Karyamin Tersenyum Lagi
Ahmad Tohari, sepanjang karier kepengarangannya telah menerbitkan sembilan novel dan empat kumpulan cerpen. Umumnya, Ahmad Tohari menghadirkan kisah-kisah yang menggambarkan kesederhanaan, kesetiaan, rasa syukur, nilai-nilai kehidupan yang memberikan penyadaran, dan persoalan-persoalan kemanusiaan. Karya-karya yang ditulisnya, selalu menggunakan bahasa yang jernih, lugas, sederhana, dan mendetail.
Perlu diakui bahwa Ahmad Tohari merupakan pengarang yang besar melalui novel-novelnya. Namun, sesungguhnya awal kepengarangannya berawal dari cerpen. Melalui cerpen “Jasa-Jasa Buat Sanwirya” (1975), jejak kepengarangannya terekam. Sejak itulah, kita mengenal gaya Ahmad Tohari sebagai pengarang besar. Jika merunut ke belakang, ada empat buku kumpulan cerpen yang diterbitkan. Mata yang Enak Dipandang (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Rusmi Ingin Pulang (Matahari, 2004), Nyanyian Malam (2000), dan Senyum Karyamin (Gramedia Pustaka Utama, 1989).
Senyum Karyamin diterbitkan pertama kali pada tahun 1989. Ada tiga belas cerpen yang dikumpulkan dalam rentang tahun 1976 sampai dengan akhir 1986an. Seluruh cerpen yang terhimpun dalam buku ini bercorak lokal dengan suasana pedesaan, rakyat kecil, dan interaksi individu sosial yang lugu dan sederhana. Buku ini adalah rekam jejak kepengarangan Ahmad Tohari dalam dunia cerita pendek.
Mengkaji buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin1 ini adalah upaya menggali nilai-nilai kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Ada beberapa aspek yang sekiranya bisa kita angkat sebagai bahan kajian dan masih relevan di masa sekarang. Ketigabelas cerpen di dalamnya berasal dari berbagai media massa—kecuali cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya” yang dimuat dalam antologi lain—diurutkan sesuai tahun pemuatan, kecuali cerpen yang menjadi judul bukunya.
Cerpen “Senyum Karyamin” dimuat tanggal 26 Juli 1987 di harian Kompas. Cerpen ini bercerita tentang seorang pengumpul batu. Namun, di balik usahanya mengumpulkan batu untuk menghidupi keluarganya, ada suatu masa di mana Karyamin nyaris menyerah, ada rasa lapar yang menyergap, utang piutang, dan tanggung jawab terhadap keluarganya. Cerpen ini menghadirkan ironi yang kuat, menyeret pembaca kepada penafsiran-penafsiran tentang hidup dan pilihannya. Dari segi gaya penceritaan, cerpen ini mirip dengan cerpen “Minah Beranak Bayi”.
Lain hal dengan cerpen berjudul “Jasa-Jasa Buat Sanwirya”, cerpen ini berkisah tentang perkawanan para penadah Nira. Sanwirya adalah salah seorang penadah nira yang diceritakan mengalami kecelakaan saat mengambil nira. Kawan-kawannya berusaha memberikan bantuan-bantuan untuk Sanwirya. Cerpen ini menampilkan tokoh-tokoh yang lugu, konyol, dan sederhana dalam menyelesaikan persoalan. Percakapan antar tokoh itulah yang kemudian menjadikan cerpen ini mengalir dan menyeret pembaca mengikuti alur ceritanya. Seperti yang sudah disebutkan di atas, cerpen “Jasa-Jasa Buat Sanwirya” dimuat di dalam antologi Dari Jodoh Sampai Supiah (Djambatan, 1976, hal. 28-33). Sebuah kumpulan lima belas cerpen terbaik Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep tahun 1975.
