Fb. In. Tw.

Durian Rasa Perjuangan

Saya tidak menyukai durian. Terutama aroma menyengat dari buah itu. Bukan alergi atau anti. Saya pernah mengalami kenangan buruk dengan buah berduri itu. Kenangan yang kalau saya ceritakan di sini akan panjang dan menjijikkan.

Salah seorang teman begitu menyukai durian. Ia menganggap durian adalah buah mewah. Menurutnya bau dan kulit berduri merupakan penjaga. Setiap orang perlu menaklukkan bau dan kulit durian untuk menikmati dagingnya.

“Butuh perjuangan untuk menikmati durian. Kulit berduri dan aroma menyengat jadi pelindung daging buah yang nikmat,” ujarnya. Begitulah. Darinya saya tahu bahwa menikmati durian adalah perjuangan.

Perjuangan akan durian juga saya temukan dalam cerpen berjudul “Durian Ayah” karya Rizqi Turama terbit di harian Kompas (18/3/2018). Namun, makna perjuangan berbeda dengan penjelasan di atas.

Pada judul terdapat kata “Durian” dan “Ayah”. Karakteristik buah durian dengan kulit berduri memunculkan makna perjuangan. Bagi siapa saja ingin menikmati dagingnya mesti mengupas kulit berduri itu. Lalu kata “Ayah” merupakan kata untuk menyebut seorang kepala keluarga. Laki-laki yang harus berjuang.

Lantas, perjuangan seperti apa yang terjadi dalam cerita?

Perjuangan merupakan proses untuk mendapatkan sesuatu. Biasanya proses yang mesti dilakukan sangat sulit dan penuh tantangan. Salah satu contoh perjuangan adalah ketika rakyat Indonesia berperang melawan penjajah. Tujuannya agar terlepas dan terbebas dari penindasan dan demi tanah air merdeka.

Perjuangan rakyat Indonesia mengusir penjajah merupakan perjuangan dengan pelibatan banyak orang demi tujuan bersama. Selain itu banyak lagi contoh perjuangan yang jadi pemberitaan. Perjuangan tersebut di antaranya perjuangan warga Taman Sari dan Kebon Jeruk di Bandung, untuk mendapatkan hak mereka atas tanah yang telah lama mereka tinggali, para petani Kendeng di Rembang, menolak pembangunan pabrik semen, bahkan aksi soal penistaan agama juga bisa disebut perjuangan.

Dengan contoh seperti itu, perjuangan memang bisa begitu sangat luas dan bias. Belum lagi ketika perjuangan dimaknai lebih personal. Seseorang menyelesaikan masalah sendiri bisa juga disebut perjuangan dirinya. Bahkan seorang lelaki yang melarang kekasihnya menanggung rindu karena rindu itu berat—dan selain ia tak ada yang kuat—juga sedang dalam proses berjuang.

Begitulah. Pada akhirnya, setiap yang hidup berjuang. Sesuai kemampuan dan cara masing-masing.

Dalam cerpen “Durian Ayah” perjuangan yang termuat merupakan perjuangan personal. Tokoh ayah merupakan seorang pensiunan yang menikmati usia senja dengan menjadi botanikus. Obsesinya terhadap tumbuhan begitu kuat. Ia sampai menyamakan tanaman di depan halaman rumah dengan anaknya.

Ia begitu andal dan bertangan dingin. Tak ada pohon yang tak berbuah olehnya. Masalah muncul ketika ia menanam pohon durian. Pohon tersebut tak berbuah. Bahkan, sampai akhir hidupnya, ia tak sempat mendengar bunyi gedebuk durian jatuh dari halaman rumahnya.

Dinamika Perjuangan
Terdapat tokoh Aku yang merupakan anaknya. Ia bertindak sebagai narator untuk menceritakan keseharian tokoh Ayah. Melalui tokoh Aku, tergambarkan perjuangan tokoh Ayah melakukan berbagai cara agar pohon durian tersebut berbuah.

Tak berbuahnya pohon durian menjadi masalah bagi tokoh Ayah. Apalagi ditambah ia seorang yang sukses menanam banyak pohon. Terdapat dinamika perubahan psikologi ayah sehingga menghadirkan tindakan-tindakan demi pohon duriannya berbuah.

Perjuangan tokoh Ayah dimulai setelah ia menanam bibit pohon durian. Saat itu tindakan tokoh Ayah masih dalam tahap wajar. Hampir sama ketika ia menumbuhkan pohon-pohon lain. Ia masih tenang dan mampu menanggapi pertanyaan-pertanyaan anaknya dengan jawaban filosofis.

