Hilmar Farid dan Dunia Perbukuan Kita Saat Ini
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid berbagi cerita tentang dunia perbukuan tanah air serta harapan-harapannya. Bagaimana pandangan pria kelahiran Bonn, Jerman Barat, 8 Maret 1968 ini?
Berikut ini petikan wawancara Hilmar dengan penulis bersama Yudho Raharjo dan Nurcholis Anhari Lubis (fotografer) yang dilakukan pada Senin (15/02) di ruang kerjanya.
Bisa ceritakan sedikit tentang pekerjaan Anda saat ini?
Dirjen. Di sini.
Iya
Dirjen Kebudayaan ya salah satu institusi kelengkapannya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sering pindah tempat. Jadi sempat mengikuti pariwisata. Awal di sini pindah ke pariwisata kemudian balik lagi. Tentu perubahan-perubahan itu juga ditentukan oleh fokusnya pemerintahan yang datang silih berganti juga ya. Ada yang menganggap budaya lebih dekat mestinya ke pariwisata. Terus terkahir belakangan ini dikembalikan ke pendidikan. Tapi ini menunjukkan semacam kegamangan sebenarnya kebudayaan ini tempatnya di mana. Kalau mau refleksi ya atas perubahan yang begitu sering.
Apa yang menjadi tugas utama Dirjen Kebudayaan?
Tugas saya yang paling utama mencoba menerjemahkan. Menerjemahkan program dari pemerintahan khususnya di bidang kebudayaan itu apa. Tentu harapannya dengan program arah semacam itu posisi yang tadi gamang itu bisa diperjelas. Kalau soal memperjelas posisinya sendiri itu urusan lebih tinggi bukan ranah saya. Saya hanya berkontribusi menerjemahkan program pemerintah yang dicanangkan di bidang kebudayaan.
Ya, tugas utamanya namanya Direktur Jenderal ya. Directing dan hal-hal yang sifatnya umum. Jadi tidak masuk ke hal-hal yang lebih praktis. Tidak masuk ke hal-hal yang dilakukan di bawah. Direktur Jenderal ini. Ranah umum, misalnya tadi ada rapat soal rencana penyelenggaraan Indonesian International Book Fair. Dan banyak nih kegiatan semacam ini. Pertahun orang datang minta tanya apakah bisa didukung dan segala macam. Kebijakan saya nih. Di level saya, saya bisa bilang, saya gak mau kalau festival ini hanya datang dan pergi. Kalau misalnya mau bikin festival yang akan melembaga nantinya semangat saya dukungnya. Tapi kalau datang dan pergi. Hari ini ada kegiatan. Besok nggak tahu ada kegiatan apa nggak. Caranya tahu lanjut apa tidak kan bisa dilihat dari desain awalnya. Kan bisa kelihatan dari awalnya, kalau misalnya desain awalnya lebih banyak fokus kepada katakanlah siapa yang hadir, lebih praktis mikir-mikirnya, tidak bisa menjelaskan strateginya secara umum. Tentu secara umum saya bisa menilai bisa jadi tahun depan tidak bisa terlaksana lagi.
Kebijakan saya secara umum lebih mendukung kepada mereka yang berpikir melembagakan kegiatan yang macam-macam itu. Melembagakan juga bukan berarti membuat organisasi atau institusi bukan tapi kegiatannya berlanjut dan arahnya jelas. Misalnya menjadi semacam Frankfurt Book Fair di Asia Tenggara. Nah, itu saya pikir cita-cita. Kalau soal tercapai atau tidak itu perkara lain. Dan apakah ini lebih baik atau tidak juga perkara lain.
Pekerjaan utama saya saat ini ya mikirin yang kayak begini-begini. Membuat rumusan yang dikaitkan pada umumnya. Salah satunya misalnya membangun Indonesia dari pinggiran. Fokus saya juga begitu. Melihat teman-teman yang banyak melakukan keja-kerja bagus di akar rumput. Bagaimana cara mendukungnya. Tapi sama. Jangan berbasis proposal. Ada tahun ini. Tahun depan belum tentu ada. Mari, berpikir lebih strategis. Bagaimana bisa berlanjut dan meluas pekerjaan di akar rumput yang bagus-bagus ini.
