Fb. In. Tw.

Arus Kesadaran di Tangan Gus Mus

Mengenal A. Mustofa Bisri atau Gus Mus adalah mengenal seseorang dengan banyak kemahiran. Ibarat rumah, ia punya banyak pintu untuk kita masuki. Ia seorang kiai terkemuka sekaligus budayawan. Ia pelukis dan penulis dengan semangat berkarya tinggi.

Pada ranah kepenulisan, Gus Mus menunjukkan kekhasan tersendiri. Ia tidak hendak menawarkan dunia jungkir balik dengan semangat eksperimentasi model cerpen-cerpen tahun 1970-an. Ia juga tidak bermaksud mengangkat kisah supernatural. Ia justru sekadar memotret sebuah realitas sosiologis yang sengaja hendak ditempatkan sebagai bagian dari tema cerita. Maka yang terjadi adalah sebuah kritik sosial ketika peran kiai mulai bergeser lantaran kemewahan melimpahinya; ketika nafsu duniawi menghilangkan jati dirinya.1)

Berpijak dari sana, bisa ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa Gus Mus tidak mencoba menghadirkan karya, khususnya cerpen, dengan muatan religius atau sufistik. Ia justru memiliki keresahan lain dengan mencoba menekankan cerita pada tema-tema sosial.

Di usianya yang ke-74, Gus Mus tampak masih serius dalam menghadirkan karya. Itu terbukti dari cerita pendek terbarunya berjudul “Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang” (Kompas, 1/4/2018). Jika pada pernyataan sebelumnya Gus Mus tampak memiliki kecenderungan pada tema-tema sosial, cerpen terbarunya jauh berbeda.

Cerpen tersebut berkisah tentang tokoh Aku yang hendak mengunjungi rumah kenalannya yaitu tokoh Sahlan. Tujuan kunjungan itu hendak mengenal adik Sahlan. Di stasiun S menuju kota J ia bertemu seorang gadis beralis tebal bermata cemerlang. Sosok gadis itu menyita pikiran tokoh Aku sepanjang perjalanan. Sesampainya di rumah Sahlan, tokoh Aku menemukan kebenaran bahwa adik adalah sebutan khusus Sutan kepada istrinya. Tokoh Aku sedikit kecewa. Padahal perempuan itu sudah berhasil menarik hati tokoh Aku. Menariknya, istri Sutan tersebut jarang sekali berbicara. Ia hanya bersuara ketika sedang bernyanyi. Di akhir cerita, tokoh Aku mendapatkan cerita bahwa sebelum bertemu istrinya, Sutan bertemu dengan seorang gadis kecil beralis tebal bermata cemerlang di Stasiun S. Mendengar cerita itu, tokoh Aku tiba-tiba terpikir gadis kecil yang juga ia temui di stasiun.

Melalui cerpen tersebut, Gus Mus sedang melakukan upaya penggalian bentuk baru. Terutama dalam gaya penceritaan. Gus Mus lebih mengedepankan pikiran dan batin tokoh Aku terhadap peristiwa yang terjadi.

Cerpen tersebut menggunakan gaya penceritaan teknik arus kesadaran. Itulah yang coba digali dalam ulasan ini. Tentu tidak sekadar penggunaan teknik saja, tapi juga pada makna dan tema berdasarkan penggunaan teknik tersebut.

***

Istilah arus kesadaran atau dalam bahasa Inggrisnya Stream of consciousness, dikemukakan pertama kali oleh William James dalam bukunya Principles of Psychology pada tahun 1890. Menurut Minderop, istilah arus kesadaran tidak tepat bila dimaksudkan sebagai suatu proses mental. Istilah lebih tepat sebagai peristilahan dalam sastra—fiksi2).

Dalam fiksi, arus kesadaran erat kaitannya dengan penyudutpandangan. Karakterisasi tokoh menjadi fokus dalam penggunaan teknik ini. Pickering dan Hoeper (dalam Minderop 2005: hlm. 121) menjelaskan bahwa arus kesadaran merupakan suatu teknik karakterisasi yang tampil dari kesadaran atau alam bawah sadar mental dan pola pikir manusia yang mencakup pikiran, persepsi, perasaan, dan asosiasi yang mengalir begitu saja.

Untuk mengetahui teknik arus kesadaran bekerja, ada empat cara yang biasa digunakan pengarang, yaitu eka cakap dalaman langsung (direct interior monologue), eka cakap dalaman tak langsung (indirect interior monologue), komentar pencerita (omniscient description), dan senandika (soliloquy). Menurut Humprey (dalam Minderop 2005; hlm. 126), keempat teknik dasar tersebut menekankan pada eksplorasi kesadaran manusia pada tingkat prapengucapan (prespeech level) untuk mengungkapkan keadaan tokoh.

