Fb. In. Tw.

Membaca Kepingan Impian Amerika

Pengalaman antara membaca novel dengan cerpen akan berbeda. Membaca cerpen lebih hemat dalam segi waktu. Terutama bagi yang merasa tidak memiliki waktu yang luang. Membaca satu judul cerpen tidak akan menghabiskan waktu lebih dari 15 menit. Sementara, membaca novel bisa menghabiskan waktu berhari-hari, pekan, bahkan bulan. Tergantung pada tingkat kesulitan cerita dan intensitas membaca. Ulysess karya James Joyce misalnya, sekalipun memiliki latar cerita 1 hari, rasanya diperlukan waktu yang luang untuk menuntaskannya.

Namun, ada juga novel pendek yang bisa dibaca tidak sampai satu hari. Misalnya Rumah Kertas (Marjin Kiri, 2016) karya Carlos María Domínguez yang tebalnya hanya 76 halaman. Atau novel Of Mice and Men karya John Steinbeck, dalam versi audiobook yang dibacakan oleh Gary Sinise berdurasi 3 jam lebih 10 menit dan 48 detik.

Karena hemat dalam segi waktu, membaca cerpen sangat cocok berdampingan dengan kegiatan seperti menunggu kereta, pesawat, antrean BPJS, atau aktivitas lain yang memerlukan alat pembunuh waktu. Selain bisa dibaca tuntas dalam sekali duduk, cerpen memilki alur, konflik, dan penokohan yang jauh lebih sederhana daripada novel atau roman.

Namun, bukan berarti cerpen dapat diartikan sebagai jenis bacaan sastra yang ringan. Idealnya, sekalipun pendek dan singkat, bobot pengalaman dari membaca cerpen mampu setara dengan novel. Seperti yang ditulis Budi Darma bahwa sastra adalah ilmu jiwa. Membaca cerpen harus juga bisa mendapat ilmu jiwa secara utuh. Dengan begitu, membaca atau menulis cerpen menjadi kegiatan yang lebih menarik, jauh dari kesan iseng.

Pengalaman membaca novel dengan kumpulan cerpen memang berbeda. Buku kumpulan cerpen lebih memberi keleluasaan kepada pembaca. Misalnya dalam hal dari mana kita hendak memulai membaca. Seperti ketika saya membuka buku kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (Bentang Pustaka, 2015) karya Eka Kurniawan. Alih-alih memulai dari halaman pertama, saya langsung melompat ke cerpen yang dijadikan judul buku.

“Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi” ditulis pada 2012. Premis cerita ini sudah dibocorkan oleh pengarang dari judulnya. Seorang perempuan yang patah hati karena gagal menikah, lantas memutuskan untuk mengikuti mimpinya untuk bertemu dengan lelaki di dalam mimpinya. Lalu untuk apa membaca cerita yang sudah spoiler sejak dari judul?

Meski inti ceritanya sudah bisa ditangkap dari judul, tapi proses pencarian dan mentalitas tokoh cerita menjadi salah satu kekuatan dari cerpen ini. Bagaimana kondisi kejiwaan Maya dapat mendorong dirinya untuk mempercayai mimpi.

Patah hati sering membuat seseorang depresi. Saking depresinya, Maya berulang kali mencoba bunuh diri: mengiris pergelangan tangannya dan menceburkan diri ke laut. Kedua usahanya gagal.

Patah hati dan depresi sepertinya juga mampu menegasikan daya nalar seseorang. Depresi yang dialami Maya menimbulkan kehendak yang bersifat impulsif. Dalam kondisi yang terpuruk, datang sebuah harapan dalam bentuk mimpi. Ditambah dengan kondisi bahwa Maya tidak bisa menceritakan atau mendiskusikan mimpinya. Meskipun sempat meragukan mimpinya, toh Maya pergi juga untuk mengikuti mimpinya. Seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut.

…. Mimpi itu bisa jadi sekadar omong kosong, dan kota itu tak menawarkan harapan apa pun. Tak ada cinta, tak ada kebahagiaan.