Apa yang ingin diraih dari komunitas akar rumput?
Sesederhana ini. Kalau saya konsepnya seperti ini. Bahasa Indonesianya belum ketemu saya. Kebudayaan yang inklusif. Maksudnya bukan sekadar. Kan ada banyak ya multikulturalisme dan ini itulah. Baik adanya. Menghargai perbedaan. Lu di sana, gue di sini. Tarik garis. Itu tidak begitu. Justru akan membuat segregasinya tambah kuat. Menghargai perbedaan itu di kita bisa jadi tidak ada pergaulan. Bisa berarti berjauhan. Membuat tanda ini dan ini. Saya pikir tidak begitu. Perlu pendekatan yang lebih inklusif.
Maksudnya bagaimana? Maksud membangun Indonesia dari pinggiran ini bukan saja secara geografis. Adanya di tempat yang jauh. Tapi pinggiran secara sosial, ekonomi, dan kultural. Contoh angka ini berubah-ubah. Namun jangan lihat angkanya. Jumlahnya signifikan. Di kita sering disebut difabel, disabilitas. Mengapa di ruang sosial jarang dilihat. Karena di ruang hidup kita jarang melibatkan mereka. Kalau bicara kebudayaan inklusif maka ini perlu ruang-ruang untuk mereka. Bukan untuk gaya-gayaan. Namun perlu mengubah orientasi kita. Kebijakan ini juga perlu ke arah sana.
Bagaimana cara Anda menikmati sebuah buku?
Saya menikmati buku?
Betul. Bagaimana caranya?
Jarang saya menikmati sebuah buku tanpa mengetahui pengetahuan tentang buku itu sebelumnya. Seberapa pun kecil mengenai buku itu. Misalnya saya akan melihat keterangan di belakang buku. Keterangan ini sangat membantu saya menilai. Seberapa jauh buku itu menarik perhatian saya.
Apa makna membaca bagi Anda?
Membaca itu sangat sentral dalam kehidupan saya. Saya waktu SD itu mungkin jauh lebih kuat membaca dari sekarang. Beneran ini. Beneran. (Tertawa). Dulu saya baca itu 600-700 halaman itu asyik gak berhenti. Makin ke sini makin berkurang. (Tertawa). Tapi membaca itu buat saya ada urusannya dengan orientasi. Bagaimana saya menempatkan diri begitu ya. Bacaan itu sangat mempengaruhi itu. Artinya saya berada di mana ya dalam perjalanan alam semesta ini. Reorientasi dirinya itu sangat dipengaruhi oleh apa yang dibaca. Ada kekurangannya juga sih. Kurang memberikan ruang pada insting. Nah, itu bagi saya membaca itu sangat sentral dalam kehidupan.
Buku seperti apa yang paling Anda suka?
Buku-buku yang segera menarik perhatian saya sebetulnya berubah-ubah. Kecil, remaja hampir selalu fiksi. Dan ada progresinya juga dari cerita anak, cerita remaja, novel yang konon serius ya. Terutama waktu kuliah karena studinya nonfiksi begitu. Kalau sekarang ditanya kategori umumnya mungkin travel writing. Tapi dari segala zaman ya. Buku catatan perjalanan yang sekarang saya senang baca orang pergi ke mana-mana. Termasuk yang arkaik, Bujangga Manik mengarungi Jawa ini menarik perhatian saya. Belakangan perhatian saya kepada ruang lebih besar. Bukan hanya geografi tapi bagaimana orang memaknai hidup dengan melakukan perjalanan ini. Ada buku bagus Jose Saramago, Journey to Portugal. Dia orang Portugal tapi dia cerita bagamana dia mengalami perjalanan dari Utara terus ke Selatan. Setiap pemberhentian dia melakukan refleksi. Itu luar biasa.
Berdasarkan ISBN yang terdaftar di Perpusnas tahun 2013 ada 36.624 dan tahun 2014 ada 44.327 judul buku terbit di Indonesia. Bagaimana pandangan Anda tentang dunia perbukuan di tanah air?
