Eksistensi, Absurditas, dan Paradoks dalam “Aib dan Martabat”
“Jika kau membongkar kebohongan hidup dari orang kebanyakan, maka kau telah merampas juga kebahagiaannya.” (Henrik Ibsen)
Sebagian orang meyakini bahwa hidup dimulai ketika manusia berumur 40 tahun, seiring dengan itu dan masa-masa setelahnya, manusia kebanyakan akan mengalami krisis paruh baya atau bahasa populernya mid-life crisis. Secara teori psikologi, sebenarnya yang terjadi bukanlah sekonyong-konyong seperti itu, namun rentang periode umur setelahnya adalah masa dimana manusia mengalami transisi menuju kemapanan.
Pada masa itu manusia mencoba merefleksikan kehidupan yang telah dijalaninya dan mempertanyakan kembali eksistensi dan pencapaiannya. Pikiran manusia tergiring pada pertanyaan-pertanyaan absurd dan melihat kembali paradigma kebahagiaan. Elliot Jaques, seorang psikoanalis Kanada, memaparkan bahwa midlife crisis ditandai dengan keinginan untuk membuat perubahan yang signifikan terhadap satu, beberapa, atau seluruh aspek kehidupana misalnya karir, kondisi dan hubungan dalam keluarga, hubungan dengan pasangan, pengalaman hidup dan peran sosial.
Hal itulah yang dialami oleh Elias Rukla, tokoh sentral dalam novel Aib dan Martabat karya Dag Solstad. Ia merupakan seorang guru sastra pada sekolah menengah di Oslo yang memasuki usia 50-an tahun dan krisis paruh baya mulai menghampiri dan menghantui pikirannya. Elias Rukla yang telah mengabdikan diri lebih 25 tahun mengajarkan sastra kepada para siswa tingkat akhir Sekolah Menengah Fagerborg. Ribuan kali sudah ia menguraikan drama Itik Liar karya sastrawan besar Norwegia, Henrik Ibsen, pada para remaja muridnya yang tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali, memikirkan persiapan untuk ujian masuk perguruan tinggi adalah hal paling logis menurut mereka ketimbang bergulat dengan khazanah kesustraan.
Sikap antipati dan permusuhan terpancar jelas dari segenap murid-muridnya itu secara kolektif. Membuat Elias Rukla kembali mempertanyakan pentingnya mengajarkan sastra kepada para remaja itu, secara spesifik ia memikirkan lagi eksistensinya di sekolah itu sebagai pengajar dan pada kehidupan masyarakat secara luas. Pemikirannya itu menerus pada perihal lain dalam hidupnya yang sudah ia jalani, diantaranya ihwal hubungannya dengan istrinya yang telah menggendut dan selalu berwajah cemberut, dulunya adalah wanita cantik menawan tak terkira yang diam-diam ia puja, dan merupakan istri sahabat karibnya, Johan Corneliussen, yang tiba-tiba memutuskan untuk hijrah ke Amerika dan ‘menitipkan’ keluarganya kepada Elias Rukla.
Dag Solstad menggambarkan jalan pemikiran Elias Rukla yang penuh dengan hal-hal absurd, seperti saat Elias Rukla berjuang untuk membuka payung di halaman sekolah tempat ia mengajar, ia menadapati payungnya susah dibuka di tengah hujan yang sudah mengguyur dan ratusan pasang mata para murid dan guru koleganya menatap dengan seksama cuma guna ingin mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Elias mengakhiri momen dramatis itu dengan menghempaskan payungnya ke tanah dan memarahi seorang siswa di dekatnya dan menyemburnya dengan kata-kata kasar. Adegan payung tidak bisa dibuka itu benar-benar adegan yang konyol dan unik.
Lantas menggelindinglah semua kritik akan kondisi manusia modern sekarang. Sejak momen itu Elias Rukla mulai menyadari untuk mengakhiri karir mengajarnya dan merasakan ketidakesensialan dirinya dalam kehidupan secara luas, termasuk keberadaanya dalam keluarga kecilnya.
Selain itu, ia juga hidup dalam sisi paradoksnya sendiri, di satu sisi, sebagai guru sastra, ia mulai berpikir bahwa mengajarkan sastra kepada para remaja tingkat akhir sekolah menengah adalah suatu kesia-siaan, namun disisi lain ia memuja intelektualitasnya. Ia melihat kesusastraan sebagai salah satu bentuk pencapaian peradaban manusia, dan ia kembali teringat bagaimana salah seorang guru matematika koleganya mengetahui Hans Castorp, tokoh fiksi pada novel Jerman karya Thomas Mann, The Magic Mountain, membuatnya berpikir bahwa dunia sastra digemari secara luas bahkan oleh orang-orang ‘non-sastra’.
Begitu juga dengan kehidupan keluarganya yang terjebak dalam kasih sayang yang hanya bersifat rutinitas. Bagaimana ia mendapati hubungan dengan istrinya yang sudah lama ia kenal jauh sebelum akhirnya mereka hidup bersama, tersisa sebagai hubungan yang dipenuhi basa-basi demi kesantunan dan ucapan “selamat pagi” atau “sampai jumpa” yang setiap hari mereka ucapkan.
Kehidupan sosial yang juga mengusiknya adalah perbedaan kentara jika orang-orang berilmu dan tokoh intelektual wafat, ia melihat tak ada kesedihan missal atasnya. Sebaliknya, bila seorang pembaca acara televisi wafat seolah dunia runtuh seketika. Begitu juga soal guru, banyak guru-guru muda hanya menjadi buruh utang. Kritik-kritik kehidupan sosial mengalir dengan deras dalam pikiran Elias Rukla.
Pergulatan pemikiran yang dialami Elias Rukla hampir serupa dengan Antoine Roquentin, tokoh fiksi pada Nausea–nya Jean Paul Sartre, yang merupakan seorang penulis yang cemas dan takut dengan eksistensi dirinya yang menggiringnya pada rasa muak terhadap kehidupan disekitarnya. Aroma eksistensialisme yang diperkenalkan Sartre memang dapat kita endus dengan kentara pada kisah Elias Rukla ini, subtil namun kuat.
Namun Dag Solstad menyuguhkan pikiran-pikiran Elias Rukla dengan gayanya sendiri yang nyaris seluruhnya berupa narasi, tanpa dialog. Dan, dengan paragraf yang sangat panjang hingga beberapa halaman dan tanpa pembagian bab, membuat kita masuk jauh ke dalam ceruk palung dalam pikiran Elias Rukla. Harumi Murakami yang menerjemahkan novel ini ke bahasa Jepang, memberikan kritik positif dengan menyebutnya sebagai sastra yang serius.[]
Data buku
Judul: Aib dan Martabat
Judul asli: Genanse og verdighet
Penulis: Dag Solstad
Penerjemah: Irwan Syahrir
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: 138 hlm
Cetakan: I, April 2016
Harga: Rp45.000