Di Bawah Titik yang Tak Sederhana
Membaca karya sastra sama halnya dengan melihat model rambut. Keduanya berbicara mengenai selera. Saya lebih suka potongan rambut pendek dan berponi, terlihat lebih segar, berkarakter, dan sederhana. Sama halnya dengan karya sastra, saya lebih suka yang bertema segar dan berkarakter serta berstruktur dan bertutur sederhana.
Membaca cerpen berjudul “Di Bawah Titik” karya Ranang Aji SP yang dimuat HU Pikiran Rakyat, 8 April 2018 lalu, mengingatkan saya pada cerpen “Ilalang” karya Nukila Amal. Bukan tema yang diangkatnya, tetapi gaya bertutur keduanya yang sama: tidak sederhana. Awalnya saya tidak begitu terganggu, misal dalam paragraf pertama, gaya bertutur “Di Bawah Titik” masih terasa sederhana.
Kutatap pria jahanam itu. Sorot matanya antara rasa takut dan kebingungan. Mungkin ia melihatku sebagai sosok malaikat maut yang hendak menjemputnya. Namun, kegelisahannya membuatku ragu. Aku termangu. Setelah mengamatinya, kukatakan padanya agar berdoa pada siapa pun Tuhannya. Tapi, ia mengabaikan kata-kataku seolah aku tak ada. Ia menatapku terus dari atas kursinya. Ada giliran, di mana perasaanku merasa kasihan. Tapi semua itu sia-sia. (Paragraf pertama cerpen “Di Bawah Titik”)
Mari bandingkan dengan cerpen “Ilalang” karya Nukila Amal. Pada cerpen “Ilalang”, Nukila sudah menunjukkan ketidaksederhanaan gaya tutur sejak paragraf pertama,
Di depan pohon cengkih, di bawah langit malam, kau sendirian. Kau memetik sebuah cengkih yang tergantung rendah, membawaya ke lidah. Mengulum dengan diam. Rasanya hangat nyaman, seperti rasamu ketika sendiri. Hangat buah cengkih menebar di dalam rongga mulut, masuk harum ke dalam kerongkonganmu. Kau memetik lagi sebuah dari dahan, membawanya ke depan mata, memutar-mutar dan mengamatinya dari dekat. Memenuhi penglihatan, buah mungil itu semestamu malam ini. Kutuk ataukah berkah, betapa miripnya, kutuk bagi pulaumu berkah bagimu, berkah buah yang akan kau bawa pulang…(Paragraf pertama cerpen “Ilalang”)
Memasuki paragraf kedua cerpen “Di Bawah Titik”, saya mulai menemukan ketidaksederhanaan tersebut. Ketidaksederhanaan yang saya maksud adalah terlalu banyaknya aforisme yang digunakan, sehingga beberapa kalimat tidak membantu penulis untuk menggambarkan isi.
Ada yang kupikirkan waktu itu. Semua harus berjalan sesuai rencana. Menimbang bahwa terlalu banyak menimbang hanya akan membawaku pada persoalan yang sama saja dan melemahkanku. Perang toh sudah terlanjur dikobarkan. Pilihannya adalah menjadi pembunuh atau menjadi bangkai dalam kehidupan. Dan pilihanku jelas, aku tak mau kembali dalam keadaan gagal.
Iya,aku memang punya alasan mengapa harus mengambil tugas ini. Aku sebenarnya tak punya pilihan. Tak ada pekerjaan yang bisa memberiku harapan selain membunuh. Orang tak boleh sekadar hidup di sini. Jika, jiwamu hidup di antara para pemangsa yang menciptakan surga-surga di sekitarmu, namun tak tersentuh oleh hasratmu – kau tak boleh melemah. (Paragraf kedua dan ketiga cerpen “Di Bawah Titik”)
Paragraf kedua dan ketiga tersebut kurang berhasil menggambarkan maksudnya. Saya hanya menangkap maksud bahwa pilihan tokoh Aku yang terpaksa menjadi pembunuh dengan alasan yang sulit dimengerti.
Baca juga:
– Kemiskinan dan Keterasingan
– Realitas dalam Etalase
Terlebih dalam paragraf ketiga terdapat kalimat Iya, aku memang punya alasan mengapa harus mengambil tugas ini. Ketika kita mendengar kata tugas, tentu kita akan bertanya dari siapa tugas tersebut, bukan? Namun, kalimat ini hadir begitu saja yang mengartikan ketidakjelasan dari siapa tugas ini yang penulis maksud. Kemudian hadir dua aforisme di akhir paragraf, yaitu Orang tak boleh sekadar hidup di sini. Jika, jiwamu hidup di antara para pemangsa yang meciptakan surga-surga di sekitarmu, namun tak tersentuh oleh hasratmu – kau tak boleh menyerah, yang tidak memiliki keterkaitan dengan isi paragraf tersebut maupun isi paragraf berikutnya.