Tingkat prapengucapan merupakan bentuk komunikasi tanpa kehadiran dasar-dasar komunikasi, tidak diperiksa dan tidak diatur secara logika3). Pikiran dan perasaan menjadi penyebab hilangnya hal-hal tersebut. Dalam artian lebih sederhana, tokoh pencerita dalam suatu cerita bisa mengutarakan pikiran dan perasaan di luar peristiwa yang terjadi.

Biasanya teknik arus kesadaran lahir dalam prosa dengan permasalahan psikologis. Terutama pada tokoh-tokoh di dalamnya. Dengan begitu, proses kajiannya memerlukan pendekatan dari sudut psikologi.

Tokoh dalam cerpen “Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang” karya Gus Mus memang tidak memiliki gangguan kejiwaan atau trauma atas suatu peristiwa. Tapi, kebiasaan tokoh aku memikirkan segala peristiwa di sekitarnya jadi pintu untuk menghadirkan teknik arus kesadaran dalam cerpen ini.

***

Dalam cerpen “Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang” karya Gus Mus banyak menggunakan teknik arus kesadaran dengan eka cakap dalaman tidak langsung. Menurut Humprey (dalam Minderop 2005; hlm. 132), teknik ini menimbulkan kesan adanya keikutsertaan narator dalam penyampaian arus kesadaran. Teknik menampilkan narator yang maha tahu. Materi yang diangkat seakan-akan langsung berasal dari kesadaran tokoh selain hadirnya deskripsi dan komentar yang menuntun pembaca agar lebih mengerti.

Tanda penggunaan eka cakap dalaman tidak langsung adalah dengan hadirnya kata-kata “saya pikir”, “dalam hatinya”4). Kehadiran kata-kata tersebut membuat pencerita memindahkan ruang tokoh dari cerita ke dalam pikiran atau batin.

Dalam cerpen “Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang” karya Gus Mus, kehadiran kata-kata rujukan teknik eka cakap dalaman tak langsung hadir sejak awal cerita. Sejak tokoh Aku bertemu tokoh gadis cilik di stasiun tampak kerja berlebih pikiran dan batin tokoh Aku.

Ketika pertama kali aku melihatnya, aku sudah bertanya tanya dalam hati. Aku melihatnya dari jendela kereta api menjelang keberangkatanku dari stasiun S menuju kota J. Seorang gadis cilik beralis tebal berdiri sendirian di peron, memandangiku. Semula aku kira dia sedang mengantar dan ingin melambai seseorang lain, orangtuanya atau saudaranya atau siapa. Tapi kulihat matanya yang cemerlang tertuju langsung kepadaku dan hanya kepadaku. Saya membayangkan atau mengharapkan dia tersenyum. Bila tersenyum, pasti akan semakin indah bibir mungil itu. Tapi dia sama sekali tidak tersenyum. Hanya pandangannya saja yang tidak terlepas dariku. Aku sama sekali tidak bisa menafsirkan atau sekadar menerka nerka kehadiran dan pandangannya. Wajah manis itu tidak mengekspresikan apa-apa.

Berdasarkan kutipan tersebut tampak arus kesadaran tokoh Aku. Antara terjadinya peristiwa dan kerja pikiran dan batin saling berkelindan. Dugaan dan harapan tokoh pada tokoh gadis cilik tersebut menimbulkan kesan ketidaktahuan dan ketidakmampuan tokoh Aku mencari tahu kebenaran tentang gadis cilik. Kelogisan peristiwa dihadirkan oleh Gus Mus dengan menempatkan tokoh Aku pada waktu menjelang kereta berangkat.

Kerja pikiran menarik terletak pada saat tokoh Aku menaiki taksi. Tampak kerja pikiran tokoh Aku menghadapi tabiat licik sopir taksi. Tapi, ia tidak bisa melakukan tindakan sesuai dengan pikirannya.

Sopir taksi menanyakan seperti biasa, “Lewat mana?” Saya pikir ini kiat sopir taksi untuk mengetahui apakah penumpangnya ngerti jalan atau tidak. Kalau ketahuan tidak mengerti jalan, maka dia putar-putar seenaknya agar argonya bisa tinggi. Maka aku bilang, “Terserah abang sajalah!” Dan ternyata karena aku memang tidak mengerti jalan, aku pun tidak tahu apakah dia putar-putar atau tidak.

Kutipan di atas menunjukkan ketidaktahuan tokoh Aku menghadapi peristiwa yang terjadi yaitu memilih arah jalan. Padahal tokoh Aku memiliki bekal pengetahuan tentang sopir taksi. Tapi, ia tak berdaya melakukan tindakan sesuai pikiran. Gus Mus kembali melakukan pelogisan dengan menghadirkan ketidaktahuan tokoh Aku terhadap jalan di kota J.

