Fb. In. Tw.

Membaca Cerpen Kolase

Minggu 4 Maret 2018 lalu, cerpen berjudul “Gadis Penyair” karya Iman Herdiana dimuat di HU Pikiran Rakyat. Cerpen ini mengingatkan saya kepada sebuah kolase. Karena cerpen ini didedikasikan kepada Chairil Anwar. Materi yang dikolasekan adalah penggalan larik-larik dari puisi penyair kenamaan tersebut.

Cerpen ini diawali dengan narasi liris dengan sudut pandang orang pertama. Pembuka cerpen ini merupakan murni karangan dari penulis,

Hujan baru saja reda saat kubuka tirai jendela, tinggal sedikit gerimis. Tanah yang sangat lama kering kini basah, daun dan rerumputan tampak segar, air jernih mengalir ke selokan dari jalan hitam berkilap. Bau tanah dan mahoni menyelusup melalui lubang-lubang angin.

Awalnya, saya tidak menyangka ternyata isi cerpen secara keseluruhan merupakan kolase yang penuh dengan penggalan larik Chairil.

Barulah pada paragraf kedua hadir penggalan puisi Chairil yang sering kita dengar, Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohon tak bergerak. Penggalan puisi tersebut untuk menegaskan deskripsi suasana kelam dan sepi  yang dihadirkan penulis pada paragraf pertama.

Lalu berikutnya, hampir di setiap paragraf terdapat penggalan puisi Chairil. Baik yang sering kita dengar maupun yang jarang kita dengar. Misal penggalan puisi pada paragraf ketujuh, Dalam termangu aku masih masih menyebut nama-Mu. Penggalan yang dimaksudkan untuk menguatkan deskripsi aku mengenai sifat kau, yang tak lain adalah penggalan puisi “Doa” karya Chairil Anwar. Penggalan ini hadir untuk menjelaskan sangkaan tokoh aku tentang Chairil, Dalam syair lain, kau menulis puisi yang mungkin bikin orang mengira kau ini orang sufi yang setiap napas dan tindakannya hanya untuk Tuhan.

Penggalan puisi di atas merupakan penggambaran untuk mengenalkan siapa tokoh kau. Pada paragraf sebelumnya, tokoh kau disebutkan sebagai orang yang melakukan apa yang kau mau. Hal tersebut merupakan interpretasi penulis dari penggalan Aku mau bebas dari segala.

Tidak sampai di sana, penggambaran tokoh kau terus penulis kembangkan sampai paragraf ke duabelas. Terdapat juga penggambaran tokoh kau yang menurut tokoh aku merupakan sosok hero yang tak perlu piagam sampai sebagai seorang penyair yang mendobrak tradisi, menulis syair-syair yang sebelumnya tak pernah diolah sastrawan Pujangga Baru.

Setelah dua belas paragraf pengenalan siapa dan bagaimana tokoh kau. Hal ini sebenarnya sudah diperkuat, bahwa tokoh kau yang dimaksud adalah Chairil Anwar. Pada paragraf selanjutnya, penulis baru menyampaikan apa sebenarnya yang ingin diceritakan dalam cerpennya.

Cerpen ini adalah kisah cinta memilukan antara tokoh aku dan kau yang akhirnya harus berpisah, setelah sedikit-banyaknya berkompromi dengan persoalan kehidupan. Tokoh kau yang tak lain adalah Chairil Anwar, meninggal dan meninggalkan janji pada kekasihnya, yaitu tokoh aku. Hingga Aku baru sadar, jari yang lentik itu kini sudah keriput, bayangan wajahku di kaca tak lagi menarik seperti gadis aristokrat. Cuma tulang berbalut kulit, dan mungkin debu.

Kisah kelam dalam cerpen “Gadis Penyair” ditutup dengan kesepian yang menghancurkan tokoh aku secara perlahan.

Baca juga:
Pengoptimalan Unsur Bahasa dalam Cerpen
Membincang Cerpen Pikiran Rakyat

Sebagai cerita kolase, saya kira kisah kelam dalam cerpen ini terlalu singkat dan terburu-buru. Mungkin karena penulis terlanjur asyik dengan pengenalan tokoh kau. Hingga akhirnya cerpen ini sedikit mengenyampingkan alur cerita yang menurut saya jauh lebih penting.

Selayaknya gambar kolase yang sering kita temukan di beberapa media, cerpen kolase juga jangan sampai melupakan keutuhannya. Kita tidak bisa asal menempel potongan gambar untuk mendapatkan kolase yang kaya makna, indah, dan utuh.

Keterburu-buruan penulis dalam cerpen ini akhirnya memperlihatkan sikap yang setengah-setengah. Apakah penulis ingin menonjolkan teknik penyampaian cerita atau keutuhan alur cerita. Saya kira keduanya kurang bisa terjawab dalam cerpen ini.

Meskipun cerpen ini merupakan cerpen yang didedikasikan kepada Chairil Anwar, tetap saja pengenalan tokoh kau dengan cara mengutipkan puisi Chairil Anwar dalam hampir setiap paragrafnya terasa sangat berlebihan. Hal ini disebabkan pengenalan tersebut hanya anggapan mainstream yang ada pada masyarakat, misalnya dalam kalimat berikut.

Di sisi lain, cerita baik tentangmu juga berseliweran. Kau disebut penyair yang mendobrak tradisi, menulis syair-syair yang sebelumnya tak pernah diolah sastrawan Pujangga Baru.

Padahal jika dikaitkan pada konteks fiksi, penulis cerpen bisa saja memasukan peristiwa-peristiwa yang lebih intim pada kisah cintanya. Bukan hanya mengutip sajak dan menghadirkan anggapan masyarakat. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer saat menuliskan kisah tentang Tirto Adhi Soerjo dalam novelnya.

Penggunaan bahasa yang biasanya ada pada karya esai terasa dominan hadir dalam cerpen ini. Hal ini agaknya mengganggu saya sebagai pembaca. Misal dalam penggalan,

Bagiku kau memang pahlawan sesungguhnya, sosok hero yang tak perlu piagam. Monumenmu ialah karya-karyamu. Bagiku itu lebih monumental. Hingga kini sajak-sajakmu masih dibacakan di kampung dan di kota bahkan menyelinap di dalam film dan buku yang ditonton dan dibaca pelbagai generasi.

Saya kira penggalan di atas akan tetap utuh dan indah jika kita menghapus kalimat terakhirnya.

Kemudian terdapat kekeliruan penulis tentang penggunaan kata ganti kami yang seharusnya kita  dalam kalimat, Mereka kemudian meninggalkan kami untuk bicara berdua pada paragraf lima belas merupakan kekeliruan yang fatal. Sebab dalam cerpen ini kata ganti orang kedua adalah kau, yaitu sang penyair, tokoh aku bukan bercerita pada pembaca atau orangtuanya. Saya harus mengulang satu paragraf sebelumnya untuk meyakinkan apakah saya masih ada dalam cerita yang sama.

Selebihnya saya sangat mengapresiasi keuletan penulis. Di tengah dunia yang sibuk, penulis bukan hanya mengumpulkan penggalan-penggalan larik dari beberapa puisi, tetapi penggalan esai Chairil Anwar juga hadir dalam cerpen ini. Pemilihan penggalan puisi dan esai yang mainstream membuat pembaca tak perlu bolak-balik mengonfirmasi kebenaran kepemilikan Chairil Anwar terhadap penggalan-penggalan yang ditempel dalam cerpennya.[]

KOMENTAR

Bergiat di Sanggar Sastra Purwakarta dan Arena Studi Apresiasi Sastra.

You don't have permission to register