Ia yang Berada di Jalan Literasi
Penutupan Pekan Literasi Kebangsaan Festival Indonesia Menggugat pada Rabu (7/12/16) diisi dengan orasi budaya oleh Muhidin M. Dahlan. Penulis yang lebih karib disapa Gus Muh ini membacakan esainya bertajuk “Dua Warisan Literasi Tujuh Desember”.
Adalah Raden Mas Tirto Adisoerjo tokoh muda kita yang membuka babak baru perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. “Dan Pribumi ini tidak bersenjatakan pedang dan tombak, juga tidak dengan patriotisme, juga tidak dengan agama, mereka bersenjatakan pena dan mulut belaka,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam novel Rumah Kaca (2007:512).
Benar, yang dimaksud adalah tokoh kita bernama Minke. Melalui pena Pram, seluruh pembaca seantero jagat mengenal R. M. Tirto sebagai Minke, atau Monkey, atau monyet. “Itu nama internasional Tokoh Kita ini,” papar pengasuh Warung Arsip tersebut. Tokoh kita lahir di Bojonegoro, bersekolah di H.B.S. Surabaya, drop out dari S.T.O.V.I.A Jakarta, radikal di Bandung, lalu akhirnya wafat dalam kesepian di Jakarta pada 7 Desember 1918.
Jika Anda telah membaca tetralogi Pulau Buru, Pram melukiskan tokoh ini sebagai pribadi yang haus akan ilmu pengetahuan, si philogynik, flamboyan, anak rohani Multatuli, dan teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Ia menulis banyak kritik terhadap pemerintahan kolonial Hindia di koran miliknya bernama Medan Priaji. Berkat itu ia dihadiahi hukuman buang ke pengasingan di Ambon selama lima tahun.
Rupanya pemerintah kolonial tak puas dengan hukuman pengasingan selama lima tahun yang dideritakan pada Minke. Ia dibangkrutkan. Anak sulungnya Medan Priaji dibredel. Semua harta kekayaannya disita dan dilelang tanpa sepengetahuannya.
Adalah Pangemanann, seorang pejabat kepolisian kolonial, seorang ahli kolonial, berpendidikan Eropa dan seorang pribumi pula yang menyusun rencana sekaligus pelaku utama pembungkaman tokoh kita. Ia menangkap sekaligus yang menjemput Minke setelah menghabiskan masa pembuangannya. Masih belum cukup. Si Pangemanann ini, juga yang memaksa Minke untuk menandatangani sebuah berkas berisikan persetujuan untuk tak mencampuri urusan politik dan organisasi, yang tak lain adalah Syarekat Islam.
Minke menolak menandatangani berkas itu, ia menjawab:
“Tak ada manusia yang terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Bahkan pertama-tama mereka yang membuang diri, seorang diri di tengah-tengah hutan atau samudra masih membawa padanya sisa-sisa kekuasaan sesamanya. Dan selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik. Selama orang berada di tengah-tengah masyarakatnya, betapapun kecil masyarakat itu, dia berorganisasi. Atau apakah Tuan-tuan menghendaki aku menandatanganinya sebagai vonis hukuman mati tanpa pengadilan, sebagaimana aku dihukum buang tanpa pengadilan? Ataukah surat pernyataan yang lucu itu juga bagian dari hak exorbitant Gubernur Jenderal?” (Toer, 2007:563)
Tapi Minke belum juga sepenuhnya mengetahui perubahan kondisi setelah terasing di Ambon. Hotelnya di Betawi telah beralih kepemilikan. Kawan-kawan lamanya dilarang untuk menerimanya sebagai tamu. Dan, rumahnya di Buitenzorg kini dimiliki oleh Pangemanann.
Hanya Goenawan, salah satu anggota Syarekat Islam di Betawi yang akhirnya bersedia memberi tempat tinggal sementara sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya. Tak ada surat kabar yang memberitakan kematiannya. Tak ada doa bahkan ungkapan belasungkawa dari kerabat maupun kawan-kawannya.
Bagi Gus Muh, tokoh kita yang mati dalam kesepian dan kesunyian ini setidaknya meninggalkan dua warisan dari amalan yang ringkas dan berisiko. Yang pertama, memutar haluan pers dari sebatas hiburan dan perniagaan menjadi koran opini yang menghimpun kritik-kritik terhadap kekuasaan kolonial. Medan Priaji menjadi alat sekaligus corong perlawanan pribumi.
Pers yang mandiri dan independen dalam hal modal sekaligus menjadikannya sebagai alat politik, adalah jalan rintisannya yang kemudian dilanjutkan oleh para tokoh-tokoh pergerakan nasional yang lebih muda. Sebut saja Tan Malaka, Semaoen, Misbach, Sukarno, Hatta, Sjahrir, Moh. Yamin, Natsir, Aidit, Njoto, Ojong dan seterusnya-seterusnya. Bukankah mereka adalah para tokoh pemimpin pergerakan republik ini yang juga memiliki kemampuan yang andal dalam menulis?
Warisannya yang kedua adalah rumah pergerakan modern. Ia mendorong agar lahirnya organisasi Syarekat Priaji yang kemudian menjadi Boedi Oetomo. Menyusun dan menulis naskah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Sarekat Dagang Islamijah (SDI) sendirian di Bandung. Ia berjumpa dengan H. O. S. Tjokroaminoto dan melahirkan Syarekat Islam di Surabaya.
“Organisasi sebagai batang tubuh kekuatan mesti menjadi satu paket dengan koran sebagai media literasi,” ujar Gus Muh. “Kultur pergerekan dan partai politik memiliki media literasi berupa koran dan buku adalah warisan Tokoh Kita,” tambahnya.
Gus Muh juga menekankan bahwa kerja literasi adalah kerja kebudayaan. Maka, “harus dilakukan secara semesta.” Kerja ini membutuhkan segenap potensi yang dimiliki oleh seluruh komponen bangsa. Saling bertaut dan bekerja sama-sama dalam satu barisan demi melanjutkan semangat literasi yang telah diwariskan oleh angkatan-angkatan sebelumnya.
Maka, Gus Muh menyimpulkan di akhir orasinya bahwa khas literasi 712 adalah perpaduan dua kerja sekaligus. Yakni, upaya menyadarkan rakyat melek literasi untuk membuka khazanah kehidupan sekaligus memperkuat barisan rakyat melalui perkumpulan dan pergerakan.
Dan, untuk mempraktikkannya, agaknya kita bisa meneladani Raden Mas Tirto Adisoerjo sebagai tokoh literasi 712.[]