Bagaimanapun, ia hanya bisa membuktikan keragu-raguannya jika ia tiba di kota itu. ia memejamkan mata dan tertidur di bawah dengung pendingin. Mimpi itu datang kembali. kali ini di dalam mimpinya, ia melihat dirinya berjalan bergandengan tangan dengan lelaki itu di pantai. Anjing mereka mengikuti di belakang. Mimpinya seterang pemandangan pada siang hari (hlm. 29-30).

Salah satu hal yang menarik dalam sastra ialah sastra tidak bekerja untuk melayani keinginan pembaca. Pembaca yang barangkali sudah bersimpati terhadap Maya, berharap agar ia segera dipertemukan dengan lelaki di dalam mimpinya ketika sampai di Pangandaran.

Setelah tiga hari berada di Pangandaran, Maya tak kunjung bertemu dengan lelaki itu. Maya tambah depresi dan merasa bahwa usahanya sia-sia belaka. Dalam kondisi yang kian terpuruk, muncul kembali dorongan untuk mengakhiri hidupnya.

Ia memutuskan untuk berhenti mencari lelaki di dalam mimpinya. Ada sebuah hutan lindung tak jauh dari penginapan. Ia berpikir, ia bisa menghilang selamanya di sana. Tanpa terlihat penjaga hutan, hanya berbekal belanjaan dari toko serba ada, ia menyelinap pagar pembatas hutan. Selama dua hari ia menjelajah hutan itu, berharap mati di sana. Namun, jelas kematian susah diperoleh di dalam hutan. Ketika ia menyadari hal itu, Maya keluar dari hutan. Saat itu lewat tengah malam, dan hanya cahaya bulan yang menjadi penunjuknya. Ia memutuskan untuk melakukan gagasan yang sempat muncul pada malam sebelum menyelinap ke hutan: pergi ke ujung beton pemecah ombak dan menceburkan dirinya ke laut (hlm. 31-32).

Sayangnya, usaha Maya untuk bunuh diri kembali gagal. Ia kemudian dirawat oleh perempuan tua bernama Sayuri. Pada Sayurilah akhirnya Maya bersedia bercerita tentang maksud kedatangannya ke Pangandaran. Rupanya apa yang dialami Maya persis dengan apa yang menimpa cucu Sayuri bernama Rana.

Sayuri kemudian bercerita. Ia punya seseorang cucu lelaki, bernama Rana. Rana punya kekasih dan hendak menikah, tapi menjelang pernikahan, si gadis pergi dengan lelaki lain. Rana sangat putus asa, dan pernah hendak menceburkan diri ke laut. Lalu, suatu hari ia datang menemui Sayuri, dan bilang bahwa dirinya memperoleh mimpi. Dalam mimpinya, ada seorang gadis di Jakarta yang akan menjadi kekasihnya dan memberinya kebahagiaan. Seorang gadis yang setiap hari duduk di meja antara rak-rak buku.

“Kalian orang-orang tolol yang percaya pada mimpi. Ia pergi ke Jakarta seminggu yang lalu.” (hlm. 33-34).

Rana dan Maya sama-sama patah hati dan depresi. Kemudian mendapat mimpi yang sama . Mereka bertemu dalam mimpi masing-masing dan secara impulsif memutuskan untuk mempercayai mimpi mereka.

Baca juga:
Corat-coret di Toilet: Setelah Reformasi Tidak Ada Lagi
Membaca Riwayat Halimunda, Melintasi Imajinasi Kolonial

Buku kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi memuat 15 cerpen. Cerpen-cerpen tersebut sebelumnya pernah dipublikasikan di pelbagai media cetak, kecuali cerpen berjudul “Membuat Senang Seekor Gajah” yang belum dipublikasikan di mana pun. Kelima belas cerpen tersebut ditulis Eka Kurniawan dari tahun 2006 sampai 2014.

Buku kumpulan cerpen ini memuat pelbagai macam tema cerita. Di antara kelima belas cerpen tersebut, ada satu cerpen yang menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu “Pengantar Tidur Panjang”. Mengingat belum ada novel Eka Kurniawan yang ditulis dengan sudut pandang orang pertama, cerpen ini cukup menarik perhatian saya.

