Fb. In. Tw.

Cerita Cinta dari Sungai Paring

Kisah cinta adalah kisah yang tak akan pernah habis. Setiap zaman selalu menghadirkan kisah ini. Tema yang riskan klise. Perlu sudut pandang baru, unik, dan otentik agar dapat memberi makna baru bagi pembaca di zamannya. Seperti dalam cerpen “Tungku Pernikahan” karya Miranda Seftiana yang dimuat di harian Kompas 8 April 2018. Kisah cinta yang juga mengisahkan tradisi kearifan lokal masyarakat Sungai Paring, Kalimantan Selatan.

Kisah cinta antara Faisal dan perempuan yang merupakan anak dari Tuan Kadi. Kisah cinta dua sejoli beda kelas sosial berakhir dengan kegagalan. Saat Faisal melamar anak perempuan Tuan Kadi, lamarannya ditolak. Dua tahun Faisal dan perempuan itu berhubungan, akhirnya kandas dengan dinikahi seorang guru agama. Faisal marah besar. Ia pun mengadu pada ibunya, Macua. Pada Macua ia meminta bantuan untuk membalas sakit hatinya.

“Macua, utang harta dibayar harta, utang nyawa dilunas nyawa, utang hati berbalas hati. Andaikata tak dapat kuperistri Anak Tuan Kadi, mestilah ia diberitahu arti nelangsa. Tolong buatkan air yang telah dibacakan yasin 41 kali. Nanti akan kutanak fotonya dengan air itu.”

“Jangan kau tenggelamkan diri ke kubangan dosa, Faisal!” peringat Macua.

Ia paham sekali bahwasanya tanakan tiga lembar foto dengan air yasin empat puluh satu adalah usaha mengirimkan bala. Macam-macam tujuannya, dari membuat sakit fisik nyata sampai jiwa. Empat puluh hari empat puluh malam api tungku tak boleh padam. Sedetik pun jua. Sebab sekali padam, tulahnya akan menimpa diri sendiri. Rambut halus Macua meremang ngeri.

“Kalau yang kuperbuat adalah dosa, lantas ulahnya yang menyakitiku sedemikian rupa apa?” kejar Faisal tak bersahut.

Tradisi mengirim bala masyarakat Sungai Paring menjadi khazanah tersendiri di dalam cerita pendek. Pemaparan tradisi semacam ini biasanya terjebak sebagai bumbu cerita saja. Bagaimana tradisi masyarakat Sungai Paring bisa jadi inti dari cerita? Selain menjadi penguat konflik, tradisi lokalitas tersebut juga menjadi kunci penting untuk menjawab klimaks konflik yang terjadi di akhir cerita.

Ritual dilaksanakan oleh Faisal dan Macua. Sebisa mungkin api tungku dijaga Macua agar tak padam. Ia tak mau bala itu malah menimpa anaknya. Di dalam cerita, hasil dari ritual itu tidak langsung dijelaskan. Hal ini merupakan suatu upaya menyimpan kejutan di akhir cerita. Melalui alur yang bolak-balik, antara kenangan dan peristiwa yang sedang terjadi, cerita pendek ini mengarahkan pembaca pada rentetan pertanyaan pada segala peristiwa yang terjadi di dalam cerita.

Pertanyaan pertama, kenapa Macua tidak senang Faisal menikah dengan anak perempuan Tuan Kadi? Jawabannya diceritakan melalui pengisahan masa lalu. Perempuan itu adalah anak Tuan Kadi yang sempat menolak lamarannya, membuatnya marah, dan pernah dikirimnya ritual bala.

Pertanyaan kedua, apakah kiriman bala saat itu berhasil menyakiti anak perempuan Tuan Kadi? Cerita beranjak ke peristiwa yang sedang terjadi, dimana Faisal ditemukan sakit panas setelah menikahi anak perempuan Tuan Kadi sebagai istri kedua.

Pertanyaan ketiga, kenapa Faisal sakit panas? Pernyataan Macua menjawab pertanyaan kedua dan ketiga. Rupanya saat ritual dulu, Macua tidak membaca yasin dengan tuntas. Alhasil tidak ada bencana bagi anak perempuan Tuan Kadi. Bala penyakit juga tidak menimpa Faisal sebagaimana aturan ritual tersebut. Namun saat Faisal menikahi anak Tuan Kadi sebagai istri kedua atas dasar nafsu, bala bencana itu menimpanya.

“Kupikir, Faisal, dengan mengurangi bilangan bacaan yasin tiada bala yang akan menghampiri siapa pun jua. Nyatanya aku keliru. Bala bukan dari api yang padam, namun nafsu yang menyala-nyala. Sambangi Anak Tuan Kadi, antarkan ia kepada Bapaknya, kembalilah pada atang-mu yang pertama.”

