Guntur Alam, antara Kue dan Bolu
Guntur Alam merupakan salah seorang pengarang yang—bolehlah disebut—karyanya sering tayang di harian Kompas. Meski sempat terjerat polemik orisinalitas untuk karyanya yang berjudul “Lilin Merah di Belakang Meja Mahyong” (Kompas, 3/4/2016), Guntur tak gugur. Teranyar, ia hadir dengan cerpennya berjudul “Kue Itu Memakan Ayahku” (Kompas, 4/3/2018).
Cerpen tersebut bertemakan kisah satu keluarga. Kue hadir sebagai sebagai masalah dan penggerak cerita. Menariknya, sebelum menghadirkan kue dalam cerpennya, Guntur juga pernah melakukan hal yang nyaris sama. Ia juga pernah menghadirkan satu jenis kue yaitu bolu dalam cerpennya berjudul “Bolu Delapan Jam”. Cerpen tersebut juga terbit di Harian Kompas (23/8/2015).
Kue dan bolu merupakan makanan. Makanan dalam sastra—khususnya prosa—tak hanya sekadar hidangan bagi para tokoh dalam cerita saja. Makanan bisa menjadi penanda sosial kultural. Penggambaran identitas budaya dan prinsip hidup tokoh-tokohnya. Tokoh para eksil di Paris dalam novel Pulang karya Leila S Chudori (KPG, 2012) memiliki rasa kecintaan terhadap tanah air. Mereka mendirikan restoran yang menjual makanan Indonesia bernama “Tanah Air” 1).
Selain novel Pulang, cerpen “Lelaki Ragi dan Perempuan Santan” (Kompas, 29/9/2013) karya Damhuri Muhammad menghadirkan makanan khas Sumatera Barat bernama lemang-tapai. Selain sebagai identitas budaya, makanan dalam cerpen tersebut juga memperkuat karakterisasi tokoh dan dinamika alur dalam cerpen2).
Dalam dua cerpen Guntur Alam, terdapat makanan yaitu kue dan bolu delapan jam. Ulasan ini akan membahas bagaimana Guntur Alam menghidangkan kedua makanan tersebut dalam dua cerpennya.
Cerpen “Bolu Delapan Jam” bercerita tentang seorang anak yang membantu ibunya membuat bolu delapan jam. Ayahnya yang meminta itu setiap Idul Fitri tiba. Masalah hadir karena tokoh ibu mengidap diabetes kering. Tokoh anak mempertanyakan tingkah ibunya itu karena makanan manis seperti bolu delapan jam bisa membahayakan kesehatannya. Tapi, tokoh ibu selalu membuat itu setiap tahunnya.
Bolu delapan jam merupakan makanan wajib di setiap rumah saat Idul Fitri di Sumatera Selatan. Guntur Alam menghadirkan bolu delapan jam sebagai masalah dan motif dalam cerita. Sebagai identitas lokal, bolu delapan jam memperkuat latar tempat dalam cerita.
Ada upaya dari Guntur Alam dengan menjadikan bolu delapan jam sebagai penguat karakter tokoh.
“Ayahmu suka bolu delapan jam yang rapuh, putih, cantik tapi mudah hancur.” Mata ibu menjelma seperti lorong panjang yang gelap dan pekat.
…
Bolu delapan jam memang seperti gadis muda yang rapuh, adonannya tidak boleh dikocok terlalu kuat karena tak boleh mengembang, tapi bila tak mengaduk dengan tenaga gula pasir di dalamnya tak bisa larut.
Dalam kutipan di atas, bolu delapan jam disepertikan gadis muda yang rapuh, putih, cantik tapi mudah hancur. Tapi, dalam keseluruhan cerita, tak jelas tokoh yang merepresentasikan gadis muda itu.
Baca juga:
– Keyakinan dan Misteri Kematian Gus Dar
– Tawaran Lain Martin Aleida
Berbeda dengan Damhuri Muhammad saat menghadirkan lemang-tapai untuk memperkuat karakterisasi tokoh dalam cerpen “Lelaki Ragi dan Perempuan Santan”. Lemang yang mesti disantap sebagai representasi dari tokoh perempuan, sedangkan tapai yang enak disantap setelah dieram lama merupakan representasi tokoh lelaki. Maka, ketika kedua tokoh tersebut tak bersatu, cinta mereka akan basi.
Menariknya cerpen “Bolu Delapan Jam” terletak pada deskripsi dan narasi. Guntur Alam menggunakan deskripsi yang detail. Selain itu, pemaknaan tokoh anak saat ibunya sedang membuat bolu delapan jam menjadi kenikmatan tersendiri saat membaca cerpen ini.
“Saringan!”
Ucapan ibu membuatku tergesa menarik baskom bersih yang ada di samping kanan dan meletakkan saringan plastik di atasnya. Ibu menuangkan adonan telur dan gula pasir, sisa-sisa cangkang telur yang lebur tertinggal di atasnya, seperti kenangan buruk. Ah, andai saja kenangan buruk bisa disaring seperti itu, tentu saja aku akan melakukannya. Namun, tidak demikian, kenangan akan terus menempel seperti kanker yang menggerogoti dan dengan beringas melumatmu.
Deskripsi dan narasi dalam cerpen ini membuat pembaca seperti sedang menyaksikan bagaimana seorang juru masak membuat bolu delapan jam. Guntur Alam juga menghadirkan tingkah-tingkah ganjil ibu saat membuat bolu delapan jam itu. Tingkah tersebut menjadi penghubung untuk akhir cerita yang mengejutkan dalam cerita.