Sekelebat, saya teringat pada novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Keduanya sama-sama bercerita tentang kepulangan tokoh utama untuk menjenguk ayahnya. Isi ceritanya lebih banyak didominasi dengan memoar hubungan antara tokoh aku dengan ayahnya. Bagaimana sang ayah banyak memberi pelajaran tentang sikap toleransi dan menghargai keragaman, sebagaimana yang digambarkan oleh tokoh aku bahwa ayahnya “…. lebih risau jika anaknya mencuri ikan di kolam tetangga daripada melihat anak yang mengenakan kaus Lenin atau mencoblos PRD.” (hlm. 159). Suatu sikap yang sepertinya sangat langka di tengah situasi perdebatan pilpres yang semrawut seperti saat ini.

Selain itu, sekalipun tidak ada satu tema khusus yang mengaitkan antara satu cerpen pada cerpen lainnya, terdapat 4 cerpen dengan latar tempat Los Angeles (LA), Amerika Serikat. 4 cerpen tersebut antara lain “Gerimis yang Sederhana”, “Penafsir Kebahagiaan”, “La Cage aux Folles”, dan “Pelajaran Memelihara Burung Beo”. Keempat cerpen ini kemudian akan menjadi pembahasan pokok dalam tulisan ini.

Keempat cerpen ini menceritakan orang-orang Indonesia yang merantau ke Amerika Serikat (AS) dengan pelbagai situasi dan problem yang dihadapi. Ada upaya menafsiran kembali terhadap apa yang dinamakan sebagai American Dreams (Impian Amerika). Sebagaimana imigran dari seluruh penjuru dunia yang datang ke Amerika Serikat, para perantau asal Indonesia juga berharap bisa mencicipi Impian Amerika.

Frasa Impian Amerika pertama kali dipopulerkan oleh James Truslow Adams pada 1931, dalam bukunya The Epic of America. Adams menekankan Impian Amerika sebagai cita-cita ketimbang yang materiel, sebuah impian akan “a land in which life should be better and richer and fuller for every man, with opportunity for each according to his ability or achievment.” Impian Amerika adalah prinsip kebebasan dan kesempatan yang setara untuk meraih keamanan (finansial) dan kenyamanan, baik penduduk asli maupun pendatang.

Ada beberapa motif yang mendorong tokoh-tokoh dalam keempat cerpen untuk merantau ke AS. Ekonomi menjadi faktor yang paling utama. Kemudian faktor keamanan seperti yang dialami Mei dalam “Gerimis yang Sederhana”. Mei sebagai gadis keturunan Tionghoa memiliki trauma psikologis dalam peristiwa kericuhan di Jakarta pada tahun 1998. Selain itu juga ada faktor identitas seksual dalam cerpen “La Cage aux Folles”. Dalam cerpen ini, sang tokoh merasa lebih leluasa untuk mengaktualisasikan identitas seksualnya di AS.

*

Sadly, our American Dreams is dead,” klaim Donald Trump pada saat dirinya terpilih sebagai kandidat presiden AS dari Partai Republik. Pernyataan semacam itu kurang wajar disampaikan oleh seorang kandidat presiden. Biasanya, seorang kandidat berbicara tentang harapan akan kekayaan atau kebesaran bangsanya dan bagaimana ia—sebagai pemimpin kelak—akan membawa harapan besar itu ke depan pintu rumah para pemilih.

Namun, meski Trump berangkat dari suatu hal yang negatif dan pesimistis, toh akhirnya ia menang juga dalam pemilu. Ia barangkali dianggap memahami betul persoalan utama rakyat AS, tentang Impian Amerika yang sudah mati. Dan, dalam pidato inaugurasinya ia berjanji akan membangkitkan Impian Amerika dari kuburannya dengan mantra “American first” atau “Make American first again”.

Slogan American first sendiri penuh kontroversial. Slogan ini bukan saja menggambarkan jingoisme AS, melainkan juga menimbulkan xenofobia. Trump sendiri lebih sering dikenal sebagai pemimpin negara yang anti terhadap imigran. Beberapa bulan lalu, dilansir dari Time, sebanyak 1.995 anak-anak dipisahkan dari orang tuanya secara kasar di perbatasan AS.