Cerpen “Minem Beranak Bayi” barangkali bisa dikatakan sebuah refleksi pernikahan dini yang terjadi pada zamannya. Menceritakan tentang Kasdu yang hendak mengabarkan bahwa istrinya, Minem, sudah melahirkan. Dalam perjalanan, dia membayangkan apa yang akan dikatakan mertuanya jika mengetahui bahwa Minem, istrinya yang masih bocah itu, sudah melahirkan. Pasalnya Kasdu merasa bersalah Minem harus melahirkan. Apa yang akan dikatakan mertuanya. Kasdu merasa dia penyebab kelahiran yang terlalu muda itu. Inilah potret kehidupan masyarakat desa yang masih tabu akan kelahiran prematur. Cerpen ini mengandung gaya satir dalam bentuk ironi yang kuat.
Jika dalam cerpen “Jasa-jasa Buat Sanwirya”, Ahmad Tohari menghadirkan ikatan perkawanan yang kuat, dalam cerpen “Surabanglus” pun demikian. Menceritakan kesetiakawanan dua orang penebang kayu yang tengah menjadi kejaran polisi. Di tengah kelaparan yang berujung pada kematian itu, Kimin berusaha mempertahankan hidupnya dan kawannya. Namun, Suing sudah terlalu lemah dan tak bisa menahan hasrat naluriahnya hingga harus memakan singkong beracun, ketika Kimin berusaha mencarikan makanan baginya. Dalam cerpen ini, banyak nilai-nilai kemanusiaan yang didapatkan. Jika cerita Sanwirya membuat pembaca akan tepok jidat atas watak tokoh-tokohnya, dalam “Surabanglus”, sebagian pembaca mungkin harus menelan ludah karena kelewat haru atas apa yang terjadi.
Ahmad Tohari memang memiliki ciri khas dalam menyampaikan ceritanya. Hampir di semua cerita pendeknya, ia menyertakan flora dan fauna sebagai bagian cerita yang mewarnai lokalitas karyanya. Dalam cerpen “Tinggal Matanya Berkedip-kedip”, diceritakan seekor kerbau yang ambruk di tengah sawah yang sedang dibajak. Cerpen ini menghadirkan kisah kesombongan seorang pawang hewan dalam menaklukkan Cepon, seekor kerbau milik petani. Musgepuk, nama pawang itu, akhirnya menyerah menghadapi Cepon yang sudah tidak memiliki hasrat untuk berontak. Kesombongan itu pun akhirnya luluh lantak menghadapi kepasrahan seekor kerbau. Dalam cerpen ini, pengarang memasukkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Sifat sombong dan takabur Musgepuk menjadi contoh buruk perilaku manusia. Banyak simbol yang dihadirkan dalam cerpen ini.
Lain alam pedesaan, lain pula alam perkotaan. Cerpen “Ah, Jakarta” pengecualian dalam hal latar cerita yang dihadirkan pengarang. Cerpen ini menghadirkan dua latar perkotaan yang dipotret dalam dua cerita kehidupan yang berbeda. Cerpen ini mengisahkan tentang persahabatan, seseorang yang berkarib dengan perampok. Mereka berkawan sejak lama. Karibnya itu memilih hidup di Jakarta dan berprofesi sebagai perampok. Sementara, tokoh Aku tinggal dan berkeluarga di kota asalnya. Kota digambarkan sebagai tempat yang keras dan penuh ancaman. Bagi pembaca, barangkali cerpen ini akan terasa lain bila melihat latar yang dihadirkan.
Cerpen “Blokeng” bercerita tentang kelahiran di luar nikah. Diceritakan bahwa tokoh Blokeng telah melahirkan anak perempuan hasil hubungan di luar nikah yang membuat geger kampung. Orang-orang mengikuti desas-desus dan isu tentang siapa yang telah menghamili Blokeng. Hamil di luar nikah memang bukan perkara baru di kampung itu. Namun, Blokeng adalah lain perkara. Pasalnya, seluruh laki-laki di kampung itu tak mau kena tuduh telah menghamili Blokeng. Cerpen ini menggelikan, sekaligus menggambarkan orang-orang lugu. Sudah bisa dibayangkan jika pembaca akan merasa geli dan tertawa ketika membaca cerpen ini.