Kalau dari segi volume saya yakin banyak ya. Bidang-bidangnya juga bertambah. Juga daya jelajahnya bertambah. Misalnya buku-buku seksualitas. Dulu jarang ditemukan. Sekarang banyak. Juga buku cara memasak. Dan lain sebagainya. Jadi dari segitu itu pesat. Segi yang lain adalah tidak terjadi proses semacam konsolidasi pikiran melalui buku. Jumlahnya bertambah. Juga berikut dengan itu pikirannya menjadi tercerai-berai sebetulnya. Kalau di luar. Ya, walau pun tidak selalu harus melihat keluar. Sebagai perbandingan saja. Di tempat lain ada patokan-patokan yang selalu dikonsolidasi oleh penghargaan-penghargaan. Jadi institusi itu berperan penting. Entah Literary Award. Entah hadiah macam-macamlah. Ini loh buku penting. Ini loh buku yang mendapatkan nominasi. Dan di kita kan nggak. Karena sistem itu juga datang dan pergi sehingga konsolidasinya tidak terjadi.
Tidak akan sanggup ada orang membaca 36.000 judul buku dalam setahun. Jangan-jangan 360 juga tidak. Atau 36 judul juga tidak. Masih ada jarak yang cukup besar dari jumlah buku dengan pikiran kita. Menurut saya di samping menambah jumlah volume juga waktunya kita memikirkan konsolidasi. Dari sejumlah yang banyak itu perlu penanda. Tidak harus selalu sastra. Untuk bidang-bidang tertentu misalnya. Apa nih yang bisa membantu kita. Kalau kita akan ke toko buku ada 36.000 judul buku, kita tahu harus ke rak yang mana. Harus ada seleksi. Di industrinya harusnya ada buku yang mendapat perhatian besar, ada market yang besar, yang lebih kecil, ada yang lebih spesifik.
Karena di industrinya juga belum mapan begitu ya. Cirinya begini. Setiap orang bisa bikin penerbitan. Bisa 3-4 tahun menerbitkan buku. Tahun kelima jualan tahu. Bisa kejadian seperti itu. Artinya bukan di treknya. Dia bisa bikin sesuatu yang lain. Jadi buku ini masih dianggap, cenderungnya ya, bukan suatu industri yang memerlukan kompetensi, keahlian, dan jenis investasi yang berbeda. Investasinya juga biasanya punya duit nggak tolong cetakin buku si ini laku nggak dijual? Cenderungnya begitu ya. Bukan berapa saya perlu investasi. Misalnya ada orang yang menjadi agen yang mencari naskah yang baik. Sampai sekarang belum ada agen naskah yang mumpuni yang fungsinya memang mencari naskah yang bagus. Itu tanda bahwa industrinya masih jauh dari mapan.
Apakah itu ambisi Dirjen Kebudayaan?
Kalau ambisi banyak ya. (Tertawa). Pengen ini, pengen itu. banyak. Tapi kalau menurut saya sebetulnya jika sumber daya yang terserak di mana-mana ini disatukan. Tidak menutup ke mungkinan ke arah sana. Karena sebetulnya investasinya tidak sulit-sulit amat. Misalnya majalah sastra. Ini bukan yang di teman-teman yang di sini punya di sana punya ya. Terbit 3 tahun lalu mati. Kan banyak. Ini misalnya, Horison yang mempunyai bobot, pengaruh, wibawa, sekelas itu. Sastra ya. Khusus tulisan kreatif. Hampir nggak ada. Percakapan sastra hampir nggak ada. Artinya harus resource ya.
Kita ini tidak kurang-kurang teman-teman yang punya kompetensi. Ruangnya atau kebutuhan itu jelas ada. Yang kurang di kita itu organisasi. Organisasi untuk memastikan. Ini loh yang harus dikerjakan. Sekian tahun waktunya. Targetnya ini itu. Sekian resource yang harus dikerahkan. Investasinya, bentuknya begini begitu. Jalan. Sudah.
Kalau saya ditanya ambisi sekarang. Kecil-kecil nggak. Tapi organisasi itu mau saya pikirkan. Apa pun, ya. Bukan hanya soal penerbitan ini itu. Organiasai itu akan dapat fokus yang cukup kuat. Bagaimana caranya memperkuat kelembagaan ini dari prakarsa teman-teman. Di segala macam. Banyak. Bagus-bagus. Mau bikin festival film. Seperti teman di Purbalingga sudah bertahun-tahun. Harusnya tinggal tok. Lead di bidang tersebut. Hal-hal ini yang saya pikirkan. Bukan untuk mengontrol tapi menyokong. Di kita ada Dance Festival sudah 23 tahun. Harusnya ini tinggal diperkuat kelembagaannya saja. Fokus. Oke. Ya, tinggal dijalankan. Visinya tidak diubah. Tinggal perkuat kelembagaannya saja. Nah, hal itu yang saya lebih lihat sebagai tugas sekarang daripada mencari-cari kegiatan yang baru.