Pemisahan keluarga ini dimulai setelah Jaksa Agung Jeff Sessions mengumumkan kebijakan “zero tolerance” merujuk pada semua penyeberang perbatasan ilegal untuk dituntut dengan hukum pidana federal. Hal mana yang menyebabkan anak-anak dipisahkan dari orang tua, sementara orang tua mereka dikirim ke penjara.

Meskipun dalam peristiwa yang berlainan, cerpen “Pelajaran Memelihara Burung Beo” juga menceritakan kisah tentang seorang ibu yang dipisahkan dari ketiga anak-anaknya. Mirah bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit di LA tanpa mengantongi green card. Mirah bukannya tak pernah mengajukan permohonan untuk mendapat izin kerja, hanya saja tak berhasil memperolehnya.

Sebagai upaya lain untuk mendapat green card, Mirah menikahi seorang pemuda asal San Antonio, Texas. Sebagai gantinya, pemuda tuna wisma itu mendapatkan tempat tinggal serta kebutuhan pokoknya dipenuhi oleh Mirah. Konflik mulai muncul ketika Mirah hamil dan melahirkan tiga orang anak. Ketika karier bermusik si pemuda asal San Antonio itu mulai mapan, ia menggugat cerai Mirah dan menuntut hak asuh ketiga anak-anak mereka.

Mirah kalah memperoleh hak asuh dalam pengadilan. Dalam menceritakan kekalahan Mirah, Eka Kurniawan tidak terkesan mengada-ada. Alasan putusan pengadilan pun terasa dapat dipahami dengan mudah seperti dalam kutipan berikut.

Yang lebih buruk dari itu semua, pemuda San Antonio itu menunjukkan bon pembayaran atas nama Mirah, yang membuat anak-anak kembar mereka disakiti di Sunset Strip Tattoo.

Sederhananya, meskipun ia seorang perawat, Mirah tak layak mengurus anak (hlm. 154).

Untuk menggantikan sosok ketiga anak-anaknya, Mirah memelihara tiga ekor burung beo yang dapat berbicara dengan bahasa Indonesia. Selain bisa menjadi pengganti sosok ketiga anaknya, mungkin mendengar ucapan bahasa Indonesia yang ditirukan tiga ekor burung beo itu juga bisa mengobati kerinduan Mirah akan tempat asalnya. Karena didapat secara ilegal, akhirnya ketiga burung peliharaannya itu dirampas kembali oleh biro perlindungan hewan. Artinya, dua kali Mirah mengalami hal yang serupa.

Cerpen ini sebetulnya penuh dengan unsur komedi, tapi justru bikin kita enggan buat tertawa. Cerpen ini ditutup dengan nuansa komedi getir.

Paling tidak, lama setelah itu, Mirah memperoleh pelajarannya yang paling berharga. Pelajaran di atas semua pelajaran: Jangan pernah menggantikan anakmu dengan burung beo. Ia memperoleh itu setelah menyadari, anak-anaknya tak mau mengunjunginya setelah ia tinggal bersama burung-burung beo tersebut (hlm. 155).

Lalu, tentang Impian Amerika, Mirah punya komentarnya sendiri:

“Kita datang ke negeri ini untuk mengejar apa yang disebut sebagai Impian Amerika, tapi yang kuperoleh tak lebih dari mimpi buruknya.” (hlm. 147).

Cerpen ini ditulis pada tahun 2007, 11 tahun sebelum lebih dari 2.000 anak-anak dipisahkan dari orang tuanya di perbatasan AS. Apa yang menyebabkan Mirah dipisahkan dari anak-anaknya dengan para imigran gelap secara permukaan barangkali berbeda, tapi bersumber pada yang sama, yakni persoalan imigrasi.

Lain lagi dengan cerpen “Gerimis yang Sederhana”. Bila dibaca sepintas, cerpen ini seolah-olah membandingkan Jakarta dengan LA lewat keberadaan pengemis. Di LA, pengemis bisa dengan bebas keluar masuk ke restoran cepat saji. Sebaliknya bila di Jakarta. Para pengunjung restoran juga tak merasa risih dan terganggu dengan keberadaan pengemis.

