Laporan Pandangan Mata
Seorang penulis yang baik, niscaya mengerahkan seluruh panca indera dalam menemukan ide-ide tulisannya. Panca indera, terutama mata, menjadi semacam senjata pertama saat menangkap peristiwa atau momen-momen puitik. Maka, tidak terlalu berlebihan bila kelahiran sebuah puisi sangat dipengaruhi oleh kemampuan sang penyair dalam mengkreasi pandangan mata menjadi teks. Kerja kreatif yang menuntut kecakapan saat memilah hal-hal apa saja yang tidak dan bisa dituliskan.
Hal tersebut bisa kita periksa pada puisi-puisi yang dimuat HU Pikiran Rakyat edisi 01 April 2018. Rubrik Pertemuan Kecil yang memuat 5 puisi dari dua penulis. Tiga sajak ditulis oleh Mona Mumita Sari, dua sajak ditulis oleh Fuad Jauharudin. Sajak pertama Mona berjudul “Kendaraan Dikepung Jalan Raya”.
Kendaraan Dikepung Jalan Raya
“Padat sekali ya”, ujarku.
kendaraan seakan tak sabar sampai tujuan
“Udaranya mana?” tanyaku dalam diri
kemudian kulihat mentari marah
ditambah klakson bernyanyi bising
debu menari-nari suara harimau menggema tak sopan
Lengkap sudah
Sajak ini dikepalai oleh judul yang bisa dilihat kasatmata, meski sedikit sulit dibayangkan karena kendaraan yang bersifat dinamis justru dikepung oleh sesuatu yang statis. Namun setidak-tidaknya, kita tahu situasi yang ingin digambarkan, dimana judul sajak sedikit banyak merepresentasikan apa yang dialami oleh aku lirik.
Sajak “Kendaraan Dikepung Jalan Raya” berbicara soal suasana kemacetan. Isi sajak pun kemudian menggambarkan suasana tersebut. Diksi-diksi semisal; padat, klakson bernyanyi bising, dan debu menari-nari, menegaskan gambaran suasana kemacetan yang dirasakan langsung si aku lirik.
Pada sajak di atas, hanya larik suara harimau menggema tak sopan yang sedikit mengganjal dan asing. Saya berusaha sekuat tenaga memahami imaji yang ingin disampaikan larik ini, tapi kemudian hanya bisa merutuk diri sendiri. Boleh jadi, pengetahuan saya di alam fana ini belum seberapa. Bahwa ternyata, suara harimau itu ada yang sopan dan tak sopan. Mungkin harimau sopan berasal dari kalangan alim ulama, sementara harimau yang tak sopan berasal dari kalangan bohemian.
Sajak kedua Mona berjudul “Gadis Peminta-minta”.
Gadis Peminta-minta
Ia harus menerobos debu
menaklukan sengat mentari
mengkaji tiap jalan yang dilewati
terpaksa memasang paras kasihan
demi sebungkus nasi
Ia meminta belas kasihan
pada mobil mewah berjejer;
perhiasan yang berjalan;
tawa yang harus dinikmati;
direnggut oleh keadaan
Gadis kecil yang ikut alur
gadis yang ingin sekolah
berkeliaran mengutip rupiah
Pada sajak di atas, suasana yang ingin digambarkan hampir serupa dengan sajak “Kendaraan Dikepung Jalan Raya”, meski sedikit lebih baik dalam hal kedalaman makna. Sajak “Gadis peminta-minta” lebih mampu menggambarkan pandangan mata secara lebih halus dan mengena, tidak semata-mata artifisial. Sajak ini memotret perjuangan pengemis cilik saat melakukan rutinitas mengemisnya. Saat gadis kecil itu menerobos debu, menaklukan sengat mentari, meminta belas kasihan pada (orang yang memakai) mobil mewah berjejer, dan pada (orang yang memakai) perhiasan (yang sedang) berjalan.
Dengan begitu, kita menengarai bahwa kedua sajak Mona lahir dari peristiwa yang berawal dari pandangan mata. Sesuatu yang benar-benar terjadi pada realitas kesehariannya. Seperti mengalami kemacetan dan menjadi saksi saat pengemis sedang meminta-minta di jalanan. Mona telah berupaya memindahkan pandangan mata ke dalam medan teks yang disebut puisi.
