Membaca Riwayat Halimunda, Melintasi Imajinasi Kolonial
/i/
Cantik Itu Luka merupakan novel pertama yang diterbitkan Eka Kurniawan. Sebelum diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, novel ini pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Jendela pada penghujung tahun 2002. Dapat dikatakan, melalui novel ini, Eka Kurniawan mulai diperbincangkan dan diperhitungkan dalam peta kesusastraan Indonesia. Cantik Itu Luka, setidaknya telah diterbitkan di 27 negara dalam pelbagai bahasa.
Tak sedikit pembaca atau pemerhati sastra memuji novel ini. Tak sedikit pula mengkritiknya. Salah satu kritik paling keras ditujukan Maman S. Mahayana i. Mahayana menanyakan model estetika apa yang dimainkan Eka Kurniawan di dalam Cantik Itu Luka. Selain itu, menurutnya, terdapat penyimpangan fakta sejarah yang ditampilkan Eka Kurniawan. Oleh sebab itu, Mahayana menyebutnya sebagai novel “ngawur”.
Sebaliknya, Katrin Bandel ii membantah semua tuduhan Mahayana tersebut. Menurutnya, novel Eka Kurniawan memang tak ditulis dalam gaya realis sebagaimana lazimnya karya sastra yang mengangkat tema sejarah. Eka Kurniawan menawarkan alternatif sejarah Indonesia yang tak pernah kita temui di buku-buku pelajaran sejarah Indonesia. Lagi pula, novel ini memang tak dimaksudkan untuk menjadi novel sejarah atau sebagai upaya ‘pelurusan’ sejarah yang justru akan terkesan menggelikan.
Tulisan ini berupaya untuk menelusuri riwayat Kota Halimunda yang diceritakan dalam Cantik Itu Luka dengan pelbagai peralihan kekuasaan serta dampak-dampak yang ditimbulkannya kepada para tokoh utama. Cantik Itu Luka juga dapat dipandang sebagai novel poskolonial yang dituturkan dengan gaya realisme magis. Hal ini sejajar dengan argumen R. Setiawan.
Sebagian besar konten fiksi realisme magis adalah apa yang tertulis dari sudut pandang pascakolonial yang mempertentangkan pertanggungjawaban pembelaan dan resistansi narasi logis khas budaya barat. Diskusi tentang realisme magis yang melampaui batas, lintas budaya dan pascamodern, merupakan suatu alternatif yang bertujuan untuk mengacaukan kemantapan kebenaran kognitif, fakta, dan bahkan sejarah yang otoritatif iii.
Novel dengan gaya realisme magis dapat dipilih oleh pengarang dari negara bekas jajahan, seperti Indonesia, sebagai strategi budaya serta upaya perlawanan terhadap kemapanan Barat. Novel realisme magis juga dapat menjadi pertentangan terhadap novel-novel modern semacam Robinson Crusoe (1719) karya Daniel Defoe yang menempatkan pihak terjajah sebagai objek, sehingga perlawanannya menjadi total. Menghancurkan sisa-sisa kolonial sekaligus menentang logika Barat dengan membaurkan antara yang riil dan magis.