Restoran cepat saji tersebut tengah penuh oleh para pekerja serta anak-anak sekolah bersama para pengantar mereka. Yang mengejutkannya, tak seorang pun di antara pengunjung merasa terganggu oleh kehadiran seorang pengemis. Tidak pula pelayan dan petugas kasir restoran. Pengemis itu akan diseret petugas keamanan jika melakukannya di satu restoran cepat saji di Jakarta, pikirnya. Bahkan, di warung Tegal pinggir jalan, pemilik warung akan buru-buru memberinya receh, bukan sebab kehendak bederma, melainkan sejenis perintah untuk segera meninggalkan warung. Namun, di sini, di satu sudut Los Angeles, ia melihat seorang pengemis berkeliaran bebas di dalam restoran (hlm. 4-5).

Efendi berada di restoran itu untuk menunggu Mei, gadis keturunan Tionghoa asal Jakarta yang sudah lama tinggal di LA. Keberadaan pengemis di dalam restoran itulah yang membuat Mei enggan buru-buru masuk ke dalam restoran. Mei rupanya memiliki trauma dengan pengemis. Dalam kerusuhan 1998 di Jakarta, ia hampir diperkosa oleh pengemis.

Hal itu pula yang mungkin membawa Mei pergi dari Jakarta. Jakarta—atau secara umum Indonesia, bagi Mei tidak bisa memberi jaminan keselamatan dari tindak kekerasan seksual. Apalagi, mayoritas masyarakat Indonesia punya kecenderungan anti terhadap Tioghoa. Masyarakat Indonesia cenderung menormalisasi tindak kekerasan terhadap masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia selain selalu ada kemungkinan mereka menjadi sasaran amuk masa dalam setiap kerusuhan di kota-kota.

Pengalaman mendapat tindak kekerasan seksual tentu saja berdampak pada timbulnya traumatis yang berkepanjangan. Sekalipun sudah hidup sekian lama di LA, Mei masih merasa keberadaan pengemis sebagai ancaman. Sekalipun, antara pengemis di Jakarta dengan Indonesia berbeda.

“Ada pengemis di restoran.”

“Apa?”

“Ada pengemis di ….”

“Ya ampun, Mei. Ini Amerika. Pengemis di sini enggak sama de ….” Suara di sana tak melanjutkan kalimat tersebut, seolah disadarkan pada sesuatu. Setelah bisu sejenak, sepupunya kemudian menambahkan, “Maaf.” (hlm. 3).

Cerpen ini menyinggung persoalan kemanusiaan tanpa mendramatisasi keadaan atau kondisi si korban. Yang tak kalah menarik, cerpen ini dikemas dengan disisipi humor yang mampu menurunkan ketegangan antara Mei dengan pengemis. Tentang kelakuan Efendi yang bisa membuat lelaki manapun yang pernah mengalami hal serupa ikut menanggung malu.

“Aku memberi pengemis itu semua recehanku, hanya menyisakan dua quarter.”

Mei menoleh dan tersenyum. Menunggu Efendi melanjutkan ceritanya.

Efendi menahan napas dan membuangnya perlahan. Ia berkata tanpa menoleh ke arah Mei, “Aku tak sadar cincin kawinku ada di saku celana, sekarang lenyap bersama receh-receh itu.”

Mei kembali menoleh dan berseru, “Apa? Bercanda, kan? Cincin kawin?”

“Ya, cincin kawin.” Efendi mengangguk sambil tersenyum kecut.
….

“Ya, ya, aku tahu,” kata Mei sambil menahan tawanya. “Aku juga pernah kenal seorang lelaki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap bertemu perempuan baru.”

“…. Lelaki memang tolol sekali, ya?” (hlm. 10-11).

Dari keempat cerpen yang bercerita tentang orang Indonesia di AS, “Penafsir Kabahagiaan” bisa membuat pembaca tertawa terpingkal-pingkal tentang kelakuan orang-orang Indonesia yang konyol. Namun, persoalan kemanusiaan yang diceritakan di dalam cerpen ini tidak kalah berat. Setidaknya persoalan perdagangan manusia berbentuk prostitusi patut dicermati di dalam cerpen ini.

Siti seorang pekerja seks komersial di Jakarta ditawari Jimmi untuk bekerja di LA. Jimmi, mahasiswa asal Indonesia yang berkuliah di sana berperan sebagai mucikarinya. Siti bekerja untuk menemani tidur 5 teman Jimmi dan dirinya sendiri.