“Syukuran Sutabawor” adalah cerpen yang mengisahkan sebuah pohon jengkol yang tidak mau berbuah. Suatu hari, Sutabawor hendak menebang pohon itu lantaran tak mau berbuah. Namun, mertuanya melarangnya menebang pohon itu, malah menyuruhnya memantrai pohon itu. Alhasil, pohon itu pun berbuah lebat. Sebagai ungkapan rasa syukur, Sutabawor mengadakan syukuran di rumahnya dengan mengundang para tetangga. Hal yang menarik dari peristiwa dalam cerpen ini adalah orang-orang yang masih percaya dengan takhayul. Selain itu, pengarang tampaknya memberikan potret kecil tentang perbedaan kelas sosial.
Jika dalam orang-orang dalam cerpen “Syukuran Sutabawor” meyakini pohon bisa dimantrai agar berbuah. Spiritualitas juga tampak dalam cerpen “Rumah yang Terang”. Cerpen ini bercerita tentang seorang ayah bernama Haji Bakir yang menolak menggunakan listrik yang saat itu ramai digunakan orang kampung. Orang kampung gemar bergunjing tentang Haji Bakir, yang tak mau memasang listrik untuk penerangan rumahnya. Macam-macam gunjingan orang-orang terdengar anaknya.
Pada hari keseratus setelah kematian Haji Bakir, anaknya mengadakan tahlil untuk mendoakan ayahnya. Pada saat itulah sang anak mengungkapkan perihal keengganan ayahnya memasang listrik di rumahnya, sekaligus mengakhiri olok-olok warga terhadap ayahnya. Cerpen ini mengandung ironi yang tajam, dibalut dengan nuansa spiritual yang kuat.
Perihal ambisi dan kesombongan manusia dihadirkan pengarang melaui cerpen “Kenthus”. Bercerita tentang tokoh Kenthus yang mendadak sombong, besar kepala, merasa berkuasa setelah diberi proyek mengumpulkan buntut tikus oleh ketua RT. Ambisinya itu membuat Kenthus merasa berada di atas angin, merendahkan orang-orang bahkan istrinya sendiri, Dawet. Cerpen ini memotret kekuasaan yang diidamkan rakyat kecil. Gambaran yang didapatkan adalah dengan kekuasaan orang mudah menentukan nasib seseorang. Seperti halnya cerpen “Syukuran Sutabawor”, cerpen ini dibalut dengan unsur-unsur mitos yang hidup di masyarakat.
Potret kemiskinan juga tergambar dalam cerpen “Orang-orang Seberang Kali”. Cerpen ini mengisahkan kebiasaan warga kampung yang suka mengadu ayam jago. Madrakum merupakan tokoh sentral yang diceritakan dalam cerpen ini. Sampai saat menjelang kematiannya, Madrakum bertingkah seperti ayam jago. Cerpen ini sarat dengan nilai spiritualitas. Terlebih nilai-nilai agama yang disuratkan dalam ceritanya.
Cerpen “Wangon Jatilawang” dan “Pengemis dan Shalawat Badar” barangkali adalah cerita yang juga kental dengan nilai-nilai spiritualitas. Keduanya, bercerita baik soal hubungan manusia dengan sesama maupun dengan tuhannya. Cerpen “Wangon Jatilawang” menceritakan kasih sayang sesama manusia. Terlebih kepada orang yang memiliki keterbelakangan mental. Tokoh utama memberikan contoh bahwa dirinya tidaklah lebih berharga dari seorang Sulam, seseorang yang mengalami keterbelakangan mental yang selalu ditemuinya. Kepedulian tokoh aku ditentang oleh tetangga dan ibunya sendiri. Banyak nilai-nilai spiritual yang dimunculkan dalam cerpen ini yang memberikan penyadaran kepada pembaca mengenai hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan tuhannya.