“Dia lebih muda darimu empat tahun,” ayah melanjutkan.
Aku menelengkan kepala ke arah pohon durian yang ditunjuk ayah, “Tapi anak ayah yang satu ini belum pernah berbuah sekalipun. ‘kakak-kakak’ku yang lain tak perlu menunggu sampai sepuluh tahun, sudah berbuah. Cuma yang ini belum.”
Ayah hanya tersenyum, “Sabarlah. Seperti manusia, pohon tidak matang dan dewasa di usia yang sama. Mereka punya perjuangan sendiri-sendiri menuju sana.”

Kesabaran masih jadi cara tokoh Ayah agar pohon durian tersebut berbuah. Jawaban filosofis pada tokoh Aku pun merupakan hasil dari ketekunannya dalam menanam pohon. Tokoh Ayah bukan orang baru dalam urusan menanam pohon. Maka wajar jika sudah sepuluh tahun tak berbuah ia masih bisa bersabar.

Namun, tokoh dalam prosa tak melulu sabar. Ia seperti manusia yang kadang kesabarannya bisa habis. Itu juga terjadi pada tokoh Ayah. Lima tahun setelahnya, pohon durian tersebut masih tak berbuah. Tokoh Ayah kemudian berupaya untuk mempercepat proses pembuahan pohon durian dengan menyuntikkan obat pada pohon itu.

Kekesalan dan keresahan menjadi pintu masuk bagi kekerasan lain. Tokoh Ayah kemudian mulai memperlakukan pohon tersebut secara kasar. Tindakan kasar tersebut terpaksa dilakukan karena pohon tak kunjung berbuah.

“Paling lama enam bulan lagi durian ini akan berbunga, begitu kata penjual obat suntik ini tadi.”
Sekali lagi aku tidak menjawab omongan ayah. Hanya mengangguk-angguk saja. Tentu saja dalam hati aku meng-amin-kan. Toh kalau durian itu berbuah, aku juga akan menikmatinya. Tapi ternyata sampai satu tahun, durian itu tak kunjung berbunga, apalagi berbuah. Hanya daunnya saja yang jadi semakin lebat. Enam bulan kemudian, ayah kulihat sedang menyayat-nyayat barang durian itu.
“Ada yang mengajariku, pohon buah harus sedikit disakiti agar dia merasa terancam dan kemudian berbuah,” jelas ayah tanpa kuminta.

Tak cukup menguliti, tokoh Ayah semakin melakukan tindakan yang lebih destruktif. Ia bahkan sampai menyakiti pohon tersebut dengan kapak. Meski dengan jalan kekerasan, pohon durian tetap tak berbuah.

Tokoh Ayah menyerah, tapi cerita belum berakhir. Ketika tokoh Ayah hendak menebang pohon tersebut, tampak bunga durian telah tumbuh. Melihat itu, ia bersemangat lagi merawat pohon durian. Malang, saat terdengar bunyi gedebuk di halaman depan rumah, tokoh Ayah telah meninggal.

Baca juga:
Antara Khayalan dan Kenyataan
Guntur Alam, Antara Kue dan Bolu

Penggambaran kematian tokoh Ayah begitu menarik. Rizqi Turama menggunakan peristiwa magis. Jenazah tokoh Ayah digambarkan tersenyum dan menguarkan aroma durian matang. Peristiwa tersebut seolah ingin menyampaikan bahwa tokoh Ayah telah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Ayah akan terkenang melalui durian. Seperti pahlawan yang jasad dan namanya akan harum karena perjuangannya.

Bunyi berdebug menghantam tanah cukup keras terdengar dari arah pohon durian. Aku segera berlari, mencari. Benar saja. Durian ayah yang telah matang, jatuh. Aromanya menguar menggiurkan. Kutolehkan kepala, ayah belum keluar rumah. Mungkin tidak mendengar duriannya jatuh.

Dengan penuh semangat, kubawa durian itu ke rumah. Berteriak aku memanggil ayah. Tapi yang dipanggil tak kunjung menjawab. Aku jadi tak sabaran, ingin memberi kabar gembira ini. Namun, kemudian, setelah mencari di sepenjuru rumah, kutemukan ayah di kamar. Telentang dan matanya tertutup. Tersenyum. Tak pernah menjawab lagi. Dari seluruh tubuhnya, menguar aroma durian matang.

Lepas dari itu, cerpen ini begitu banyak menggunakan aforisme dan ungkapan filosofis. Hal tersebut akan menambah pemaknaan pembaca terhadap sesuatu. Tentu juga memunculkan kesan pada pembaca. Cerpen “Durian Ayah” jika diibaratkan durian adalah durian yang begitu manis. Menarik memang. Tapi selalu ada saja orang yang tidak suka sesuatu terlalu manis.[]

KOMENTAR
Post tags:

Redaktur Umum buruan.co. Menulis puisi dan cerpen. Hobi menonton film.

You don't have permission to register