Di sini, aku juga punya alasan moralnya seperti halnya alasan membunuh dalam karakter film “Miss Meadow”. Semuanya tampak luar biasa. Kota kecil yang harmonis, para tetangga yang ramah menyapa, bahkan burung-burung yang menjadi jinak. Semua dilakukan demi semua itu. Membunuh adalah sisi kecil yang wajar dan tak lagi mengerikan ketika harus dilakukan. Dan bukan bersoal uang semata. Membunuh hanyalah sebuah kondisi moral untuk menghadirkan perdamaian dunia –seperti diyakini Machievelli dan diteruskan dengan sukacita oleh para pemimpin dunia ini. Kita menjadi terbiasa dengan kematian di mana-mana. Setidaknya, kau harus membiasakan diri untuk menerimanya. Bukankah kau ingin kedamaian? Kesejahteraan? Maka perang harus diadakan. Bagaimana kau bisa hidup damai, ketika ketidakadilan, kesenjangan, dan kemiskinan berubah menjadi ancaman kehidupan dan melahirkan terorisme itu tidak bisa dimatikan. Kita semua melakukannya demi keadaan. Maka kutatap pria jahanam itu yang tengah terpekur di atas kursinya, gigil dalam kekalutan. Pria ini yang keadaannya yang payah saat ini, persis ketika aku dimurkai ibuku. (Paragraf keempat cerpen “Di Bawah Titik”)
Paragraf keempat yang sangat panjang ini menunjukkan ketidaksederhanaan penulis dalam menggambarkan suasana cerpennya. Deskripsi yang kadung cerewet dan susah dikait-kaitkan dengan paragraf sebelumnya, secara keseluruhan membuat bayangan dalam kepala semakin kabur saat membacanya. Namun, lain halnya jika gabungan paragraf ketiga dan keempat dipangkas menjadi seperti ini.
Aku sebenarnya tak punya pilihan. Tak ada pekerjaan yang bisa memberiku harapan selain membunuh. Membunuh hanyalah sebuah kondisi moral untuk menghadirkan perdamaian dunia –seperti diyakini Machievelli dan diteruskan dengan sukacita oleh para pemimpin dunia ini. Kita menjadi terbiasa dengan kematian di mana-mana. Setidaknya, kau harus membiasakan diri untuk menerimanya. Kita semua melakukannya demi keadaan. Maka kutatap pria jahanam itu yang tengah terpekur di atas kursinya, gigil dalam kekalutan. Pria ini yang keadaannya yang payah saat ini, persis ketika aku dimurkai ibuku.
Saya kira pemangkasan yang dilakukan tidak mengubah maksud dari penulis.
Ketidaksederhanaan gaya ungkap dalam cerpen “Di Bawah Titik” terus berlanjut sampai akhir. Dan hal ini menunjukkan kebalikannya karena isi dari cerpen ini sangat sederhana, yaitu tentang tokoh Aku yang mendapat tugas membunuh laki-laki jahanam, tetapi justru dia yang terbunuh. Di tengah perasaan keraguan untuk membunuh laki-laki jahanam, tiba-tiba dia mengingat ibunya yang sudah menua dan perasaan-perasaan sentimental lain.
Barangkali cerpen ini berupaya menghadirkan perasaan-perasaan acak yang hadir sebelum membunuh orang. Namun tidak jelas siapa yang dibunuhnya, hubungan tokoh utama dengan orang yang ingin dibunuhnya. Hal ini membuat saya kurang berempati terhadap para tokoh yang hadir.
Memang banyak penulis yang melakukan hal sama dengan Ranang Aji SP untuk cerpen-cerpennya. Untuk menutupi isi cerita yang sederhana, dibuatlah struktur atau gaya ungkap yang tidak sederhana. Akan tetapi, karena membaca karya sastra bagi saya berarti membicarakan soal selera, maka cerpen “Di Bawah Titik” bukanlah selera saya sebagai pembaca. Saya lebih menikmati cerpen yang sederhana gaya ungkapnya, tetapi menawarkan isi cerita yang tidak biasa. Sama halnya dengan gaya rambut, saya lebih menyukai gaya rambut yang ringkas tetapi berkarakter.[]