Konflik muncul ketika Siti hamil. Siti menyadari dirinya hamil ketika Jimmi dan teman-temannya pergi berlibur. Di saat yang sama, Markum ayah Jimmi yang dianggap Siti adalah pelanggannya yang lain—lewat skema penjualan jatah dari pelanggan tetapnya—berkunjung ke apartemen Jimmi. Kemunculan Markum bagi Siti seolah menjadi jalan keluar dari masalahnya.

Akan tetapi, kini ia hamil dan tak tahu harus berbuat apa.

Saat itulah Markum kemudian muncul. Dalam keadaan kalut, gagasan jahat selalu berada di puncak seluruh pikiran. Jika selama liburan ini hanya ada seorang lelaki yang menidurinya, akan lebih mudah buat Siti untuk menentukan siapa ayah untuk bayi di dalam perutnya. Bahkan, meskipun tidak untuk dilahirkan, paling tidak ia bisa menuntut seseorang untuk mengembalikannya ke Jakarta dan menggugurkannya di sana (hlm. 42).

Siti berhasil meyakinkan Markum bahwa lelaki itu telah menghamilinya. Markum yang tidak tahu bahwa Siti dibayar untuk menemani tidur teman-teman Jimmi merasa harus bertanggung jawab. Sial bagi Markum, saat kembali ke apartemen dari mini market, ia melihat calon istrinya tengah bergumul dengan putranya sendiri.

Saat itu Jimmi baru pulang dari Tahoe. Saat itu Jimmi benar-benar sedang merindukan tubuh Siti. Meskipun hari masih sore, Jimmi membujuk Siti untuk mau bercumbu dengannya. Akhirnya, mereka masuk ke kamar Siti. Markum sedang membeli satu pak rokok ke 7-Eleven di depan apartemen, dan saat pulang ia menemukan anaknya sedang bergumul dengan perempuan yang baru saja dalam rencana hendak dinikahinya.

Markum langsung menggiring Jimmi ke tempat parkir dan menonjoknya (hlm. 44).

Situasi yang sudah rumit itu kemudian diperumit dengan jalan keluar yang ditempuh oleh ayah dan anak itu. Bukannya menyelesaikan persoalan, ayah dan anak itu justru mendatangkan masalah baru yang lebih serius.

Dalam keadaan kalut, Jimmi dan Markum membuang Siti dalam perjalanan Los Angeles ke Las Vegas. Di keterpencilan Mojave Desert, Siti nyaris mati terpanggang dan kedinginan di sana sebelum ditemukan polisi patroli delapan hari kemudian. Lima hari setelah itu, Markum dan Jimmi ditangkap di bandara setelah mencoba melarikan diri. Bersama lima mahasiswa lainnya, mereka menjadi tahanan polisi federal (hlm 45).

Sebagaimana beberapa cerpen Eka Kurniawan lainnya yang menyuguhkan komedi, cerpen ini juga ditutup dengan nuansa komedi getir:

Markum akhirnya bersedia bertanggung jawab secara finansial atas bayi tersebut, untuk mengurangi hukumannya. Namun, ketika dilahirkan, semua orang sepakat, bayi itu ternyata mirip Jimmi.

“Aku tak tahu apakah harus memanggilnya anak atau cucu,” gumam Markum, masih agak kesal.

“Aku tak keberatan menganggapnya adik,” kata Jimmi.

Saat itu Markum benar-benar ingin menonjok Jimmi untuk kali kedua (hlm. 45).

Siti bukannya tidak punya pilihan sehingga tak secara langsung menjadi bagian dari mata rantai perdagangan perempuan. Ia bisa saja menolak ajakan Jimmi. Namun, secara sadar ia memilih untuk pergi ke LA bersama Jimmi.

Berbeda dengan situasi ketika Siti berada di Jakarta. Ia sudah bekerja sebagai PSK selama 3 tahun di Jakarta. Persoalan ekonomi membuat Siti tak menemukan banyak pilihan bagi kehidupannya. Ia bisa saja menjadi buruh dan melepaskan diri dari dunia prostitusi, tapi upah buruh tidak akan bisa membuatnya bertahan hidup. Seperti yang digambarkan pengarang dalam kutipan berikut.