Sementara cerpen “Pengemis dan Shalawat Badar” menceritakan peristiwa spiritual yang dialami tokoh aku. Tokoh aku bertemu dengan pengemis yang akhirnya ikut dalam perjalanannya dari Cirebon menuju Jakarta. Sampai akhirnya bus yang ditumpangi tokoh aku dan pengemis itu mengalami kecelakaan. Cerpen ini mengingatkan pembaca tentang rasa syukur, takdir, yang nilai spiritualnya merupakan perlambang kerinduan manusia akan penegasan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dari ulasan atau sinopsis cerpen-cerpen di atas, kiranya akan banyak hal yang menarik untuk dikaji. Mulai dari konteks sosial budaya, tema, tokoh dan penokohan, nilai-nilai spiritual, sampai gaya bahasa yang menjadi ciri khas pengarang dalam karya-karyanya. Berikut ini gambaran aspek-aspek yang patut dikaji dan sekiranya masih representatif pada masa sekarang ini.
***
Secara struktural, cerpen-cerpen yang terhimpun dalam kumpulan cerpen ini memiliki kelebihan dan kekurangan pada masing-masing cerpennya. Pada umumnya, tokoh-tokoh di dalam cerpen-cerpennya menggambarkan unsur lokalitas Jawa. Penggunaan nama seperti Kenthus, Karyamin, Samin, Haji Bakir, Sanwirya, Minem, Dawet, Sulam dan lain-lain, menunjukkan bahwa pengarang memotret kehidupan yang dekat dengan unsur sosiokultural pengarang. Nama-nama itu menjadi karakter tersendiri yang khas dengan cerita yang disuguhkan, menyiratkan kesederhanaan, kesombongan, dan berserah diri.
Tokoh dalam cerpennya selalu memberikan kesan bagi pembaca. Baik dari sisi antagonis maupun protagonis. Watak yang diterapkan ke dalam tokoh cerpen menjadikan tokoh tersebut hadir sebagai karakter bukan sebatas nama. Misalnya pada tokoh Karyamin yang digambarkan sebagai tokoh yang berwatak sabar, menerima kenyataan, dan mampu mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya.
Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup dengan tersenyum….
Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang (hal. 3).
Selain tokoh-tokoh yang menjadi kekuatan cerpen-cerpen Ahmad Tohari, latar penceritaan pun menjadi aspek kajian yang menarik. Pengarang selalu memberikan deskripsi yang detail dalam membangun suasana dan gambaran cerita.
Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit (hal. 1)
Detail-detail cerita didapatkan hampir di seluruh cerpen-cerpen Ahmad Tohari dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin. Detail inilah yang memberi pembaca imaji karakter, menguatkan tokoh, perwatakan, serta latar cerita sehingga meninggalkan kesan bagi pembaca.
Akar-akaran menggantung pada tebing jalan itu. Menggapai-gapai seperti cakar-cakar mati yang ingin meraih tanah. Tetapi tanah makin menjauh, makin terkikis, dan longsor-longsor. Pepohonan yang telah kehilangan pegangannya di dalam tanah menjadi condong atau tumbang sama sekali.
Langkah Kasdu yang cepat diiringi suara “krepyak-krepyak”; bunyi dedaunan kering yang remuk terinjak. Matahari, yang sudah hampir mencapai pucuk langit. Permainannya mengakibatkan kayu-kayu menjadi layu dan kering. Pelepah-pelepah pisang runduk. Amparan ilalang mengelabu. Rumput-rumput menyimpan tetes air terakhir dalam akar mereka di dalam tanah (hal. 12).
Ahmad Tohari cermat memilih kata dan menentukan metafor bagi pendeskripsiannya. Latar dan Suasana terbangun tanpa menemukan kesan berlebihan dalam penceritaannya. Latar pedesaan mendominasi hampir seluruh cerpen-cerpennya. Namun, pada cerpen “Ah, Jakarta”, pembaca menemukan nuansa metropolis, walaupun tidak sedetail penggambaran latar cerpen-cerpen lainnya.
Gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan cerita dalam kumpulan cerpen Senyum Karyamin ini, memberi daya bagi tokoh-tokoh dalam cerpennya.
Kali ini karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang-kunang ke matanya (hal. 3).
