjolkan identitasnya sebagai penyair Minangkabau. Maksud saya, Esha tidak menyusun sajaknya ini dengan menggunakan banyak kosakata, atau kiasan khas Minangkabau—yang biasanya cukup banyak ia gunakan dalam sajak-sajaknya. Kalau pun ada kata pukimak, saya kira kebanyakan pembaca sudah tahu arti kata pukimak secara harfiah. Dan, kata itu pun tak berasal dari kebudayaan Minang.

Semoga Sabai-Sabai dalam kehidupan nyata mendengar aku lirik untuk kembali ke arah selat di mana tidur/tidak dihitung dari berapa kali kita mendengkur. Selain “Mengajak Sabai”, ada satu lagi sajak Esha yang sama terbit berjudul “Ubai”. Namun, pada kesempatan kali ini saya ulas satu sajak dulu ya.

Kita kini akan berada di antara “Serat Jamadat”,  “Di Hadapan Peta Lama”, “Pekik”, “Gelap Lidah”, dan “Tufil” karya Kiki Sulistyo. Sama seperti Esha, saya juga akan membaca salah satu sajak dari Kiki.

Serat Jamadat

Pudar juga pijar serat jamadat
di kantung jemaat, waktu ia berjalan,
udara mendangkar beban, dan grup
unggas meletupkan ampas.

Ragu memutuskan anju, ia berdiri,
berdiri saja bak patung budak. Kaki
kiri atau kanan lebih dulu diayunkan?
Di kiri belalai sungai, di kanan taring tebing.
lurus di depan, gelap hutan
memeram geracak:

masih jauh buldan itu, di balik bunyi kayu.

Tak ada bimbingan, ia sesat sepenuhnya.
Lebah tahu jalan kembali, dandelion mengerti
anemokori biji demi biji. Sedang tiada bukan
ia bahkan belum jelang jerangkah jalan.

Mulutnya berkecumik, lisannya demikian pelik.
Setelah semua ajaran dan ujaran, senyatanya,
ia batang basah, bungkas oleh cakar binatang buas.

(Kekalik, 2018)

Menarik membaca sajak Kiki Sulistyo yang disusun dengan kata-kata yang tidak familiar dalam bahasa yang sehari-hari digunakan sebagai lingua franca. Misal, kita menemukan jamadat, mendangkar, anju, geracak, buldan, anemokori, jerangkah, berkecumik, dan bungkas. Dengan cara menulis sajak seperti ini, Kiki berhasil membuat pembaca—oke lah saya, membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia. Membuat KBBI ada manfaatnya.

Saya kira dalam sajak “Serat Jamadat”, kata-kata itu tak sekadar menjadi interior estetika sajak Kiki, tetapi ia juga memiliki fungsi yang membangun nada sajak ini menjadi lebih berirama. Misal, irama jamadat dan jemaat dalam bait pertama yang berbunyi demikian: Pudar juga pijar serat jamadat/di kantung jemaat, waktu ia berjalan. Atau, memilih mendangkar yang unsur bunyinya lebih pas daripada memilih menggulung untuk larik berikutnya: udara mendangkar beban, dan grup/unggas meletupkan ampas.

Baca juga:
Perjalanan Rohani Aku Lirik
Paman dan Kucing

Begitu juga kata-kata lainnya yang dipilih dan disusun Kiki sebagai lapis intrinsik sajaknya. Dengan memilih diksi secara telaten menjadikan sajaknya lebih renyah ketika dibaca, meski tentu saja untuk memahaminya mesti buka kamus dulu. Bersyukurlah bagi teman-teman yang telah menyimpan perbendaharaan kata-kata tadi dalam memori sehingga tidak harus buka kamus dulu seperti saya.

Sajak “Serat Jamadat” ini sendiri seolah ingin mengisahkan tentang seseorang yang tersesat di tengah jalan. Seseorang yang disebut “ia” dalam sajak ini tersesat karena pengetahuannya yang terbatas, atau bisa juga karena keyakinan butanya. Bahkan ia ragu dengan tujuannya, seperti dapat kita baca pada kalimat ini, Ragu memutuskan anju, ia berdiri,/berdiri saja bak patung budak.

 Tokoh ia yang dikisahkan dalam sajak ini, demikian mengenaskan. Bahkan ia tak lebih dari lebah juga dandelion, …Lebah tahu jalan kembali, dandelion mengerti/anemokori biji demi biji. Sedang tiada bukan/ia bahkan belum jelang jerangkah jalan. Ia hanya batang basah, …Setelah semua ajaran dan ujaran, senyatanya,/ia batang basah, bungkas oleh cakar binatang buas. Semoga kita tak seperti ia.[]

KOMENTAR

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register