Menyembunyikan dan Menggantikan
Apa yang dilihat dan apa yang dituliskan pada puisi memungkinkan sesuatu yang kadang-kadang berbeda. Hal ini merujuk pada karakteristik puisi yang bersifat menyembunyikan dan mengecoh untuk membuka pemaknaan yang lebih luas. Penggunaan metafora dan aforisme pada puisi, sedikit banyak, menunjukkan karakteristik tersebut.
Pada sajak berjudul “Seekor Capung dan Aku” karya Fuad Jauharudin, kurang lebih menunjukkan hal seperti itu. Sajak ini sendiri dibuka oleh bait pertama sebagai berikut.
Seekor capung singgah di kamarku malam itu
di luar hujan deras, petir semisal mata lampu
di ujung gang, ketika sepasang kekasih
menggagalkan ciuman untuk merayakan perpisahan
Masuknya capung ke dalam kamar, mungkin sebagai ide awal terbentuknya sajak ini. Ide yang berawal dari hasil laporan pandangan mata. Namun jika ide tersebut direpresentasi oleh subjek dan bahasa yang tepat, memungkinkan untuk dipersepsi berbeda sehingga meluaskan arsiran makna bagi pembaca.
Sementara bila kita memang mengimani bahwa puisi adalah soal menyembunyikan dan menawarkan banyak pemaknaan, maka kita tidak bisa serta merta percaya bahwa capung yang dimaksud pada sajak ini adalah serangga bersayap dua pasang dan berbadan panjang. Kita diperbolehkan untuk melakukan pembacaan lain. Misalnya menduga bahwa capung yang dimaksud adalah seorang gadis cantik, sebut saja bernama Audrey atau Inggri atau Meilia. Sah-sah saja. Toh pada bait pembuka sajak ini, kita tidak diarahkan, baik diksi maupun penggambaran suasana, untuk percaya bahwa yang datang ke kamar aku lirik malam itu benar-benar capung. Bukankah hewan yang lazim datang malam-malam ke kamar biasanya kupu-kupu atau laron?
Untuk memeriksa lebih jauh, mari kita lihat bait kedua sajak ini.
Aku dan capung itu tak saling sapa
tentu saja, bahasa kerap tak sampai
hanya dengan kedip mata,
lambai sayap, atau air mata
Seandainya kita sepakat untuk mengganti diksi capung dengan nama gadis, yang oleh Riffaterre disebut sebagai replacing, maka bait tersebut akan memiliki suasana dan nilai rasa yang lebih intim.
Aku dan Audrey itu tak saling sapa
tentu saja, bahasa kerap tak sampai
hanya dengan kedip mata,
lambai sayap, atau air mata
Membandingkan kedua bait di atas, dengan mengganti subjek dari capung menjadi nama seorang gadis, ternyata memberikan efek pemaknaan yang berbeda. Ketika aku lirik dan capung tidak saling sapa bukan menjadi soal yang aneh dan patut dipertanyakan. Manusia dan capung memang tidak bisa bertukar bahasa atau nomor WA.
Berbeda jika diksi capung diganti menjadi nama seorang gadis. Ketika aku lirik dan Audrey tidak saling sapa, tentu akan menimbulkan pertanyaan besar. Apa yang terjadi sebenarnya? Ada apa? Sedang marahan atau bagaimana. Apakah karena bahasa kerap tak sampai lalu hanya cukup dengan kedip mata atau air mata (salah satu gambaran suasananya: aku lirik duduk di pojok kamar, saling memandang sambil meneteskan air mata).
Pergantian diksi capung menjadi nama gadis, membuat suasana sajak akan terasa lebih hidup. Meski mungkin suasana yang dibangun lebih mendekatkan ingatan pembaca pada adegan-adegan sinetron Cinta Fitri. Proses pergantian capung (subjek) menjadi nama seorang gadis semacam itu juga menghadirkan imaji-imaji yang lebih beragam.
Baca juga:
– Moralitas dan Melankolia
– Pengalaman dan Biografi Bahasa
Sajak “Seekor Capung dan Aku” ditutup oleh aforisme yang seakan-akan melapangkan jalan bagi pembaca untuk melakukan penggantian semacam itu.
Ia (Audrey) mencari jalan pergi dari sini
aku tengah menyusun jalan menjauh dari sepi
Sebuah aforisme paradoks yang mendayu-dayu sekaligus sublim. Melahirkan suasana perpisahan aku lirik dengan capung atau Audrey yang membekas dan tidak lagi dikenang (hanya) sebagai laporan pandangan mata.[]