Fb. In. Tw.

Dea Anugrah: Jakarta Tidak Buruk-buruk Amat

15 April. Wikipedia bahasa Indonesia mencatat sejumlah peristiwa heroik, monumental, hingga tragedi kemanusiaan terjadi pada tanggal tersebut. Antara lain: dalam Perang Seratus Tahun, tentara Perancis berhasil mengusir tentara Inggris dari Perancis Utara (1450); Seniman Italia Leonardo da Vinci lahir di Vinci, provinsi Firenze, Italia (1452). Keshogunan Tokugawa berhasil merebut kembali Istana Hara sekaligus mengakhiri pemberontakan Shimabara (1755).

A Dictionary of The English Language karya Samuel Johnson diterbitkan di London (1783); Abraham Lincoln wafat setelah ditembak John Wilkes Booth sehari sebelumnya (1865); Politikus Uni Soviet Nikita Khrushchev lahir di perdesaan Kursk (1894); RMS Titanic tenggelam di Atlantik Utara—dari 2.227 penumpang dan awak kapal, hanya 710 orang yang selamat (1912). Ray Kroc membeli sebuah restoran waralaba di Des Plaines, Illinois—peristiwa itu kemudian ditetapkan sebagai hari berdirinya McDonald’s (1955); Jean-Paul Sartre meninggal dalam usia 74 tahun di Rumah Sakit Broussais, Paris—pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang (1980).

96 pendukung Liverpool meninggal dalam Tragedi Hillsborough (1996); 16 orang tewas dan 11 orang luka-luka akibat insiden penembakan yang dilakukan anggota Koppasus Letnan Dua Sanurip di Bandar Udara Timika, Irian Jaya (1966); 28 orang luka-luka dan seorang lelaki meninggal dunia akibat bom yang dia ledakan sendiri sehabis sholat Jumat di Mesjid At-Taqwa, Cirebon (2011); hari pertama Ujian Nasional SMA/SMK/MA Tahun Ajaran 2012/2013 (2013).

Atas banyak hal yang saya singgung dan tanyakan, saya menerima balasan email dari Dea Anugrah (2017).

De, sejumlah kalangan meramalkan Dea sebagai bintang masa depan sastra Indonesia. Bagaimana Dea menanggapi ramalan tersebut, mengingat—kalau boleh dijadikan perbandingan—pada tahun 2010 lalu majalah Foresight yang terbit di Jepang pernah meramalkan Anies Baswedan sebagai 1 dari 20 pemimpin dunia 20 tahun mendatang. Tapi sekarang kita sama-sama tahu, sebelum 2030, Mas Anies ini malah kadang terlihat menggelikan manakala terkesan ingin betul membuktikan kebenaran ramalan tersebut.

Cuek saja, sih. Urusanku cuma menulis dengan seluruh keterampilanku dan meningkatkan keterampilan itu. Tapi omong-omong soal Anies, aku penasaran mengapa ia rela membakar habis jembatan yang ia bangun dengan susah-payah selama puluhan tahun. Apa yang ia hendak capai dengan bertaruh sebesar itu? Apa jaminan yang membuatnya percaya diri? Mustahil bondo nekat thok. Kalau setelah ini karier politiknya mampat, apa lagi yang dia bisa lakukan?

Di antara seluruh partai politik yang ada saat ini, partai apa yang Dea anggap paling menghibur? Lalu, partai apa yang paling mungkin Dea masuki andai Dea tiba-tiba ingin jadi politikus? 

Tidak ada partai politik di Indonesia yang tak menghibur—dalam arti menggelikan, tentu. Imajinasi politik mereka sedap-sedap belaka.

Di Jepang, ada novelis pemenang Hadiah Akutagawa yang jadi politikus. Namanya Shintaro Ishihara. Konon, Ishihara memutuskan untuk menjadi politikus karena apa-apa yang ia lihat saat meliput perang Vietnam sebagai wartawan. Kalau suatu hari nanti mataku kelilipan truk gandeng, boleh jadi aku akan melakukan hal serupa.

Sebelum Ahok populer di Jakarta, dulu, apa Dea sering mendengar nama dia dielu-elukan warga Bangka Belitung sana? Adakah dampak yang Dea rasakan langsung setelah mengemukanya sentimen SARA di Pilkada DKI?