Selepas peristiwa taksi, cerita berlangsung di rumah Sutan. Pada peristiwa di rumah Sutan, arus kesadaran tokoh Aku lebih kuat karena harapan menemui adik Sutan akan terpenuhi. Ditambah tokoh Aku mengetahui suara adik tokoh Sutan sangat merdu ketika bernyanyi lagu India.

Di kamar mandi aku mendengar suara gadis sedang menyanyi lagu India. “Ini pasti suara adiknya,” pikirku. Merdu juga. Pasti orangnya cantik.

Tokoh Aku begitu bahagia mengetahui bahwa perempuan itu benar-benar cantik, bahkan mirip gadis kecil yang ia temui di stasiun. Sayangnya harapannya mesti padam ketika mengetahui bahwa perempuan itu ternyata istri Sutan. Ia tak menduga jika adik adalah panggilan Sutan untuk istrinya.

“O ya, kenalkan dulu, ini Shakila,” katanya sambil melirik perempuan bermata cemerlang di sampingnya, “Adikku. Adik ketemu gede, ha-ha. Istriku tercinta!” Deg. Ada sesuatu seperti memalu dadaku. Ternyata istrinya. Asem, kau Sahlan, batinku.

Kesamaan istri Sutan dengan gadis cilik sudah memicu arus kesadaran tokoh Aku. Belum lagi ketika Sutan menceritakan pertemuan ia dengan istrinya hampir mirip dengan tokoh Aku dan gadis kecil.

“…Perkenalanku dengannya juga cukup aneh. Waktu itu aku sedang berada di atas kereta yang akan berangkat dari stasiun S. Dari jendela kereta, kulihat dia, waktu itu masih seorang gadis kecil, berdiri dekat gerbong keretaku. Matanya yang cemerlang memandang lurus ke mataku tanpa berkedip. Aku mencoba tersenyum. Ternyata dia membalas senyumanku dengan senyumannya yang manis itu.”

Sahlan berhenti sejenak matanya menerawang, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa lalu. Aku sendiri kontan teringat gadis kecil beralis tebal yang juga memandangiku di stasiun S ketika keretaku akan berangkat.

Baca juga:
Upaya Bre Redana Mengolah Legenda
Durian Rasa Perjuangan

Berdasarkan kutipan-kutipan dan penjelasan di atas tampak Gus Mus ingin menunjukkan ketidakberdayaan dan ketidaktahuan manusia melalui kehadiran tokoh Aku. Itu terlihat dari peristiwa-peristiwa misalnya saat menaiki taksi, memahami bahwa satu kata punya makna ganda seperti “adik” yang dimaksud Sutan, membayangkan tokoh gadis kecil yang ia temukan.

Hal itu diperkuat dengan penggunaan teknik arus kesadaran. Penggunaan cara eka cakap dalaman tak langsung juga memperkuat hadirnya ruang pikiran dan perasaan tokoh Aku atas ketidakberdayaan dan ketidaktahuannya. Gus Mus tampak ingin menyampaikan bahwa pengetahuan dan keinginan (hasrat) tak bekerja ketika realitas tak mundukung. Realitas tersebut dihadirkan melalui pelogisan-pelogisan ketika kerja pikiran tokoh Aku terjadi.

Namun, arus kesadaran dalam cerpen “Gadis Kecil Beralis Tebal Bermata Cemerlang” karya Gus Mus bagai pisau bermata dua. Satu sisi ia menguatkan dan menjadi gaya baru bagi gaya bercerita Gus Mus. Di sisi lain, permainan teknik arus kesadaran ini membuat Gus Mus luput memberikan beberapa elemen penting untuk keutuhan cerita seperti motif yang kuat, emosi, dan beban psikologi (trauma) bagi cerita dan tokoh Aku.

Selain itu, terdapat pula ketidakkonsistenan penyebutan “saya” dan “aku”. Ketidakkonsistenan ini bisa jadi ciri khas andai berpijak pada teknik arus kesadaran yang dalam cerpen terdapat pertukaran ruang cerita dan ruang pikiran tokoh. Tapi, tampaknya itu hanya tidak konsisten saja. Hanya tidak konsisten saja.[]

  1. Mahayana, Maman S. “Realitas Supernatural: Mustofa Bisri”. Kitab Kritik Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.
  2. Minderop, Albertin. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2005.
  3. Ibid.
  4. Ibid.
KOMENTAR
Post tags:

Redaktur Umum buruan.co. Menulis puisi dan cerpen. Hobi menonton film.

You don't have permission to register