Di Jakarta, hidupnya tak lebih baik. Tiga tahun ia habiskan di satu tempat pelacuran di daerah kota, dan tampaknya akan terus begitu hingga tiga atau empat tahun ke depan. Ia belum tahu pasti apa yang akan menghentikannya dari pekerjaan tersebut. Menjadi penjahit di industri garmen seperti dua temannya hanya akan membuatnya bertahan hidup lima belas hari setiap bulan (hlm. 39-40).

Terlebih, dalam kehidupan nyata, regulasi kebijakan pemerintah tentang perburuhan lebih banyak menyudutkan buruh daripada melindungi kepentingan dan kesejahteraannya. Dan, bahkan, seperti dalam kutipan di atas, menjadi PSK juga tidak akan menjamin masa depan kehidupan ekonomi Siti. Lewat cerita di sudut kota LA dan kelakuan konyol orang-orang Indonesia, Eka Kurniawan mengusik persoalan kemanusiaan di Indonesia.

Cerpen lainnya, “La Cage aux Folles” menampilkan tema tentang identitas seksual yang secara simbolis dilukiskan dalam paragraf pembukanya:

“Antara Jakarta dan Los Angeles barangkali bukan jarak yang jauh buatku,” kata Kemala kepada Martha akhirnya, sebelum melanjutkan, “tapi antara tubuh lelaki dan perempuan, kau akan tahu, ada jarak yang terlampau jauh untuk kutempuh.” (hlm. 88).

Ada tiga tokoh utama dalam cerpen ini, yaitu Martha, Kemala, dan A.B. Laksana. Ketiga tokoh ini memiliki persoalan masing-masing dan saling bersinggungan, terutama dalam persoalan identitas seksual Marto alias Marni alias Martha.

Martha terlahir sebagai lelaki dan bernama Marto. Namun, ia merasa bahwa dirinya perempuan daripada lelaki. Marto bertransformasi menjadi Marni dan kemudian setelah berangkat ke LA berganti nama menjadi Martha.

Martha tergoda oleh cerita tentang restoran La Cage aux Folles yang dituturkan Darsono, teman A.B. Laksono. Restoran itu sering menampilkan waria yang telah melakukan operasi plastik meniru wajah biduan-biduan ternama. Martha juga berharap bisa melakukan operasi plastik sekaligus mengganti kelaminnya.

Sementara permasalahan Kemal adalah mencintai Martha. Namun, Martha yang belum berganti kelamin. Kemala sering meminta agar Martha tidak perlu berubah menjadi perempuan.

Sejujurnya, Kemala tak suka Marto mengubah namanya menjadi Marni dan berkali-kali mengingatkannya, “Kamu tak perlu menjadi perempuan, Sayang.”

Ini perdebatan sama yang terus berulang dan jawaban Marni selalu seragam, “Tapi, aku merasa lebih perempuan daripada lelaki.”

Setelah itu, mereka akan berdebat tentang apa itu lelaki dan apa perempuan. Mereka tak pernah mengakhiri perdebatan dengan cara yang memuaskan (hlm. 92).

Kemala tidak bisa meyakinkan Martha dan akhirnya harus menerima kenyataan bahwa Martha sudah berganti kelamin. Cerpen ini merekam pengalaman patah hati yang dialami seorang lelaki gay. Pengalaman patah hati yang unik karena orang yang dicintainya memilih untuk ganti kelamin. Kesedihan itu diungkapkan oleh Kemala: “antara tubuh lelaki dan perempuan, kau akan tahu, ada jarak yang terlampau jauh untuk kutempuh.

Tokoh bernama A.B. Laksono, mahasiswa asal Indonesia punya pekerjaan sampingan sebagai travel guide untuk wisatawan dari Indonesia. La Cage aux Folles menjadi restoran favorit tamu-tamu A.B. Laksono.

Permasalahan A.B. Laksono adalah menghadapi dua jenis permintaan yang sering ditanyakan oleh tamu-tamunya, nasi dan perempuan Indonesia yang bisa diajak tidur. Seperti halnya Jimmi dalam “Penafsir Kebahagiaan”, A.B. Laksono ingin mencari perempuan Indonesia yang bisa memenuhi dua jenis permintaan di atas. Barangkali, perempuan itu juga bisa sekaligus memenuhi hasrat seksual A.B. Lasksono sendiri.