Ahok itu bekas calon gubernur Bangka Belitung. Ada skandal besar yang merugikan dia dalam Pilkada tersebut: banyak orang tidak bisa memilih, listrik mati pada waktu penghitungan suara, ada anggota KPU yang satu organisasi dengan lawan Ahok, dan sebagainya. Selengkapnya sila kamu lacak sendiri di internet.

Sekarang, ada masjid di dekat kantorku yang bersemangat sekali menganjurkan orang “memilih pemimpin muslim” dalam Pilkada. Sulit untuk tidak mengapresiasi semangat itu dengan cara memilih Pak Haji Djarot.

Dalam situasi berbangsa dan bernegara seperti sekarang, khusunya di Jakarta, di mana publik terus menerus dibikin gaduh oleh politik dan isu SARA, menurut Dea bagaimana seorang penulis semestinya bersikap?

Kalau dia peduli, dia bisa mengingatkan orang-orang supaya menggunakan akal dengan cara terbaik yang dia bisa, yaitu menulis.

Tanggapan Dea soal demo semen kaki sedulur Kendeng bagaimana? 

Kupikir kelewatan kalau kita tidak bersimpati kepada petani-petani Kendeng dan para korban konflik agraria di berbagai daerah lain (Lampung, Jawa Barat) di Indonesia saat ini. Mereka betul-betul diperlakukan secara tidak adil. Aksi menyemen kaki itu jelas menyakitkan dan merepotkan, tetapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan masa depan yang kini mereka bayangkan: tercerabut dari tanah air dan penghidupan. 

Rakyat berhimpun dan menciptakan negara untuk melindungi serta memajukan kepentingan mereka dan tanah airnya. Rakyat dan tanah air selalu lebih penting daripada negara. Secara teoretis, kalau negara, yang hanya alat, tidak lagi berfungsi, kita boleh menggantinya dengan alat baru.

Namun, menilai apakah negara masih berfungsi atau tidak tentu jauh lebih rumit ketimbang menilai apakah paculmu masih layak digunakan atau sudah harus dibuang.

Ada banyak orang yang masih berkeyakinan bahwa hal paling penting dari proses berkesenian adalah terlibat aktif di dalam memperjuangkan persoalan-persoalan masyarakat. Bagaimana tanggapan Dea soal keyakinan semacam itu? 

Aku tidak setuju. Walaupun hanya memedulikan kebersihan celana dalamnya, penulis bagus akan menghasilkan karya-karya bagus. Sebaliknya, meski keluar-masuk penjara sebagai tahanan politik dan disetrum tentara setiap hari, penulis buruk akan menghasilkan karya-karya buruk. Tidak ada hubungan kausal antara keberpihakan politis dan mutu karya. 

Sikap Dea terhadap isu Papua Merdeka seperti apa? 

Timor Leste dan Papua adalah dua dari sebelas negara yang aku ingin mengunjunginya. 

Jalaludin Rumi menjadi penyair setelah bertemu—lalu ditinggal pergi—Syamsu Tabriz. Sebesar apa pengaruh sosok-sosok seperti Rozi Kembara dan Dwi S Wibowo dalam karier kepenulisan Dea?

Dwi sahabat yang asyik, tetapi Rozi sangat penting buatku. Kami bersaudara dalam hidup dan kerja, kurang lebih seperti Ulises Lima dan Arturo Belano lah. Hehehe.

Deskripsikan kesan Dea terhadap Saut Situmorang. 

Kami pernah berteman baik, sekarang berteman di Facebook saja. Aku sudah lama tidak bertemu dia dan jarang mengikuti kabar tentangnya.

Melihat segala pencapaian Dea sekarang, apakah Dea pernah merasa diuntungkan oleh fenomena K-Pop? 

Pencapaian apa? Memangnya aku habis dapat hadiah Man Booker dari novel hebat yang kutulis? Dari media sosial, aku tahu beberapa pembaca membeli bukuku karena menganggapku ganteng. Itu hak mereka. Aku tidak pernah peduli terhadap biri-biri. 