Secara hiperbola, karakter Karyamin digambarkan tidak memiliki batas kesabaran, kesanggupannya dalam menopang beban hidupnya.
Banyak yang menduga bahwa tidak ada variasi penceritaan dan memaksakan pesan-pesan bijak, yang memberi kesan berdakwah dalam cerpen-cerpen Ahmad Tohari dalam kumpulan cerpen ini. Namun, justru menjadi ciri khas dan pesan kepengarangannya. Ahmad Tohari mengangkat dinamika orang-orang desa, rakyat kecil, suasana kekeluargaan, persahabatan, dan nilai-nilai kehidupan.
Terlepas dari struktur yang banyak dijadikan kajian bagi studi kesusastraan, aspek-aspek lain perlu dicermati dari buku kumpulan cerpen ini. Selain menghadirkan karya sastra yang bernilai estetik, cerpen-cerpen dalam buku ini juga membuka interpretasi terhadap konteks-konteks di luar kekaryaan.
Pada buku kumpulan cerpen Senyum Karyamin, ada konteks-konteks universal, sosial, dan kultural yang disentuh pengarang yang masih relevan dan hadir di masyarakat kita. Misalnya, di masa sekarang ini, mungkin kita masih mendengar kelaparan, kawin muda, mitos, dan dinamika sosial. Persoalan yang sudah terjadi sejak lama ini seringkali diangkat menjadi sebuah karya sastra. Dan, sebagaimana kita ketahui, bahwa karya sastra merupakan gambaran kehidupan yang di dalamnya terdapat pelbagai persoalan, termasuk persoalan sosial dan kemanusiaan.
Dalam cerpen “Senyum Karyamin”, kita bisa menemukan ironi yang tajam. Di saat perut melilit karena lapar, ditambah bayang-bayang petugas bank juga catatan utang, Karyamin harus membayar iuran dana kemanusiaan untuk Afrika. Intertekstual ini yang menjadi konteks universal yang hadir dalam cerpennya. Faktanya, bencana kelaparan memang melanda beberapa wilayah negara di dunia. Negara-negara di benua Afrika misalnya, merupakan penyandang predikat pertama yang sulit keluar dari bencana kelaparan sejak tahun 1970.
Terlepas dari banyaknya penyebab yang menjadi soal kelaparan itu, nyatanya usaha-usaha dunia tidak pernah selesai sampai sekarang. Konteks universal inilah yang menjadi nilai lebih pada cerpen-cerpen Ahmad Tohari.
Selain itu, terdapat pula konteks budaya atau adat yang masih melekat pada masyarakat di masa dulu, yang mungkin masih terjadi di daerah-daerah terpencil di Indonesia. Tentang pernikahan di usia dini seperti pada cerpen “Si Minem Beranak Bayi”.
Banyak hal yang bisa digali lebih dalam sebagai kajian sastra. Karena itu, cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini bisa dibagi ke dalam beberapa aspek. Pertama, aspek sosial yang mencakup cerpen “Senyum Karyamin”, “Orang-Orang Seberang Kali”, dan “Ah, Jakarta”. Tentunya, ada kritik sosial yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Persoalan moralitas yang terjadi di masyarakat akibat kemiskinan tampak dalam cerpen “Blokeng”. Ada nilai-nilai moral yang harus diperbaiki dan dijaga oleh masyarakat. Cerpen “Blokeng” memberikan potret bagaimana moral itu dipertanggungjawabkan.
Kedua, aspek spiritualitas. Mitos, agama, kepercayaan yang menjadi bagian dari aspek spiritualitas dalam cerpen “Syukuran Sutabawor”, “Kenthus”, “Rumah yang Terang” dan “Pengemis dan Shalawat Badar”.
Apabila kita menemukan peristiwa yang mengandung nilai-nilai atau gagasan yang dihadirkan Ahmad tohari melalui kumpulan cerpen Senyum Karyamin di masa sekarang ini, mungkin selemah-lemahnya, kita hanya mampu mengatakan: Karyamin tersenyum lagi.[]
- Tohari, Ahmad, Senyum Karyamin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015.