Darsono teman A.B. Laksono, bukannya memenuhi permintaannya, malah membawa Martha. Meski dengan kecewa, A.B. Laksono menerima Martha. Namun, tetap saja, A.B. Laksono tidak bisa memenuhi hasrat pribadinya. Ia sendiri tidak seperti tamu-tamunya yang ingin tidur dengan PSK dari Indonesia. Hanya saja, tarif PSK di LA tidak murah.

Awalnya, A.B. Laksono enggan tidur dengan Martha, tapi akhirnya mau juga setelah Martha berganti kelamin dan mengoperasi wajahnya mirip bintang pujaannya Anita Karma. Petikan dialog saat A.B. Laksono meminta Martha untuk tidur dengannya cukup menggelikan.

Sebenarnya, inilah yang lebih mengejutkan bagi A.B. Laksono: Martha dan pemilik restoran kemudian memilih wajah Anita Karma. Tak hanya itu, Martha mengganti kelaminnya pula.

Kini A.B. Laksono berdiri di pintu kamar Martha yang terbuka, dan tak dapat disangsikan, ia melihat tubuh Anita Karma berbaring di tempat tidur. Tubuh itu bangkit, duduk, dan memandang ke arahnya.

Dengan wajah memerah A.B. Laksono bertanya, “Bolehkan?”

Pertanyaan itu tak mengacu kepada apa pun, tapi tampaknya Martha mengerti. Ia tersenyum dan berkata, sedikit mengejek, “Hei, ke mana najis, najis-mu?”

“Please, aku tak akan bilang itu lagi.”

“Kemarilah,” kata Martha. “Karena aku masih perawan, baru selesai dibikin, harganya mahal.”

Saat itu A.B. Laksono tak peduli dengan harga. Ia hanya bergumam, “Terpujilah operasi plastik.” (hlm. 99-100).

Restoran La Cage aux Folles bagaikan cerminan dari Impian Amerika itu sendiri. Setiap orang punya kesempatan yang sama untuk meraih cita-citanya, tak terkecuali waria dan transgender. Di La Cage aux Folles, Martha meraih satu impiannya menjadi biduan dengan wajah mirip Anita Karma.

Baca juga:
Manusia,Politik, dan Korupsi Orang-orang Proyek
Menerka Mata yang Enak Dipandang

Begitu pula bagi A.B. Laksono, restoran La Cage aux Folles bisa membuat tamu-tamunya asal Indonesia bergembira. Barangkali hanya bagi Kemala restoran itu yang memisahkan antara dirinya dengan Marto yang dulu. Seandainya tak ada restoran itu, barangkali Marto tak akan jadi tiruan Anita Karma yang sempurna. Namun, meskipun begitu, Kemala tetap segan untuk menangis di restoran itu.

Kemala memandangnya dengan perasaan yang tak bisa ia mengerti. Ia ingin menangis, tapi merasa La Cage aux Folles bukan tempat yang nyaman untuk menumpahkan air mata. Baginya, perubahan Martha menjadi seorang perempuan bagaikan kepergian yang benar-benar sempurna. Ia tak bisa meyakinkan diri bahwa Martha masih Marto yang dulu (hlm. 101-102).

Dari keempat cerpen di atas, Impian Amerika rasanya tak memberikan kebahagiaan pada para tokoh. Mungkin hanya Martha yang berhasil meraih impiannya untuk berubah total menjadi perempuan. Juga dalam menafsir ulang Impian Amerika, Eka Kurniawan justru mengajak kita untuk memikirkan ulang problem-problem kemanusiaan di Indonesia. Tentang keberagaman etnis, prostitusi, dan identitas seksual.

Kemudian, rasanya membaca cerita tentang kelakuan-kelakuan orang Indonesia yang konyol di LA lebih menghibur dan terasa riil ketimbang membaca cerita pemuda tampan yang berpoligami di Kairo.[]

KOMENTAR

Pemimpin Redaksi Buruan.co.

You don't have permission to register