Kehadiran bolu delapan jam sangat berbeda dengan kue dalam cerpen “Kue Itu Memakan Ayahku”. Pun secara bentuk, cerpen “Kue Itu Memakan Ayahku” cenderung menghadirkan hal magis dalam ceritanya.
Cerpen “Kue Itu Memakan Ayahku” bercerita tentang seorang anak yang mengetahui keresahan ayahnya akan mati dimakan sepotong kue. Tokoh anak tak percaya sebab kue adalah makanan kesukaan ayahnya. Tokoh ayah memiliki tugas untuk memotong kue di kantor tempat ia bekerja. Tugas ini membebani tokoh ayah sampai mengganggu pikiran dan mengubah perangainya.
Kue dalam cerpen ini hadir bukan sebagai makanan, bahkan tidak merujuk pada identitas tertentu. Kue justru menjadi penanda untuk menyampaikan makna lain. Mungkin sering terdengar istilah dalam politik yaitu “bagi-bagi kue”. Nah, kue dalam cerpen “Kue Itu Memakan Ayahku” semakna dengan kue dalam istilah tersebut.
“pelan-pelan, aku akan mati karena dimakan sebuah kue.”
Itu ayah ucapkan padaku tepat satu minggu setelah ia diangkat menjadi juru potong kue di kantornya. Awalnya aku bingung, kok bisa ayah menjadi juru potong kue, padahal kata ibu, ayah seorang akuntan yang hebat.
Dalam cerita, kue tersebut merupakan anggaran belanja kantor tempat tokoh ayah bekerja. Terdapat peristiwa sekolah ambruk yang merupakan akibat dari pekerjaan tokoh ayah memotong kue tersebut. Lewat kata kue yang merujuk pada makanan, Guntur Alam mencoba menunjukkan sebuah permasalahan yang ada di Indonesia soal korupsi. Sungguh upaya kritik yang cantik.
Penggambaran dominan dalam cerpen ini tidak terlalu menyorot pada kue. Guntur Alam lebih menyoroti perkembangan tingkah laku dan psikologis tokoh ayah.
…Tak ada yang bicara. Namun kesunyian telah menerangkan kepadaku dengan sangat benderang; ayahku telah berubah. Dia bukan berubah menjadi power rangers atau superman seperti serial kartun yang sering kutonton saban hari minggu. Bukan. Ayah berubah dalam arti lain. Sesuatu yang tidak pernah bisa kupahami. Aku hanya tahu satu saja; ayahku tidak lagi menyukai kue, dia justru membencinya sekarang. Dan aku tak tahu alasannya.
Di akhir cerita, tokoh Ayah benar-benar mati. Peristiwa kematian ini terasa begitu dipaksakan. Peristiwa tersebut melahirkan suatu keambiguan.
PAGI ini, aku terbangun karena mendengar jeritan histeris ibu. Tergesa aku melompat dari tempat tidur dan menemukan ibu yang gemetar di dapur rumah kami. Di lantai, aku melihat ayah tergeletak kaku. Diam. Mulutnya berbusa. Di tangan kanannya masih ada sepotong kue brownies buatan ibu. Di ujung kakinya, aku melihat botol pembasmi nyamuk.
Ibu luruh di lantai, menangis. Aku perlahan mendekat. Kulihat wajah ayah, bola matanya telah hilang. Kepalanya terbelah, otaknya kosong. Kulihat juga dadanya. Ada bolong besar di sana. Jantung dan hantinya juga telah raib. Aku jadi ingat ucapan ayah seminggu setelah dia diangkat bosnya menjadi juru potong kue di kantornya, “pelan-pelan, aku akan mati karena sebuah kue.”
Dan pagi ini, ucapan ayah terbukti.
Dalam kutipan di atas, tampak Guntur Alam mencoba membuat pembaca memilih cara tokoh ayah mati. Tokoh ayah bisa saja mati karena menenggak botol pembasmi nyamuk. Tapi, penggambaran mayat ayahnya menunjukkan bahwa tokoh ayah mati karena kue. Selain itu, kematian tokoh ayah juga mengantarkan pada makna bahwa kejahatan—dalam cerpen ini, korupsi—tidak akan pernah kalah.
Selain perbedaan, terdapat kesamaan dalam dua cerpen tersebut. Kedua cerpen memuat permasalahan keluarga. “Bolu Delapan Jam” mengambil bentuk masalah cinta antara suami istri, sedang cerpen “Kue Itu Memakan Ayahku” menghadirkan masalah tanggung jawab seorang kepala keluarga. Selain itu, kedua cerpen menjadikan tokoh anak sebagai narator.
Antara kue dan bolu, antara kedua cerpen Guntur Alam itu, masing-masing memiliki kelebihan. “Bolu delapan jam” hadir dengan deskripsi dan narasi yang menarik. Makanan bisa menjadi identitas sosial dan penguat unsur pembangun cerita. Sedang dalam “Kue Itu Memakan Ayahku”, Guntur Alam mencoba menghadirkan permasalahan lebih luas dengan upaya kritik atas permasalahan korupsi di Indonesia.
Jika Guntur Alam sedang mempersiapkan cerpen dengan makanan di dalamnya, baiknya ia padukan daya pikat pada dua cerpen tersebut. Dengan perumpaan lain, ia mesti menghadirkan kue bolu sekaligus dalam cerpennya, bukan hanya kue atau bolu.[]
1)Fajar, Yusri. 2013. “Sastra dan Kuliner” Esai HU Kompas (27/10/2013). Diakses dari https://jiwasusastra.wordpress.com/2015/08/05/sastra-dan-kuliner/
2)Ibid