Hal apa yang bisa membuat Dea merasa putus asa?

Hidup. Hehe. Tetapi di sisi lain, setiap kali bangun tidur, aku bahagia karena menyadari di alam semesta ada jutaan sistem matahari yang bekerja, angin menerbangkan serbuk sari, hewan-hewan berkembang biak, gagasan-gagasan penting lahir dalam benak-benak terbaik, tanpa ada yang mengatur.

Mengapa puisi-puisi Dea terkesan berwarna muram? Apa yang membuat Dea, dalam puisi, demikian terpesona pada kematian?

Kupikir, mortalitas adalah soal paling gawat dan pelik bagi manusia. Dalam politik, cinta, dan karier, misalnya, selalu ada ‘mungkin.’ Kita punya kesempatan memilih dalam semua itu. Tetapi dalam soal hidup itu sendiri dan kematian, tidak; pikiran, keinginan, pengetahuan, pengalaman, dan apa saja yang kita kira kita miliki jadi tidak relevan. Kita tiba-tiba terlempar kemari dan kita pasti mati. Kan anjing.

Sebagai alumnus fakultas filsafat, saat berkarya, adakah beban atau tuntutan atau keinginan untuk menunjukkan embel-embel tersebut kepada pembaca? 

Tidak. Namun, yang jelas, setiap penulis pasti dibentuk oleh sejarah membacanya. 

Kombinasi darah Tasik dan China dalam diri Dea adalah modal genetika yang berharga untuk menjadi saudagar. Ada minat ke arah sana?

Aku senang menghabiskan uang, tetapi tidak suka menimbunnya.

Beberapa hari lalu seorang atasanku di kantor bertanya, “Kalau kamu kukasih satu milyar rupiah, akan kamu apakan?” dan aku menjawab: “Kuhabiskan sambil menulis.” “Kalau sudah habis?” tanyanya lagi. “Minta kerja lagi, dong, Bos.”

Sekalipun aku jadi orang terakhir yang dikenalnya di planet ini, kupikir ia akan memberikan uang satu milyar itu kepada orang lain.

Bagaimana tanggapan Dea soal pernikahan?

Kata Arthur Schopenhauer, idolaku, pernikahan mengurangi hak satu pihak dan menambahi beban pihak yang lain. Berat, Jek.

Keterangan pada akun Instagram Ani Yudhoyono selalu ditulis dalam dua bahasa. Inggris dan Indonesia. Tanggapan Dea? 

Sudah lama aku jatuh cinta kepada Ibu Ani dan Pak Sus. Itu berarti, di mataku, apa saja yang beliau berdua lakukan jelas menerbitkan kegembiraan. 

Adakah yang lebih tabah, arif, dan bijak dari hujan bulan Juni? 

Yang lebih arif dan bijak, aku tidak tahu. Tapi pasti tidak ada yang lebih tabah, awet, dan alot daripada kebodohan. 

Tak bisa dipungkiri bahwa banyaknya karya dan penulis yang bertebaran di media sosial membuat sejumlah kalangan bersikap nyinyir sekaligus pesimistis melihat masa depan sastra Indonesia. Setuju? 

Itu cara pandang yang tidak berdasar. Sejak dulu, aturannya ialah “lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu.” Aku percaya penulis-penulis terbaik Indonesia di masa depan akan lebih pintar dan terampil ketimbang yang terbaik hari ini.

Dea betah di Jakarta?

Jakarta tidak buruk-buruk amat. Lagi pula, sekarang kan Cino tidak boleh punya tanah di Jogja. Hehe.

Lepas dari persoalan tampang, apa saran Dea agar jomblo seperti Zulfa Nasrullah bisa segera mendapatkan pasangan? 

Berat, Jek~ [2] 

Ada pesan khusus buat pembaca buruan.co? 

Untuk pembaca dan kru buruan.co, wabil khusus akhi Zulfa, berikut kukutipkan potongan lirik lagu pop Malaysia yang sering disetel orang-orang di kampungku semasa aku kecil. Semoga saudara-saudara sekalian merenunginya hingga tercerahkan:

Andainya kita satu agama, belum tentu bisa sanggama.”

KOMENTAR
Post tags:

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register