Dalam rangka menerapkan program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) Mendikbud Anis Baswedan mewajibkan para siswa untuk membaca buku minimal 15 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah setiap hari. Bacaan yang seperti apa yang menurut Anda dapat menumbuhkan budi pekerti?
Persis itu pikiran saya selama sebulan. Itu yang dibahas dan diminta Pak Menteri untuk saya pikirkan waktu pertama kali saya bergabung. Bahan banyak. Akan tetapi ini kebutuhannya khusus. Tidak sembarang buku kita bawa ke sekolah. Anak-anak kita suruh baca. Perintahnya kan 15 menit pertama. Coba berhiung agak aritmatik sedikit, 15 menit pertama x 250 hari sekolah x 12 kelas. Jadi itu landscapenya yang harus diisi. Ketika keputusan itu keluar. Sehingga dari berbagai tingkat untuk waktu yang begitu panjang harus ada buku yang dibaca. Dan menurut saya maka sulit juga mengharapkan anak membaca dengan memotong 15 menit pertama seperti praktik membaca Max Havelaar di Ciseel. Mungkin agak sulit karena memerlukan waktu yang lebih panjang dengan diskusi dan sebagainya. Waktu 15 menit bisa dapat apa. Itu tantangan saya.
Jika disuruh jawab cepat. Saya bisa jawab, banyaklah. Ada banyak dongeng di kita dan sebagainya. Tapi untuk memformatnya menjadi buku yang cocok bagi kegiatan siswa membaca 15 menit pertama ini saya menduga perlu ada intervensi dari teman kreatif. Dongeng-dongeng ini diolah kembali menjadi cerita baru.
Kalau saya ditanya cenderung akan jawab. Bahan-bahan itu tersedia banyak. Harus diolah kembali. Untuk sistem pembacaan 15 menit pertama untuk kelas berbeda-beda. Dan paling penting sudah begini warna lokalnya tidak boleh hilang. Jangan semuanya baca Kancil. Bisa juga hal ini dikonsolidasi juga di tingkat provinsi sesuai Peraturan Pemerintah turunan UU 23/2014.
Secara konsep saya berpikir SD itu pengenalan diri, SMP pengenalan lingkungan, SMA pengenalan kolektivitas yang lebih besar namanya bangsa ini. Itu berdasarkan level perkembangannya juga. Bayangan saya seperti itu.
Beberapa orang merasa bahwa hal-hal seperti iPad adalah cara menjaga orang agar membaca lebih. Apakah Anda setuju dengan itu?
Teknologi digital urusannya lebih pada kecepatan daripada kedalaman. Jarang saya melihat orang membaca untuk napas panjang di iPad. Ini kan trayeknya lain. Banyak teman saya menyadari nggak mungkin baca banyak buku di iPad. Kalau di rak mudah. Fisik tetap tidak tergantikan.
Kalau buku pelajaran?
Buku pelajaran memungkinkan sebab lebih khusus. Sebab ada waktu yang ditetapkan untuk itu. Duduk belajar. Dua jam, misalnya. Saya pikir dari itu apa pun teknologinya akan relevan. Teknologi digital ini betul-betul pertarungan memperebutkan waktu. Esensinya menurut saya begitu. Membaca buku ini untuk orang yang punya waktu luang atau menciptakan waktu luang. Bukan orang yang dikejar-kejar. Sehingga apa. Sehingga masyarakat kita menjadi semakin tidak naratif sekarang. Sangat potongan-potongan. Sekarang baca berita? Nggak. Judulnya. Itu sebabnya. Lihat media digital sekarang. Dia pasang judulnya di linknya. Dengan kata lain semakin instan memang. Informasi yang kita terima hanya potongan. Semakin tidak naratif kita sekarang.[]