Nukilan pernyataan dari Macua itu menjadi akhir dari cerita. Di dalam nukilan tersebut ada upaya pembandingan antara relasi kehidupan manusia dan mekanisme tradisi bala yang menggunakan tungku pembakaran. Perbandingan tersebut, selain menghadirkan khazanah ritual mengirim bala masyarakat Sungai Paring, juga berupaya menyikapi secara rasional tradisi sebagai mekanisme simbolik manusia.

Miranda menghadirkan konflik manusia itu melalui tindak-tanduk tokohnya. Faisal yang merasa dirinya kecewa dan dikhianati telah memperlakukan tradisi ritual pengirim bala sebagai upaya balas dendam. Sementara tradisi ritual bala dinilai Miranda sebagai simbolisasi dari kehidupan manusia. Miranda menempatkan ritual sebagai kearifan lokal yang merangkum citra manusia di dalamnya. Api sebagai nafsu yang mesti diolah oleh manusia agar ia tidak padam. Saat mengolah nafsu tersebut manusia mesti membaca yasin sebagai manifestasi doa dan kesabaran. Melakukan ritual seperti berupaya mengolah emosi dan nafsu manusia pada selembar foto atau orang lain yang hendak dijahatinya.

Baca juga:
Arus Kesadaran di Tangan Gus Mus
Upaya Bre Redana Mengolah Legenda

Kecerdasan Miranda yakni merasionalkan ritual yang mistis menjadi humanis. Ritual tersebut rupanya tidak dilakukan oleh Faisal sendiri melainkan dilakukan oleh tokoh Macua. Alhasil, Macua sampai pada kesadaran dari persinggungannya dengan ritual tersebut. Dampak dari kesadaran itu, ia tidak membacakan yasin dengan penuh dan berdampak ritual itu batal. Macua tidak mengatakan hal itu pada Faisal dan secara rasional ia meminta Faisal menikah dengan orang lain.

Faisal menikah dengan orang lain. Namun tindakan tersebut tidak dalam kesadaran dan mentalitas yang sama dengan Macua. Macua dalam dimensi sikap kesadaran dan kesabaran, sementara Faisal berada pada sikap emosional dan penuh kemarahan. Hal ini mengakibatkan sikapnya menikahi anak Perempuan Tuan Kadi sebagai istri kedua di kemudian hari sangatlah logis. Pernikahan kedua itu merupakan nafsu belaka.

Miranda mempertegas perbandingan siklus kehidupan manusia dengan siklus ritual pembakaran tungku. Hal ini dipertegas kembali di dalam ceritanya melalui tindakan tokoh Macua saat Faisal sakit, ia membakar dua atang atau tungku sehingga asap melingkupi seisi rumah. Faisal pun terbatuk-batuk dan meminta Macua mematikan salah satu tungku. Tetapi Macua sekali lagi menjawab protes tersebut dengan perbandingan yang menampar Faisal.

“Macua, apa tidak bisa menanak ketupat dengan satu atang saja? Asapnya menyesakkan sekali,” keluh Faisal lirih.

“Bisa saja. Bahkan akan kusuruh Samsuri merubuhkan atang asal kau juga mau merubuhkan atang lain dalam hatimu,” pancing Macua sambil mencipratkan air dari tempayan hingga bara padam.

“Maksud, Macua?”

“Istri itu ibarat atang, Faisal. Kalau asap dari satu perapian saja sudah membuatmu sesak, lalu darimana kau yakin dadamu lapang untuk menampung keluh kesah dua perempuan dalam satu biduk perkawinan?”

Cerita pendek ini mengisahkan pada kita tentang suatu ritual pengirim bala yang biasa dilakukan masyarakat Sungai Paring, Kalimatan Selatan. Ritual tersebut bukan sekadar tempelan tradisi lokal yang tidak bersangkut paut dengan konflik manusia di dalam cerita. Sebagaimana pengertiannya, tradisi adalah kebiasaan masyarakat dalam menyikapi beragam persoalan hidup. Kebiasaan ini memiliki maksud tersembunyi yang dalam cerpen dikuak dan diperbaharui melalui sikap tokoh-tokohnya dalam menjalankan tradisi tersebut.

Miranda telah berhasil menempatkan tradisi dan misteri di dalam rel cerita manusia yang humanis dan logis. Kisah cinta yang dihadirkan Miranda di dalam cerpennya menjadi tidak klise. Miranda membangun karakter dan tindakan tokoh-tokohnya melalui konstruksi tradisi masyarakat Sungai Paring yang khas dan otentik. Di dalam tradisi itu, porsi sifat dasar manusia menjadi titik tekan yang terkadang menawar kebenaran tradisi tersebut.[]

KOMENTAR

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register